Duri Rinjani
Dawai ini kumainkan lewat hembusan nafas yang berat, dengan berbekal keberanian aku ingin menepikan mimpiku hingga kepermukaan pantai. Aku tahu ini tidak ada guna dan tak ada manfaatnya. Tapi ketidak berdayaanku membuatnya terlakukan.
Setapak jalan yang masih kupandangi menghantarkan ujung panjang, bahkan aku tak berani berharap hal yang indah karena terlalu gelapnya. Tapi nyaliku menggerakanku, menghantarkan satu tindakan untuk terjadi.
Aku hanya berusaha untuk tidak ragu. Mencoba menelusurinya dengan naluriku, mengukir beberapa perkiraan. Seperti , “Apa yang akan terjadi!”’
Itu tak pernah cukup untuk apapun yang ada di hatiku. Dalam jurang di tengah nadiku ini sudah tak berujung.
“Aku hanya ingin menitipkan kenangan ini… tidak untuk membuatnya nyata.” Kalimatnya terngiang cukup lama. Sudah menumpuk raungan yang memekikan, sakit!
Dalam dinginnya malam, tubuhku menggigil getir. Membuat bunyi dari gigi yang bergetar. Ini karena hujan cukup deras, petir menunjukan langit sedang tidak tenang.
“Aku akan ada untuk tempat hatimu.” Suara itu seperti nyanyian yang terdengar mengharukan. Decak kagum, kesan yang kudapatkan jelas dilihatnya.
“Beranikan untuk mempercayakannya padaku!”
Aku terdiam, kakiku mulai terhenti. Nyaris, tebing akan kulewati begitu saja. “Akh,,, itu selalu muncul!” Kepalaku pening, tapi otaku sudah kosong.
Deburan ombak menghantam cukup keras. Gelombangnya mengerikan! Bahkan kulihat perahu kecil terombang-ambing di tengah-tengahnya.
“Aku ingin kau yang mengakhirinya.”
Suara itu lagi! Degung telingaku tak mendengarnya, tapi pernah jelas di telingaku. Hatiku sedang meratapinya sekarang. Sedang mengisahkan diriku diantara kawanan awan malam.
“Sudahkah kau mendengar kabarku?” Itu adalah kewarasan yang masih aku punya, setidaknya karena itulah aku akhirnya ingin melakukannya.
“Aku takut… “ Badanku tak bisa digerakan, baik untuk melangkah maupun untuk kembali. Hari ini aku hanya ingin tetap berdiri diantara keduanya, mengharap dapat tau responnya.
Aku tertunduk, Aku terlihat seperti orang yang kehilangan arang! Terpaku untuk sesuatu yang bahkan tidak aku tahu… menyebalkan!
Bunyi petir mengagetkanku. Ujung kilatnya hampir mengenaiku, “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Aku tau akhirnya jika tetap di sini. Tanpa mencoba pun aku akan tetap mati.
Tapi aku juga tak bisa kembali, menghentikan niat kuatku saat ini. Satu-satunya niat yang bisa ada di otaku.
Dua kali petir itu menampakan kilat bercabang dengan ujung yang mendekatiku. Kengerian itu tak bisa aku gambarkan. Bagaimana aku bisa berhadapan dengan kematianku sendiri. Bahkan aku berniat membiarkan itu berlangsung.
Aku menangis. Hatiku lemah untuk memilih jalan apapun, semua itu terlalu pekat dari sekedar gelap. Aku meronta, melawan dalam diam. Mengucurkan air mata kepedihan. Muntahan itu tak akan menjadikan apa pun, bahkan untuk menguranginya pun tidak, tapi aku melakukannya!
“Apa… Apa?”
Hujan diganti oleh gerimis. Kilat tak meninggalkan jejak diikuti perubahan awan yang tampak tidak terlalu gelap. Tak ada bunyi-bunyian yang mampu menakutiku untuk keputusan apapun yang segera akan kuputuskan.
Gelombang tak menggulung lebih besar dari sebelumnya, deburannya biasa saja. Laut menghentikan gerak cepatnya dengan gerakan melambat yang aku saksikan. Aku tak berhenti bersedih, justru itu yang membuatku lebih sedih.
Semula… langit, laut, angin, dan hujan mencoba untuk melakukan sesuatu. Tapi saat hatiku ingin kutata melihat semuanya. Saat itu semua tak berusaha untuk apapun. Mereka membiarkanku melakukan apa yang akan aku lakukan, bahkan hal terburuk sekali pun.
Tangisanku tak sekeras tadi saat ingin menyamai suara deruan itu. Tapi saat semua menjadi sunyi dan sepi, tangisanku terurai dengan hati yang lebih pilu.
“Betapa menyedihkannya aku hari ini!”
Aku berbalik, bahkan aku tak punya pilihan untuk apapun. Ternyata pilihan hidupku tidaklah penting.
Tak ada kabar apa pun. Aku hanya seorang diri dikesedihanku sendiri, bahkan ia tak menampakan perhatiannya, kemarahannya, bahkan ke acuhannya. Aku telah terabaikan.
Aku berjalan gontai, sedang tidak ragu dengan apapun. Tapi juga tidak sedang yakin untuk apapun. Hatiku terlalu sedih untuk bisa mengetahui apa saja yang ada di dalamnya.
Adzan berkumandang. Hanya itu yang mampu menghiburku, setidaknya ada satu dzat yang akan senang jika aku masih bisa menemuinya, melakukan perintahnya.
Aku berjalan kesana kemari mencari surau sambil membawa tangisanku. Aku tak menemuinya, hanya ada tebing dan pantai luas terpampang. Aku berjalan cukup jauh dari tempatku semula, mencoba mengusahakan untuk sesuatu yang akan tetap menghargaiku.
Cukup beberapa meter, kulihat sebuah surau kecil di pantai sebelah. Ada WC umum yang menyediakan air bersih, aku memasukinya. Membasuhkan air suci untuk bisa menemui-Nya. Ditengah do’aku hanya air mata yang masih tersisa. Nama-Nya tak luput dari kesedihanku, justru semakin sering kutanamkan dalam kegamanganku.
Aku keluar dengan baju dan celana yang tergulung. Kuturunkan, baru bergegas untuk memasuki surau. Hari itu tak ada pengunjung, malam pun membuatnya sesepi kuburan. Tapi kali ini aku tidak takut. Ada Allah di sana.
Solat itu tidak khusuk, lafalnya tidak fasih juga tidak tertib. Selama itu berlangsung tangisku tak bisa ditahan sedikitpun. Napasku terengah-engah dan menyamarkan bacaan suratku. Begitupun gerakannya sangat perlahan-lahan.
Meskipun itu yang kubaca, hatiku tetap berkata-kata. Aku tak jelas merasakannya, tapi aku yakin Allah bisa mengetahuinya.
Solat terhenti, diakhiri dua salam. Aku menghela napas panjang. Mengucap beberapa syukur dan doa-doa lainnya tanpa ketinggalan tangisan yang terlanjur aku buat sebelum memulai solat.
Hanya ada beberapa kata yang selalu ingin aku katakan. “Maafkan aku… dan Kumohon tolonglah aku…”
Kematian itu akan terjadi dengan disengaja atas kehendaknya. Syukur Alhamdulillah aku masih bisa meminta maaf untuk kehendaku sendiri. Dan puji syukur berkat kehendaknya yang terjadi.
Hari terasa begitu panjang, tangisanku pun tak pernah menyurut. Kesedihan itu menghantuiku, menghantarkanku pada keputus asaan yang tidak pernah ada sebelumnya.
“Aku tahu itu sangat buruk, tapi aku juga sadar betul alasan apa yang membuatku seperti itu. Duri tetaplah duri meski dihiasi oleh indahnya bunga-bunga yang bermekaran. Seperti gambar mawar yang kupegangi. Duri Rinjani juga akan menjadi alat untuk mempertahankan diri dan bertahan hidup saat ini!” ucapku pada diriku sendiri, kembali menggauli kesendirianku dalam tangis.
Lentera EmJe,