Duri Rinjani

0 koment

Kamis, 13 Oktober 2011



10:23 AM
Duri Rinjani
            Dawai ini kumainkan lewat hembusan nafas yang berat, dengan berbekal keberanian aku ingin menepikan mimpiku hingga kepermukaan pantai. Aku tahu ini tidak ada guna dan tak ada manfaatnya. Tapi ketidak berdayaanku membuatnya terlakukan.
            Setapak jalan yang masih kupandangi menghantarkan ujung panjang, bahkan aku tak berani berharap hal yang indah karena terlalu gelapnya. Tapi nyaliku menggerakanku, menghantarkan satu tindakan untuk terjadi.
            Aku hanya berusaha untuk tidak ragu. Mencoba menelusurinya dengan naluriku, mengukir beberapa perkiraan. Seperti , “Apa yang akan terjadi!”’
            Itu tak pernah cukup untuk apapun yang ada di hatiku. Dalam jurang di tengah nadiku ini sudah tak berujung.
            “Aku hanya ingin menitipkan kenangan ini… tidak untuk membuatnya nyata.” Kalimatnya terngiang cukup lama. Sudah menumpuk raungan yang memekikan, sakit!
            Dalam dinginnya malam, tubuhku menggigil getir. Membuat bunyi dari gigi yang bergetar. Ini karena hujan cukup deras, petir menunjukan langit sedang tidak tenang.
            “Aku akan ada untuk tempat hatimu.” Suara itu seperti nyanyian yang terdengar mengharukan. Decak kagum, kesan yang kudapatkan jelas dilihatnya.
            “Beranikan untuk mempercayakannya padaku!”
            Aku terdiam, kakiku mulai terhenti. Nyaris, tebing akan kulewati begitu saja. “Akh,,, itu selalu muncul!” Kepalaku pening, tapi otaku sudah kosong.
            Deburan ombak menghantam cukup keras. Gelombangnya mengerikan! Bahkan kulihat perahu kecil terombang-ambing di tengah-tengahnya.
            “Aku ingin kau yang mengakhirinya.”
            Suara itu lagi! Degung telingaku tak mendengarnya, tapi pernah jelas di telingaku. Hatiku sedang meratapinya sekarang. Sedang mengisahkan diriku diantara kawanan awan malam.
            “Sudahkah kau mendengar kabarku?” Itu adalah kewarasan yang masih aku punya, setidaknya karena itulah aku akhirnya ingin melakukannya.
            “Aku takut… “ Badanku tak bisa digerakan, baik untuk melangkah maupun untuk kembali. Hari ini aku hanya ingin tetap berdiri diantara keduanya, mengharap dapat tau responnya.
            Aku tertunduk, Aku terlihat seperti orang yang kehilangan arang! Terpaku untuk sesuatu yang bahkan tidak aku tahu… menyebalkan!
            Bunyi petir mengagetkanku. Ujung kilatnya hampir mengenaiku, “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Aku tau akhirnya jika tetap di sini. Tanpa mencoba pun aku akan tetap mati.
            Tapi aku juga tak bisa kembali, menghentikan niat kuatku saat ini. Satu-satunya niat yang bisa ada di otaku.
            Dua kali petir itu menampakan kilat bercabang dengan ujung yang mendekatiku. Kengerian itu tak bisa aku gambarkan. Bagaimana aku bisa berhadapan dengan kematianku sendiri. Bahkan aku berniat membiarkan itu berlangsung.
            Aku menangis. Hatiku lemah untuk memilih jalan apapun, semua itu terlalu pekat dari sekedar gelap. Aku meronta, melawan dalam diam. Mengucurkan air mata kepedihan. Muntahan itu tak akan menjadikan apa pun, bahkan untuk menguranginya pun tidak, tapi aku melakukannya!
            “Apa… Apa?”
            Hujan diganti oleh gerimis. Kilat tak meninggalkan jejak diikuti perubahan awan yang tampak tidak terlalu gelap. Tak ada bunyi-bunyian yang mampu menakutiku untuk keputusan apapun yang segera akan kuputuskan.
            Gelombang tak menggulung lebih besar dari sebelumnya, deburannya biasa saja. Laut menghentikan gerak cepatnya dengan gerakan melambat yang aku saksikan. Aku tak berhenti bersedih, justru itu yang membuatku lebih sedih.
            Semula… langit, laut, angin, dan hujan mencoba untuk melakukan sesuatu. Tapi saat hatiku ingin kutata melihat semuanya. Saat itu semua tak berusaha untuk apapun. Mereka membiarkanku melakukan apa yang akan aku lakukan, bahkan hal terburuk sekali pun.
            Tangisanku tak sekeras tadi saat ingin menyamai suara deruan itu. Tapi saat semua menjadi sunyi dan sepi, tangisanku terurai dengan hati yang lebih pilu.
            “Betapa menyedihkannya aku hari ini!”
            Aku berbalik, bahkan aku tak punya pilihan untuk apapun. Ternyata pilihan hidupku tidaklah penting.
            Tak ada kabar apa pun. Aku hanya seorang diri dikesedihanku sendiri, bahkan ia tak menampakan perhatiannya, kemarahannya, bahkan ke acuhannya. Aku telah terabaikan.
            Aku berjalan gontai, sedang tidak ragu dengan apapun. Tapi juga tidak sedang yakin untuk apapun. Hatiku terlalu sedih untuk bisa mengetahui apa saja yang ada di dalamnya.
            Adzan berkumandang. Hanya itu yang mampu menghiburku, setidaknya ada satu dzat yang akan senang jika aku masih bisa menemuinya, melakukan perintahnya.
            Aku berjalan kesana kemari mencari surau sambil membawa tangisanku. Aku tak menemuinya, hanya ada tebing dan pantai luas terpampang. Aku berjalan cukup jauh dari tempatku semula, mencoba mengusahakan untuk sesuatu yang akan tetap menghargaiku.
            Cukup beberapa meter, kulihat sebuah surau kecil di pantai sebelah. Ada WC umum yang menyediakan air bersih, aku memasukinya. Membasuhkan air suci untuk bisa menemui-Nya. Ditengah do’aku hanya air mata yang masih tersisa. Nama-Nya tak luput dari kesedihanku, justru semakin sering kutanamkan dalam kegamanganku.
            Aku keluar dengan baju dan celana yang tergulung. Kuturunkan, baru bergegas untuk memasuki surau. Hari itu tak ada pengunjung, malam pun membuatnya sesepi kuburan. Tapi kali ini aku tidak takut. Ada Allah di sana.
            Solat itu tidak khusuk, lafalnya tidak fasih juga tidak tertib. Selama  itu berlangsung tangisku tak bisa ditahan sedikitpun. Napasku terengah-engah dan menyamarkan bacaan suratku. Begitupun gerakannya sangat perlahan-lahan.
            Meskipun itu yang kubaca, hatiku tetap berkata-kata. Aku tak jelas merasakannya, tapi aku yakin Allah bisa mengetahuinya.
            Solat terhenti, diakhiri dua salam. Aku menghela napas panjang. Mengucap beberapa syukur dan doa-doa lainnya tanpa ketinggalan tangisan yang terlanjur aku buat sebelum memulai solat.
            Hanya ada beberapa kata yang selalu ingin aku katakan. “Maafkan aku… dan Kumohon tolonglah aku…”
            Kematian itu akan terjadi dengan disengaja atas kehendaknya. Syukur Alhamdulillah aku masih bisa meminta maaf untuk kehendaku sendiri. Dan puji syukur berkat kehendaknya yang terjadi.
            Hari terasa begitu panjang, tangisanku pun tak pernah menyurut. Kesedihan itu menghantuiku, menghantarkanku pada keputus asaan yang tidak pernah ada sebelumnya.
            “Aku tahu itu sangat buruk, tapi aku juga sadar betul alasan apa yang membuatku seperti itu. Duri tetaplah duri meski dihiasi oleh indahnya bunga-bunga yang bermekaran. Seperti gambar mawar yang kupegangi. Duri Rinjani juga akan menjadi alat untuk mempertahankan diri dan bertahan hidup saat ini!” ucapku pada diriku sendiri, kembali menggauli kesendirianku dalam tangis.

Lentera EmJe,



BINGKAI

0 koment


10:08 AM

BINGKAI
“Apa kau sudah lama mencintaiku?” terangku. Kali ini Yhun tampak kaget, “Apa?”
“Apa ini! Pendekatan secara tidak langsung… Atau sebuah serangan yang mencolok?” hatiku geram menyikapi sikap munafiknya.
“Kau gila!” tanggap Yhun.
“Lalu untuk apa?”
Yhun ternyata tak bisa menepis pertanyaanku, ia hanya mampu memberi jawaban lain! Kali ini ia keterlaluan, mencoba berlalu lalang di hatiku lalu mencoba menyalahkanku atas semua kelakuannya.
“Meskipun aku gila, apa dia juga terlihat seperti orang yang waras?” hatiku membatin. Belakangan ini aku cukup dipersulit dengan kehadirannya, haruskah aku juga menerima untuk disalahkan seperti ini.
“Iji… Tunggu!” Yhun mengejarku hingga di depan pintu.
“Ada apa?” tanyaku sangat tidak bersahabat.
“Kenapa kau pergi?”
“Lalu untuk apa aku tetap di hadapanmu?” Kulempar tangannya dengan kuat, jika aku mampu akan kubuat putus saja! Aku benar-benar sangat kesal.
“Apa kau bisa, tidak memperdulikanku?”
“Kenapa kau menganggap. Aku akan tetap memperdulikanmu? Tidakah kau berpikir aku pun sedang melakukannya?” tambahku. Kulihat Yhun terdiam, lidah tajamnya tak mengeluarkan pisau yang biasanya sudah menyayat hatiku.
“Kalo begitu. Biarkan aku yang mencintaimu?”
Yhun menawarkan tatapan yang sangat hangat. Aku sungguh terkesan, tapi lagi-lagi itu mampu membuatku menahan napas.
“Setelah itu apa? Apa kau akan mempertahankanku, lalu benar-benar menjalin hubungan denganku? Atau kau hanya ingin mempertahanku untuk sementara, lalu hilang begitu saja meninggalkanku!”
“Lalu kau ingin aku bagaimana? Meratapi cintaku yang tidak bersambut, lalu mulai berhenti untuk memikirkan hidupku? Atau… Kamu ingin aku melakukan hal bodoh?”
“Apa?” Sentaku, “Bodoh?” Enggan rasanya meneruskan pembicaraan yang selalu bernuansa sama, karakter kuat untuk sesuatu yang menyakitkan.
“Aku minta maaf jika kata-kataku membuatmu sedih…”
“Jangan meminta maaf, kau tidak sedang terlihat merasa bersalah sekarang!”
Yhun dan aku terdiam, mencoba menghentikan kekakuan ini…

^^^^

Lagi lagi aku harus merenunginya. Kehadirannya tidak masuk akal. jelas-jelas tidak ada apa-apa! Berada ditengah jarak yang cukup pelik, baik dari pihakku maupun pihaknya.
Sikap kami tak pernah menyatu, di antara air dan minyak. Untuk apa dia bersikap seolah air tidak masalah dicelupkan dalam minyak mendidih.
Bagaimanapu aku harus focus! Memikirkannya saja aku muak, apa lagi harus berusaha untuk memahami seseorang yang tidak bisa membaca situasi seperti dia.
“Lu baik-baik aja Ji?” tanya Heon.
“Tidak…” jawabku sekenanya.
Selama perjalanan aku hanya bisa menunduk. Memikirkan apa yang tidak penting menurutnya. Mengharapkan sesuatu yang bahkan tidak pernah ada di benaknya. Mencoba untuk tetap seperti yang ada di pikirannya.
“Kenapa kamu begitu lama. Tidak disiplin, tidak tepat waktu. Kau tau, sudah berapa lama aku menunggumu?” Yhun berada ditempat yang sama, selalu sudah berada di hadapanku.
“Apa urusanmu, bahkan jika aku tidak datangpun. Apa hakmu bertanya?” Kuinjak kakinya, baru ia bergeser tidak menghalangi jalanku.
“Apa katamu?” Bukan hanya ditarik, tanganku diletakan di bawah dengan tangannya yang masih memegangiku, lalu tangan satunya merengkuh tubuhku dengan erat.
“Kau tau seperti apa rasanya…?”
“Setiap hari, Jam, menit, detik… tak satupun yang mampu membuatku tau waktu telah berlalu saat kau sudah ada didalamnya! Tidakah kau berpikir, ditiap hari, jam, menit, detik… bagai mana caraku untuk melewatinya?”
Hatiku terpesona! Kata-katanya itu… apa aku harus memujinya untuk itu, karena itu sangat indah?
Aku tak menolak, tapi hatiku masih tidak mengerti, sungguh! Bahkan aku tidak yakin dengan pikirannya saat ini.
“Tidakah kau terlalu jujur… Baik untuk mengungkapkan cinta atau untuk mengungkapkan kau tidak menyukaiku. Kau anggap aku apa? Wonderwoman?”
“Kalo begitu jadilah seperti itu?”
Tak kuasa menahan sakit, akhirnya aku menagis dipelukan hangatnya. Aku nyaman dengan tindakannya, tapi tidak dengan ucapannya. Benar-benar tipe cowo yang rumit.
Tidak bisakah dia mengatakan suka lalu meminta, atau lekas mengatakan tidak suka lalu berhenti untuk memberi.
Bahkan ia seseorang yang terkesan mudah mencampur aduk hidupku lewat hati kecilku sekarang!
“Jika kau bertanya ‘Apa aku jahat?’ aku tidak akan berpikir untuk tidak yakin. Maka ingatlah apa jawabanku ini ‘Kau mahluk terjahat yang pernah kutemui!”
Kuinjak lagi kakinya, ia tak bergerak, kedua kali, baru dia merenggangkan pelukannya. “Kalau kau ingat aku, ingat aku sebagai seseorang yang memperlakukanmu seperti ini. Bukan sebagai seseorang yang sudah memperlakukan aku seperti ini!”
Kutinggalkan Yhun tanpa menengok kembali. Aku berharap sepulang nanti dia tidak akan berada di hadapanku lagi!


Dikelas aku lagi-lagi merenunginya! Bahkan aku tidak tau apa dia melakukan hal yang sama atau tidak. Bahkan lagi-lagi aku memikirkannya, “Apa ada tindakan, sikapku itu yang sudah menyakitinya!”
“Lama baget!” Heon sudah ada di sampingku, “Maaf, mendadak tadi ada sesuatu. Tidak kusangka akhirnya aku terlambat juga!”
“Tak apa.”
“Besok kita pergi sekolah bareng yah?” Seon tersenyum, syukurlah ia terlihat tidak marah.
Selama jam pelajaran berlangsung, aku hanya mampu membaca dan mendengarkan. Tak mencoba bertanya terlebih untuk menjawab. Padahal ujian sudah dekat, ini menyebalkan. Tapi lagi-lagi aku hanya mampu menyalahkan diriku sendiri yang masih tidak bisa fokus,


Sepulang sekolah aku tak melihatnya. Ia tak menggangguku lagi, tapi ia masih mengganggu hatiku, “Tidak bisakah ia bertanggung jawab sedikit dengan tidakan yang pernah dilakukannya?”
Aku hanya menendang angin, melihat awan dari kejauhan. Mengharap bayangan, tanpa tujuan.
Jalanku memang tak gontai, tapi langkahnya kosong bagai tanpa tulang. Sebisa mungkin aku menopangnya. Dan memandang tegak sendiri.

^^^^

“Aku putuskan. Kita akan tetap seperti ini, tidak jadian… juga tidak putus!”
“Terserah…!”
“Kenapa?”
“Karena jadian maupun putus, aku akan tetap begini, seperti ini.!”
Ia menyeruput kpinya. Aku hanya ingin memandangnya untuk sesuatu yang ada di hadapanku, bukan sekedar seseorang yang ada di pikiranku. “Itu keputusanku!” kata hatiku.

BINGKAI YANG MELINGKARI HATIKU
Lentera EmJe,

Cipta 8 "PUISI UNTUK KEKASIH"

0 koment


09:45 PM

Love... Love... Love...
PEREMPUAN;
Dengan senyum yang kau bawa,
Aku mampu menangkap satu niatmu.
Penuh rona dan suara ramah,
Membalut kesan yang sangat indah.
Aku menunggumu dari awal kau datang dalam hatiku.
Aku hanya malu menyambut cintamu,
Karena kelak pasti akan menjawab keinginanmu.
Tapi bukan itu alasan mengapa aku membiarkan kegelisahanmu,
Rindu dan keinginan untuk berdatang diucapanmu.
Aku tidak ingin ragu, kata apapun yang akan kau ungkapkan padaku.
LAKI-LAKI;
Aku mengerti saat matamu menepis untuk kuperhatikan.
Menjaga jarak dari hatiku yang tertahan.
Bukan untuk menodong! Bukan untuk memalak!
Aku ingin menciptakan kata untuk sebuah permintaan yang berbeda.
Membiarkanmu terlepas dari beban, minciptakan kebahagiaan.
Biarkan aku meninggikan hatimu sejenak,
Kelak kau yang harus meninggikan pernyataanku.
Karena kau tau “Cintaku hanya untukmu”
PEREMPUAN;
Sungguh indah kata-kata cinta.
Terlebih berasal dari hatimu.
Memang tidak biasa,
Karena kau selalu jadi yang istimewa.
Mampu mempengaruhi banyak rasa,
Hingga cintaku terbawa.
LAKI-LAKI;
Hatimu baik, baik pula cinta yang sedang ada ini.
Tentu karena kamu! Biarkan aku tetap memegang hatimu seperti ini.
Berusahalah untuk tetep mempercayakannya dihatiku.
Karena kau tau cintaku tidak akan menyakitimu.
Kau adalah pilihan, dan harapan didalamnya.
Hanya satu, “KAMU”

Lentera EmJe,
As; http://www.facebook.com/groups/204096346277509/?notif_t=group_activity#!/note.php?note_id=174409619308098

Rahasia Hati

0 koment

09:05 PM
"Keindahan yang kau ciptakan sungguh tidak masuk akal! Tapi selalu ada pengecualian; untukmu."

RAHASIA HATI

Kau selalu seperti itu. Aku tak dapat berkata apa-apa… Selalu semaumu, tidak peduli denganku! Apa lagi…
Kulihat kau melipat tangan. Memandang kosong ke depan! Pikiranmu mungkin bertemu sesuatu yang tidak aku ketahui. Tapi aku ada di sampingmu untuk bisa mendengar keluhanmu…
“Bicaralah kepadaku… Cobalah untuk mempercayaiku…” Ia masih diam.
“Aku menjadi kekasihmu bukan untuk seperti ini…” tambahku. Kali ini aku pergi meninggalkannya. Hatiku sakit, seseorang yang kucintai terus menyembunyikan hatinya.
“Bahkan aku tak bisa melakukan apapun untuk membuatku mengetahuinya…” Lirih kurasakan dalam hatiku, sakit ini mungkin tidak ada artinya. Tapi dia harusnya tau, sakit dalam hatinya berpengaruh bagi hatiku.
“Aku memandangnya kembali dari balik jendela. Ia selalu berada di tempat yang sama untuk sesuatu yang sama. Tapi detik ini pun aku gagal mengetahuinya. Ia tetap tidak memberitahuku, ia terus terdiam seperti itu.” Tangisanku meleleh, aku tak dapat menahannya. Entah sampai kapan ia akan terus bersikap seperti itu.
Hari beranjak, dari pagi ke siang. Mau tidak mau aku harus memasak! Ibu akan marah jika tau aku bermalas-malasan. Kulihat Joo Menemaninya, biarlah temannya yang membuatnya bicara… asal ia bisa lebih baik dari itu.
“Kenapa! Dari pagi udah ngelamun…” Angi Adikku, menyodorkan sayur mayur dan beberapa bungkus daging.
“Masak apa kita hari ini…?” tanyaku, mengacuhkan pertanyaannya.
“Oh… Ini… Bikin sup atau dibikin gulai, atau… tumis… e…” Angi masih menyiapkan perlengkapan masak.
Aku tak menjawab… begitupun mendengarkan… Aku hanya melakukan apa yang biasa aku lakukan. Tanpa ini dan itu kubuat bahan itu menjadi beberapa makanan yang disebutkan oleh Angi. Tapi pikiranku tetap kosong untuk itu… Rain tetap berada di dalamnya.
“Ah!!!” Kutarik tanganku yang menyentuh badan panci. Kulihat sedikit melepuh, Angi tak tahu. Segera kusembunyikan darinya dan tak mengatakan apapun sekaligus tak mempermasalahkannya.
Sebelum jam makan siang aku dan Angi telah usai memasak dan menyajikannya. Kulihat Rain dan Joo masih asik dengan perbincangan mereka.
Aku merasa sedikit tersisih. Tapi… dengan begitu Rain tidak akan  terdiam lebih lama dari itu. Setelah berbicara dengan Joo, Rain mulai terlihat seperti biasa.
“Ini khusus dibuat untuk Rain dari Kikan…” Ucap Angi saat Joo dan Rain mendekat.
“Loh… Kami tidak boleh memakannya…” Ibu datang ditengah perbincangan kami.
“Akh Ibu… Mana mungkin Ibu tidak boleh makan… Kalo yang lainnya sih gak papa gak makan juga.” Timpal Rain.
“Sialan lu…” seloroh Joo. Angi hanya tertawa melihat Joo merengut.
Aku diam. Rain benar-benar terlihat berbeda saat seperti itu. Ia seperti jadi orang lain, tidak seperti seseorang yang tadi aku khawatirkan.
Kami makan bersama. Bapak juga hari ini bisa makan bersama, semua seperti biasa, selalu seperti tidak terjadi apa-apa.
Selesei makan mendadak kudapati tatapan Rain kearahku. Rasa bersalah? Kasihan? Atau apalah? Dia selalu bersikap, tidak pernah berkata dan menjelaskan.
Kurapikan piring, sendok dan yang lainnya. Aku dan Anggi yang menyucinya. Aku masih melihat tatapannya kearahku. Ada apa? Kenapa?
“Heh… biarlah… biarlah dia sendiri yang bertanya…” pikirku.
Selesei dengan semua itu aku berusaha mencari P3K. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak tau harus kuapakan tanganku yang masih kurasa perih. Saat hendak membuka tempat P3K, Rain meraih tanganku. Mengolesinya dengan obat seperti salep.
“Saki?” tanyanya.
“Iya…” jawabku tidak yakin.
“Kenapa bisa begini… Kamu harus selalu hati-hati… aku sudah membuatmu sakit, jangan lakukan hal yang akan membuatmu sakit lagi…”
Matanya tertunduk. Setiap berbicara seperti itu ia tak pernah mau menatapku. Tidak berani… atau…
“Aku tak apa…” Kutarik tanganku. Tapi ia kuat memeganginya, “Biarkan aku menyembuhkan luka yang ini.” katanya.
Aku membiarkannya, dalam hening ia mencoba meniup dan tak membiarkannya tanpa angin. Hembusan itu membuat lukanya cukup dingin dan tak terasa sakit lagi. Dia terus melakukannya sampai aku memintanya berhenti dan membiarkannya sembuh sendiri.
“Jika aku tidak pernah terluka,,, aku akan seenaknya melukai orang lain nanti…”
Aku senyum untuknya, dan ia kemudian berkata, “Terima kasih.” Aku beranjak dan kembali kekamar.
####
Esoknya kulihat hal yang sama. Kali ini aku lebih tenang menghadapinya, aku tak mencoba untuk apapun. Biarkan dia seperti itu, sampai ia tau apa yang benar-benar bisa ia lakukan.
Harusnya aku tau ia memang seperti itu. Konsekuensi mencintai dan menjalin hubungan itu berbeda. Saat kita mencintai kita tak akan melihat halangan apapun untuk tetap memilikinya atau tidak, cinta itu akan tetap ada tanpa harus dipaksakan. Tapi hubungan berbeda, dari awal saat ingin memulainya kita telah memutuskan untuk menerima apapun. Karena jika tidak, tidak akan dibentuk oleh awal itu. Tinggal bagaimana mempertahankan keputusan kita dari waktu yang sulit untuk ditentukan.
Harusnya aku sadar lebih awal. Dan bersikap lebih baik dari itu…
“Apa udah gak sakit lagi?” Hari ini Rain kembali lebih cepat dari sebelumnya. Ia masih memandangi tanganku. Memastikan keadaannya.
“Apa karena yang ini terlihat, jadi lebih mudah untuk menyikapinya…”
Rain mulai menatapku. “Iya… dengn melihatnya aku bisa tau seberapa parah!” Rain kembali berpaling. “Bagaimana rasanya?” tanyanya.
“Yang mana?”
“Semuanya…”
“Ada apa saja?”
“Apa…?” Ia terlihat berpikir. Mungkin ia memang tidak tahu apa yang kumaksud.
“Apa yang kamu pikirkan selama ini, selama berhubungan denganku! Ada apa saja?” Pertanyaanku mengejutkannya. Ia terlihat gugup dengan itu. Ia hampir meninggalkanku sebelum, “Apa benar kamu ingin agar aku tidak sakit? Apa benar kamu ingin menyembuhkan lukanya?”
Rain tak berkedip, kali ini aku berhasil menatap mata tajamnya. Tatapan itu telah berbicara banyak lebih dari suara yang hampir tidak pernah ia katakan. Kata-kata yang selalu sulit aku dapatkan… baik secara baik-baik atau tidak!
“Bagaimana?”
Rain kalah, sejenak ia menepis balasan tatapanku. Lalu kemudian baru menatapku lagi, kali ini tatapannya penuh keyakinan. Aku takut mendapatinya, karena sudah tidak bersahabat lagi. Tatapan itu ditunjukannya untuk meyakinkanku, aku sangat tidak suka.
“Mulailah dengan mempercayaiku… Lupakan aku sebagai seseorang yang harus membuatmu terlihat lebih hebat, kuat, jadilah seseorang yang bisa apa adanya mengungkapkan isi hatimu. Karena hanya dengan itu hatiku tidak akan berat untuk melakukan hal yang sama…”
Aku tak tau ekspresinya. Aku sedang tidak melihatnya sekarang! Yang pasti, apapun itu. Itu adalah hal yang akan menunjukan seberapa niat dia untuk mempertahankan hubungan kita.
“Aku tak mau membuatmu hawatir… lagi pula ini urusanku, yang harus aku seleseikan sendiri…”
“Aku tau! Tapi… Aku selalu berpikir, dalam hubungan ini kita tidak sedang memberikan hati sepenuhnya. Baik aku atau kamu,,, sama saja!” Aku tak memperdulikan jawaban apa pun, semua itu menunjukan hubungan ini akan seperti ini sampai kapanpun.
Saat itu aku melihat Joo sedang asyik dengan motornya. “Joo…” sapaku. Joo melirik lalu melanjutkan aktifitasnya lagi. Kulihat Ibu dan Bapak hendak keluar, mungkin ingin pergi kesuatu tempat yang penting. Soalnya Ibu jarang bepergian.
“Loh.. Mereka mau kemana?” tanyaku pada Joo.
“Mau jemput Seli. Katanya dia mau tinggal disini…”
“Tapi kamar disini kan sudah penuh! Apa ada yang akan ditendang keluar?” Aku diacuhkan oleh Joo. Bahkan sejak tadi dia tidak begitu memperhatikanku.
“Joo…!!!” Aku teriak kesal.
“Bukan begitu. Aku akan pindah, jadi Ibu mengijinkan Seli tinggal disini…” Sergah Rain.
Aku sempat kaget dengan kemunculan suaranya, tapi saat kulihat mukanya. Aku tak percaya dengan perkataan yang baru dilontarkannya.
“Apa?” Tanya aku dan Joo bersamaan.
“Lo mau pindah sekarang?” kata Joo.
“Apa… Jadi lo tau…” Aku menatap Joo. Joo hanya menunduk menyesal.
“Apa-apaan ini. Kenapa…” Aku tak percaya. Untuk hal seperti ini saja Rain tidak membicarakannya.
“Jadi ini alasannya… kenapa kamu ingin menyembuhkanku… karena kamu akan pergi…?” Aku menangis, ini pertama kalinya aku begitu marah.
Kulihat Joo meninggalkan kami. Tapi Raim tetap menatapku dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya. “Bukan…” katanya.
“Tapi … ini caraku untuk menyembuhkanmu…”
Aku sangat kaget, berusaha menerjemahkan maksud dari kata-kata itu, “Cara untuk menyembuhkanku…” ulangku.
“Ia… Ini satu-satunya cara untuk bisa menyembuhkanmu… Kikan…” Mendengarnya hatiku sangat perih.
Aku tak mampu mendengar apapun setelahnya, aku hanya berani untuk mencari jawabannya pada Joo. “Joo tunggu!” Kutarik paksa tangannya.
“Sakit Kan! Ada apa sih…” Joo enggan meladeniku, tapi dia mencari-cari wajah seseorang yang baru kutinggalkan.
“Rain cerita apa? Katakan?” Pintaku tidak dengan baik-baik.
“Apa Rain tidak memberitahumu?”
“Lalu untuk apa aku bertanya jika sebelumnya pernah diberi tahu!” Kata-kataku semakin ketus.
“Kalo begitu untuk apa Kikan Tanya padaku! Rain sendiri tidak memberitahukannya!” Joo berlalu. Ia tergesa-gesa menjauhiku, “Ada apa?” Hatiku selalu bertanya untuk sesuatu yang tak pernah diberi jawaban.
“Kan… Sudah kubilang, ini satu-satunya cara agar kamu bisa sembuh! Bukankah ini terlalu menyakitkan.”
“Apa? Apa hakmu menghakimiku. Sakit atau tidak, apa kamu tau bagaimana? Atau seperti apa rasanya? Karena jika kamu memilikinya, kau tak akan mau ada orang lain yang membuatnya.”
Rain terdiam, akupun begitu. Hening membuat kami bisa saling memandang satu sama lain. Memperhatikan lawan bicara dengan seksama, dan mencoba menerka apa yang ada di pikiran dan hatinya.
“Tapi… aku tak pernah mengetahuinya! Alasan kenapa aku juga tidak bisa mengerti.” Aku duduk, menyampingi Rain yang berdiri.
“Kau mencobanya Kikan, aku juga! Tapi itu tidak cukup untuk membuatnya berhasil. Ternyata ini tidak semuadah itu bukan.”
Tak ada satupun alasan yang harus membuatku memutuskanmu. Aku menyukaimu, kau tau perasaanku tidak sepolos itu_bukan sekedar menyukai, tapi sangat menyukai. Tapi kenapa hubungan ini terasa begitu berat. Apa karena hanya aku!
“Aku percaya ada cara lain yang bisa kita gunakan.!”
Pandanganku menerobos asa dua bulan silam. Saat aku memutuskan untuk bersamanya, aku pernah berharap hubungan ini tidak sekedar untuk seperti itu. Tapi melihat apa yang terjadi, satu hal yang membuatku menarik kesimpulan. “Sesuatu yang direncanakan kadang tidak akan seperti itu.” Ucap hatiku.
“Cara? Apa selama ini kita tidak menggunakan cara. Bahkan kita pernah mencoba untuk banyak cara!” Rain duduk di depanku. Kali ini kami dapat berbicara dengan baik dari sebelumnya. Apa karena kita akan putus, hingga akhirnya kita bisa jujur untuk satu sama lain?
Sedih rasanya mendapati akhir seperti ini. Benar-benar keindahan yang tercipta tanpa cahaya, warna, dan meninggalkan dua kata ‘Hubungahn kita’
“Baiklah. Aku ingin tahu, apa yang kau ceritakan pada Kakakku! Setidaknya jika ini keputusanmu, aku berhak untuk tahu itu.!”
“Tidak. Aku tak mengatakan apapun, sikapku padamu dengan sikapku padanya pasti tidak sama. Satu hal yang benar yang ingin kamu tahu, aku tak pernah bercerita apapun kepada orang lain apa yang tidak pernah aku ceritakan kepadamu. Jadi yang Joo tau, hanya sesuatu yang kamu tahu, bukan Sesutu yang tidak pernah kamu tahu!”
 “Jadi harus seperti ini. Bersikap baik, memperbaikinya tapi semuanya selesei.” Akhirnya…
Lentera EmJe,

Fans Yhun Bin

0 koment


08:37 PM

Hatiku ingin meledak...
Senang... haru... kau ada di dalamnya.
Menyenangkan,,, tapi itu cukup menyedihkan,,,
Kau adalah warna di tiap rasa.
Aku memujamu. Cukup dengan cara itu.
Aku ada untukmu. Cukup seperti ini.
Bagaimana lagi aku bisa mengunggkapkan kekagumanku padamu...
^^

Hyun Bin di Panggung Hiburan Musik HUT TNI ke-66 di Marinir Cila JAKARTA, 6/10 - HYUN BIN HADIRI SAPA PENGGEMAR DI PANGGUNG HIBURAN MUSIK HUT TNI KE-66. Aktor Korea Selatan, Hyun Bin yang tengah menjalani wajib militer, menyapa penggemarnya di Panggung Hiburan Musik HUT TNI ke-66 di Marinir Cilandak, Jakarta, Kamis (6/10/2011). Bintang 'Secret Garden' tersebut datang ke Indonesia sebagai Duta Industri Pertahanan Korea untuk Indonesia dan akan berada di Indonesia selama empat hari. Foto: VIVAnews/Muhamad Solihin/11.
Lentera EmJe,



NB; I Love u Yhun Bin^^

Cipta 7 "DILEMA"

0 koment


08:12 PM

Lagu itu terlalu indah untuk aku abaikan.
Iramanya menarik hatiku!
Aku menyukainya meski tidak.
Aku terpesona akan apapun yang dibuat.
Rasanya mustahil,
benar-benar ajaib.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Aku terharu oleh nada sendu didalamnya,
membuatku terbawa!
Hal yang tak pernah kualami,
tak pernah terjadi sebelumnya.
Aku enggan melepaskannya meski berat.
Membuatku selalu berpikir.
Berdebat dengan hatiku.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Membawakan suasana yang tidak biasa.
Mempermainkan banyak rasa.
Menjaga keharmonisan ditiap suara.
Aku memujinya,,,
Sungguh itu indah...

Tapi!

Itu terlalu jauh dari pemahamanku.
Mengulur anak tangga.
Menciptakan jarak.
Membelenggu waktuku.
Itu sangat mengganggu.
Menimbulkan jera.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Sesaat itu menyayat.
Sejengkal,,, harmoninya menimbulan bising.
Menciptakan ruang pemikiran.
Membentuk sebuah gambaran.
Menunjukan banyak kesalahan.
Menghilangkan kepercayaan.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Diam, diam...
Terdiam....
Hanya mampu menyepi...
Menghilangkan kegaduhan manusiawi.
Melerai beberapa hal.
Membuat sebuah pilihan.
Susah,,,
Senang,,,
Terjadi saat kugabungkan keduanya.

Lentera EmJe,

As; http://www.facebook.com/Lentera.EmJe#!/note.php?note_id=173615789387481

Cipta 6 "Catatan Petang"

0 koment


07:34 PM

Jika kubilang langit itu putih dimalam hari,,, apa kau akan percaya?
Atau jika kubilang di langit terdapat taman,,, apa kau juga tak akan percaya?
Bagaimana jika kutambahkan 'adanya dalam mimpi'
Apa kau masih tidak percaya?
Bagaimana aku memimpikannya, atau bagaimana caraku memimpikannya... Apa itu salahku?
Atau aku salah menempatkan mimpi itu dalam hidupku?
Bahagiaku,,, kecewaku ada karena itu...
Apa aku akan kecewa dengan mimpiku ulah diriku sendiri karena tidak ada dalam kenyataannya?
Atau karena ada yang mengusik mimpiku...
Membuatnya terlihat nyata,,, lalu dirubah menjadi mimpi belaka,,,
Atau...
Mimpi itu tak pernah kubuat,,,
Tercipta karena beberapa sebab...
dan kembali tanpa apa-apa...
Atau...
Mimpi dan kenyataannya sama...
Atau aku salah faham dengan mimpiku sendiri?
.......................................................
Meskipun begitu... mimpi itu begitu indah...
Membuatku ingin tetap memilikinya.
Tapi tidak untuk menunjukan itu salah, melainkan karena itu benar...
Aku tak akan kecewa dengan mimpi apapun. Entah saat terbangun mimpi itu nyata atau tidak...
Yang kutakutkan adalah,,,
Karena kenyataan... kemudian aku akan bermimpi buruk...
.........................................................
Aku tak dapat menggambarkan suasana ini.
Cuaca selalu tak menentu, begitupun musim yang tak selalu tepat.
Terkadang badai hilang,,, petir datang... hujan mengikuti, dan pelangi mewarnai...
Banyak embun dimana-mana,,, dingin...
Tapi saat itu juga terik mentari sangat menyengat...
Aku tak dapat menahan panasnya... Bahkan untuk berteduhpun aku harus susah payah!
Itu sebab mengapa aku tak berani berharap.
Ditepi pantai bisa jadi terjadi tsunami bawaan,,,
Dipuncak gunung bisa mendadak longsor terbawa suasana...
Aku terlalu lelah untuk itu...
Aku hanya bisa didataran yang tenang meski bencana dimana-mana.
Menatapinya dari kejauhan dan terus diam.
Bukan hal terbaik... tapi hal yang baru bisa aku lakukan...
Entah berapa lama situasi pelik ini berlangsung...
Tahun berganti, generasi baru terus lahir dan berefolusi...
Aku hanya tetap seperti ini, SENDIRI.
 
Lentera EmJe, 

Satu Bintang Hatiku

0 koment



02:23 PM
Satu Bintang Hatiku

Setiap malam aku selalu melangkah ke luar untuk mencari bintang, ia pernah berjanji saat aku menemukannya maka ia akan datang  untuk menemuiku. Tapi agaknya kali ini tidak!
            Langit selalu muram di wajah hitamnya. Tak ada cahanya yang terpancar dari rautnya. Aku kesal, sangat kesal. Karena kudegar di daerah lain tidak hujan, kuputuskan untuk kesana. Agar aku dapat menemukan sang bintang.
            “Aku pergi dulu…” ucapku pada Rin, adiku. Kusambit kunci mobil, segera kutuju tempat yang dapat mempertemukanku dengan sesuatu yang tidak bisa kutemui disini.
            “Bintang. Kumohon tunjukan wujudmu, agar saat itu aku dapat melihatnya. Aku ingin menuntaskan rinduku! Cukup, aku kesal terus menyimpannya.” Kuinjak gas, memacu avanza dengan kecepatan tinggi. Aku mulai gila, saat hatiku mulai mereda sepintas kulihat sesuatu telah kulewati.
            “Astaga!” Sejenak pikiranku kosong, mendadak rem kuinjak. Bunyi decitan ban mobil benar-benar memekik. Hatiku jadi tak karuan. “Apa tadi…”
            “Kuharap yang kulewati tadi bukan hal nyata atau sekedar perasaanku saja…” Setelah kuperiksa, benar! Tak ada apa-apa. Hatiku berdegup kencang, cukup membuatku begitu tegang.
            “Apa yang telah kamu lakukan hingga membuatku seperti ini!” kataku dalam hati. Kakiku lemas. Kelakuanku hari ini benar-benar konyol. Mau apa aku malam-malam begini ketempat yang tidak aku kenali, atau mau kemana aku?
            Kutelpon nomornya tidak aktif, kutanya Kakak-nya juga tidak tahu. Teman-temannya? Apa lagi! Aku mulai tidak suka menunggu, aku mulai jera untuk bersabar. Ia benar-benar keterlaluan…
            Akhirnya aku pun pulang, melepaskan harapan yang pernah aku simpan. “Kakak habis kemana?” Rin mendadak berada di depanku. Tatapannya sepertinya aneh.
            “Ada apa? Ada urusan apa kamu tanya-tanya?” Rin memberikan sebuah amplop, sepertinya sebuah surat.
            “Apa ini?” tanyaku enggan meraih pemberiannya.
            “Lihat… Kakak pasti senang…” Kulirik sedikit. Tertera nama Bintang disana.
            “Bintang? Apa dia kesini? Kapan? Sekarang dimana? Lalu… Apa…”
            …..
            Rin hanya memegangkannya di tanganku tanpa ada kata. Ia bergegas pergi, sepertinya ke kamarnya. “Bintang? Untuk apa dia mengirimkan sebuah surat jika telfon saja dimatikan. Susahan mana mengirim surat sama menerima telfon? Kenapa dia mempersulit hubungan kita sih!” Aku terus menggerutu sambil membuka amplop hijau itu. Kuperhatikan tulisannya, sedikit berantakan. Mungkin karena tulisannya mirip cakar ayam atau sekacau tulisan dokter. Semua huruf disambung, bahkan tak terlihat space satu pun.
            Susah payah kubaca suratnya, akhirnya aku tau juga isi di dalamnya;
Dear Beautiful girl…
Aku tau aku jahat, tolong jangan pernah maafkan aku. Aku ini bodoh, karena telah membuatmu terluka. Aku juga tidak bertanggung jawab karena aku berani jatuh cinta. Sungguh aku bersalah telah berhasil membuatmu jatuh cinta.
Setelah ini kamu tidak boleh menangis lagi! Cukup satu laki-laki ini saja yang akan membuatmu seperti ini. Kelak kau harus membuat laki-laki yang mencintaimu dan laki-laki yang kau cintai tidak memperlakukanmu seperti ini.
Jangan pernah menangisiku. Aku tidak pantas mendapat senyummu apalagi harus menerima tangisanmu.
By

            “Apa-apaan ini. Beraninya dia…”
            Kuremas kertas itu, rasanya ingin langsung merobeknya. Tidakah ia keterlaluan, aku menunggunya bukan untuk ditinggalkan. Aku mempercayainya bukan agar bisa dihianati. Begitupun….
            “Aku mencintainya bukan untuk dilupakan…” ucapku lirih.
            Ia bener-benar hilang bak ditelan bumi. Menghilangkan jejak apapun untuku! Lalu… hal ini kah yang bisa ia lakukan setelah itu…
            Kuhempaskan tubuhku, merengkuh bintang yang masih bisa kutemui. “Aku sangat merindukannya! Bahkan aku terlalu merindukannya…”
            Peluh keringat dan butiran kesedihan tak mempengaruhi apapun. Hatiku masih terasa sama! Bagai mana ia bisa bertanggung jawab untuk ini.
            “Aku tak membutuhkannya untuk menjadi kekasihku, aku tak membutuhkan perhatiannya, aku juga tak membutuhkan cintanya. Aku hanya membutuhkan dirinya,,, buat aku untuk berhenti merindukannya. Hanya itu… Kumohon… Bintang…”
            Bintang yang bisa kusentuh mungkin telah basah, jika ia hidup pasti ia juga akan merasa sakit. Aku terlalu erat memeluknya, karena mengharap bantalan bintang berubah menjadi dirinya.
            “Kau memang tidak pantas untuk dikasihi… tapi aku yang sedang membutuhkan kasihanmu…”
            “Ini seperti rasa lapar yang hanya bisa dibuat kenyang oleh makanan. Atau rasa haus yang bisa dihilangkan dengan air. Bahkan ini seperti pup yang harus segera dikeluarkan…”
            Entah kata apa yang pantas kusebutkan. Bahkan kata-kata itu pun tidak akan cukup untuk menggambarkan seperti apa rindu itu dan bagaimana cara mengetasinya. Aku bisa gila! Sangat tidak waras.
            Kulihat Rin ada di celah pintu. “Ada apa lagi?” Kuhapus  bagian pipiku yang basah, aku tidak ingin memperlihatkannya.
            “Kak Bintang menyarankanku untuk menemani Kakak, aku sendiri tidak tahu karena apa!” ucap Rin lalu mengangkat bahunya.
            “Tidak usah! Tidurlah…” pintaku menjauhi tatapannya.
            “Kak Bintang juga menyuruhku untuk membantu Kakak! Jadi….”
            “Jika Kakak butuh sesuatu. Kenapa dia yang harus mengatakannya! Berhenti untuk berkata “Kata Kak Bintang!” Jika benar dia setau itu, mengapa tidak dia saja… haruskah ia selalu digantikan oleh orang lain? Dan jika memang harus begitu…”
            “Setidaknya dia mengatakannya, dan berhenti untuk terus berada di hatiku…” tambahku.
            Rin mendekat. Aku berbalik, tidur menyamping. Memejamkan mata, dan menghindari apapun yang akan ia katakana dan apapun yang akan ia lakukan.
            “Aku tahu…” Rin menepuk lenganku. “Aku cukup umur untuk bisa mengerti Kakak!” Rin lama berada di belakangku. Aku mencoba tak peduli. Rin tahu atau tidak alasan Bintang seperti itu, aku tak mau tau.
            “Yang jelas aku sedang terluka. Rinduku diabaikan, cintaku dianggap mainan, permintaanku dibalikan, dan harapanku juga dihancurkan. Apa lagi yang bisa aku rasakan? Semuanya sudah lengkap!”
            Mungkin empat puluh empat menit membuatnya bosan. Rin keluar, entah ia mengira aku tidur atau ia mengira aku tidak akan mau melihatnya. Aku lega! Bisa sepenuhnya menuntaskan kesedihanku, sakit hatiku, dan segala perasaan itu sendiri, tanpa ada yang mengganggu.
            Entah berapa lama aku menangis dan menangis. Entah berapa kata yang telah aku ucapkan, entah berapa pukulan, tendangan, atau lemparan yang aku lakukan. Kata kesal tak bisa menandingi rasa yang sebenarnya.
            Perlahan namun pasiti. Waktu beranjak sedikit demi sedikit. Entah di waktu yang keberapa aku menghentikan semuanya. Membiarkannya tetap ada tanpa melakukan apapun. Membawanya tetap dalam hati sampai tertidur.
            Sempat kuingat sebelumnya terucap, “Aku sedang merindukanmu BINTANG…”
@@@@
            Paginya kulihat kamarku sudah tak berbentuk. Sprei sudah melayang dari tempatnya, Cuma ada bantal dan guling yang masih berada di tempatnya, dengan kain kusut dan sedikit basah. Entah berapa ml air yang sudah aku hasilkan dari kesedihanku semalam, yang jelas ini sudah basah dimana-mana, terlebih bantalan bintang yang sempat kujadikan target kekesalanku.
            Aku terkejut dengan hasilnya. Ada beberapa barang yang pecah, ada yang sekedar berserakan, ada juga yang berada jauh dari tempat tidurku. Sepertinya itu kulempar dengan membawa kemarahanku di dalamnya.
            Kubenahi satu-satu. Aku tak berniat meminta Mbok Io. Aku ingin mencoba merapikannya sendiri, bagaimana pun ini adalah ulahku. Agak aneh ketika nanti ditanya , “Loh… Ada badai yang masuk kamar Non? Atau Kenapa tiba-tiba kamar Non memjadi tempat yang tidak biasa_karena terlalu berantakannya.” Akh, itu hanya kata-kata bodoh yang sedang aku pikirkan. Yang jelas aku ingin menatanya, begitu pun yang ada dalam hatiku.
            “Pagi Rin…” sapaku. Rin menghentikan suapannya. “Kakak baik-baik aja?” tanyanya, lalu melanjutkan suapan yang ia tunda.
            “Ia… Cuman matanya aja yang gak baik!” jawabku sekenanya. Aku yakin tuh anak nanya karena melihat bagian itu yang sedikit bengkak.
            “Mau aku bantu?” Kulihat Rin selesei dengan makanannya.
            “Tidak usah. Kakak kompres pake air anget aja…” Mbok Io menyodorkan makanan yang sama. Nasi goreng sosis.
            “Kamu gak sekolah?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
            “Em… Pak Edi tadi kasih tau. Akan ada rapat, kemungkinan hari ini diliburkan…”
            “Wah,,, beruntung banget kamu! Kakak waktu sekolah gak ada yang bisa diajakin calling-an!” sambutku sambil memulai sarapanku.
            “Kakak ini. Pak Edi itu kan Paman sendiri, kalo gak bisa diajakin calling-an yah aku aja yang gak bisa bergaul dengan baik.”
            Hari itu hatiku rupanya membaik. Rin memang teman yang bisa diajak untuk bicara. Lagi pula dia orang yang tidak banyak bertanya dan suka mencampuri urusan orang lain. Ia hanya akan mendengarkan dan menjawab, aku tenang menyikapi sikapnya yang itu.
            “Aku akan pergi hari ini… Kakak mau ikut?” tanyanya. Setelah kubiarkan hening.
            “Kemana? Kakak enggak mungkin keluar kan dengan mata seperti ini!” Kuletakan sendok dan garpu telungkup. Kuminum habis segelas air yang ada di hadapanku.
            “Aku akan menunggu Kakak, sampai mata Kakak normal. Gimana?” Jawabnya diikuti pertanyaan setelahnya.
            “Baiklah…”
            Kutinggalkan Rin di meja makannya. Aku bergegas untuk terapi mataku yang bengkak, cukup beberapa menit matanya terlihat membaik. Dipoles make up tentu tak akan nampak.
            Rin mengajaku ke toko buku. Ia tidak berniat untuk membeli, hanya membaca resensi satu persatu di sampul belakangnya. Aku melihatnya dengan tatapan yang tidak wajar, sedikit dibuat-buat!
            Baru kali ini aku menemani adik satu-satuku itu menjalankan aktifitasnya. Melihatnya asik sendiri aku jadi berpikir, “Apa ia selalu seperti itu? Benar-benar cool untuk seorang perempuan.”
            “Buku apa?” Kulihat Rin melirik, lalu menyodorkan bagian depan sampulnya. “Oh…” jawabku simpul.
            “Gak bosen?” Hah! Sebenarnya aku tak berniat untuk mengganggunya. Itu adalah pertanyaan yang kesekian. Sudah lama aku membuntutinya, tapi aku sendiri tidak tau dia mau apa atau mau mencari apa?
            “Kakak bosen?” dia bertanya, aku langsung mengangguk.
            “Ya udah… Sekarang Kakak mau kemana?” tanyanya.
            “Hem… Kamu sengaja mau ngenterin Kakak yah?” kataku membalik pertanyaan.
            “Ketahuan yah?” Rin tersenyum, ini senyuman pertamanya untuku.
            “Pantes dari tadi gak karuan!” Kutarik tangannya keluar dari toko buku. “Kaka pengen keluar malam aja!” Rin menarik tangannya. Ekspresinya berubah, “Kenapa?” tanyaku.
            “Kenapa harus malam?” Rin berjalan di depanku.
            “Em… Malem ada Bintang Rin!” Aku menunduk. Entahh ekspresi apa yang bisa aku keluarkan karena itu.
            “Kak…” Rin terdengar mengeluh. “Kenapa sih?” Tanyaku heran. “Ada apa?” tambahku.
            Rin mempercepat langkahnya. Ia mendadak jadi menjauhiku! “Ada apa sih sama tuh anak!”
            Sepulang dari situ Rin terdiam. Ia menghentikan segala aktifitasnya, terutama berbicara! Karena itu, tak ada pembicaraan yang mengalir di tengah perjalanan. Bahkan setibanya kami di rumah, dia tetap enggan untuk berbicara.
            Hingga malam datang…
            Bintang masih tidak Nampak. Meski aku tau penantianku akan sia-sia, aku tak berhenti menatap kearahnya. Bahkan sang bulan pun entah kemana,,, Malam terlihat tidak bersahabat.
            “Kak…” Terdengar ketukan dari luar daun pintu.
            “Masuk!” Teriaku, karena jarak pintu dan beranda lumayan jauh.
            “Aku boleh masuk?” terlihat Rin dari balik pintu.
            “Oh… Iya…”
            Rin datang menemuiku. Memintaku untuk dapat menemaniku katanya. Meskipun sikapnya aneh! Aku senang.
            “Kak…”
            “Ya…”
            “Apa arti bintang untuk Kakak?”
            Kuperhatikan wajahnya berubah sendu. “Bintang apa?” Tatapannya bertemu dengan mataku. Ada hal yang disembunyikannya. Aku tau!
            “Bintang? Apa ada Bintang yang lain?” Ia terlihat bingung, aku tertawa mendapatinya.
            “Selain Kak bintang. Ada dua Bintang yang ada di hati Kakak…” Jawabku.
            “Siapa?”
            “Bintang di langit… dan bintang yang ada di tempat tidur…” Aku tersipu, senyumku terasa begitu indah.
            “Kenapa?”
            “Bintang di langit adalah alasan mengapa Kakak bisa tetap dapat melihatnya… meski ia tidak ada di hadapanku. Dan bintang di tempat tidur adalah alasan mengapa Kakak bisa tetap bertahan meski tak bisa menyentuh dan di sentuh olehnya.”
            Aku benar-benar terbawa suasana… Malam itu jadi indah karena ada seseorang yang benar-benar ada di sampingku. Bukan hanya benda yang bisa sekedar kupandang, atau benda yang hanya bisa kupegang.
            “Jadi…?”
            “Apa?”
            “Kakak bisa melepaskan Kak Bintang kan dengan adanya dua bintang yang lainnya?” tanyanya ragu. Ada yang bening di matanya. Pantulan cahaya yang terpancar tak bisa membohongiku. Rin juga bersedih untuk sesuatu…
            “Mana mungkin Bintang digantikan? Apa dengan melihat dan menyentuh bintang yang lainnya. Cinta, sedih, dan rindu dapat usai? Terganti? Dan terasa sama?”
            “Kak…” Rin menitikannya. Sesuatu yang sudah lama berusaha ia bendung. Tatapanku tak luput dari wajahnya.
            “Apa ada yang membuatmu tahu? Atau ada yang sedang kamu tahu?”
            “Kak…”
            ….