Your Fairy

0 koment

Rabu, 02 November 2011





Your Fairy
“Apa tidak ada peri untuk bisa membantuku?” Kulihat sebuah buku yang menceritakan kisah seorang putri malang yang butuh pertolongan. Peri datang untuk membantunya!
“Aku iri!” kataku dalam hati. Meskipun aku tidak begitu yakin, aku tetap ingin mendapatkannya.
“Cinderela, Putri tidur, apa mereka bisa berakhir dengan kebahagiaan tanpa adanya seorang peri?” Mendadak aku mengigo disiang bolong, mimpi ditengah kenyataan.
“Sungguh tidak masuk akal!” pikirku. Menutup lembar terakhir.
“Kapan peri akan datang untuku?” Lagi-lagi aku berharap.
Kulihat suasana hari ini cukup baik, bahkan terlalu cerah menurutku. Tak apa, setidaknya dirumah tidak akan terasa panas karena ada pendingin udara.
Bosan rasanya di dalam rumah tanpa melakukan apa-apa! Hanya saja aku tak punya rencana untuk melakukan apapun hari ini. “Apa aku hanya bisa tidur, makan, nonton TV dan bermalas-malasan?”
Kucari nomor tertentu di kontak telfonku. Ada nama yang ingin kuhubungi! Sayang aku tak mempunyai alasan untuk melakukannya. Benar, alasan bisa dibuat. Hanya saja aku tidak punya keberanian untuk itu.
“Halo Ren…” Sapaku.
“Ya Na! Ada apa?”
“Hari ini ada acara? Temani aku yah?” Pintaku, disebrang sana Reni mengulur jawabannya. Aku tak langsung mendengar apapun.
“Bisa deh! Tapi gak lama. Gak papa?” tambahnya.
“Ya udah deh, asal kau mau datang…!”
Akhirnya hari ini aku hanya bisa menghubungi Reni, teman baikku. Memang! Saat-saat seperti ini seseorang yang selalu bisa diandalkan adalah sahabat sendiri. Beruntung sekali aku mempunyainya.
“Hay Na!”
Kulihat Reni sangat rapi. “Mau kemana non?” Kupersilahkan ia untuk mengikutiku kekamar setelah memasuki rumah.
“Hari ini aku ada acara. Berhubung waktunya diundur, aku bisa menemuimu dulu!” Reni menjelaskan.
“Thanks yah?”
Reni hanya tersenyum. Mukanya tidak jauh berbeda denganku, sepertinya diapun ada masalah!
“Tumben gak kemana-mana?” Reni duduk di sofa, mengarah kearah jendela kamar. Kulihat matanya menerawang.
“Aku ambil minum dulu yah! Hari ini aku ingin di rumah aja!”
Aku berlalu meninggalkannya di kamar. Sebentar, untuk mengambilkan suguhan. Tapi saat aku kembali, kudapati Reni berbicara dengan seseorang ditelpon. Bukan itu yang mencuri pendengaranku, kudengar ia sedikit tertahan . mencoba untuk menahan marahnya, sedikit menyamarkan isaknya.
Tapi setelah telpon itu berkhir, matanya mulai meleleh…
“Ren… Kenapa…?” Mendadak ia memeluku erat, menuntaskan kesedihannya di pundakku. Aku terbawa suasana. Hening membiarkannya melerai rasa sedih dalam hatinya. Rengkuhannya mulai renggang, ia menatapku, berkata-kata sesuatu.
“Deni selingkuh Na! Cewe itu Lyly…” Reni kembali menangis, aku sendiri tidak mempercayainya, bagai mana Reni.
“Dari mana kamu tau. Apa kabar ini benar!” Aku sangat marah saat mendengarnya, tapi aku tidak boleh membuatnya semakin terluka. Yang bisa aku lakukan adalah meredakan kesedihannya.
“Aku tau dari Fery, tapi aku mempercayainya tanpa sebab.” Aku sejenak bingung, pikiranku menggantung. “Maksumu?” tanyaku.
“Kelakuan Deni akhir-akhir ini berubah. Gak aneh, jika alasannya adalah selingkuh. Lagipula Fery tak punya motif untuk apapun jika ia hanya berbohong!” tuturnya lirih. Entah apa yang bisa aku katakan, aku hanya mencoba untuk bijak.
“Bukan itu. Seseorang bisa saja salah faham, Fery hanya mengira atau sudah terbukti katanya?” Kulihat Reni menunduk menyesal, “Deni bilang, Lyly cewe barunya…” Linangan itu jelas kulihat. Begitupun dengan kesedihannya.
Aku akui, hubungan mereka tidak selalu baik dipandangan umum. Entah apa yang membuat mereka bersama sebelumnya. Tapi, disela-sela itu tak satu alasanpun bisa kusimpulkan pemicu hubungan mereka.
Deni cowok yang popular, jelas tanpan. Bukan hanya itu, ia pintar dan berbakat. Sejujurnya aku bertaruh tak akan ada cewek yang akan menolaknya_Hehehe. Tapi Reni sepadan, mereka nyaris punya seluruh kesamaan satu sama lainnya_jujur itu membuatku iri, mungkin karena itu mereka tidak pernah terlihat saling menguatkan_karena dua-duanya sama-sama kuat.
“Ren…” Kulihat Reni benar-benar tenggelam dalam kesedihannya. Aku punya perasaan yang sama saat melihatnya. “Oy, tadi kamu bilang ada perlu. Mau kemana?” Kualihkan perhatiannya. Aku berharap dia tidak larut lagi.
“Menemuinya. Ini hari jadi kami. Setelah ini mungkin akan jadi hari terakhir untuk kami!” Aku tak berhasil, justru ia makin terlihat jauh lebih sedih.
“Ren…!” Ia tak lagi pasrah. Kulihat ia mencoba merapihkan makeup-nya. Mungkin ia bersiap-siap untuk menemui Deni.
“Apa aku perlu mengantarmu?” tanyaku.
“Tidak. Aku tahu kamu sedang ada masalah, itu kan alasan kamu memintamu datang kesini…” tuturnya pengertian. “Ia, tapi masalahku tak sebesar itu!” jawabku malu.
“Na. Cobalah untuk mengatakannya, aku rasa ia sudah memberimu harapan. Tidak salah kamu meminta pertanggung jawaban sikapnya itu.” Kulihat Reni mencoba untuk tertawa. Kesedihannya kulihat semakin pilu. Aku tak begitu memperhatikan kalimatnya, saat sadar. Aku tiba-tiba salah tingkah dan bersikap seperti tak ada masalah pada Reni.
“Akh, Reni. Ngomong apa sih kamu! Udah sana, entar telat loh!”
Kulihat ia berlalu dihadapanku. Aku sendiri tak tenang membiarkannya sendiri. Buru-buru aku ganti baju dan mengikutinya diam-diam. Sempat kutelepon Fery untuk menemaniku. Karena ia terlibat, seharusnya ia ikut bertanggung jawab untuk menghiburnya atas kabar tidak enak yang dibawanya_jangan ngompor-ngomporin doang.
Saat tiba dimuka salah satu resto yang biasa mereka kunjungi. Kulihat Deni tak sendiri menemui Reni. Mataku terbelalak, mendapati orang itu adalah Lyly. “Apa? Deni mau mengakuinya dengan blak-blakan?” Aku menelan ludah dan siap berperang. Tapi Fery menghentikanku.
“Na. Deni ingin menyeleseikannya bertiga! Jika ia harus menerima hukuman, itu harus dari Reni! Menjelaskannya sulit, keputusan yang diambil Deni adalah yang terbaik menurutnya. Ia tak berharap itu yang terbaik menurut Reni. Karena jika mereka memutuskan itu bersama-sama. Mereka akan bersikap seperti biasa, sama-sama gak mau ngalah dan ingin menang sendiri. Mereka punya hak untuk menang_karena mereka sepadan.”
Aku terdiam. Jujur, aku ragu dengan prasangka yang ada dalam hatiku ini untuk siapa. Sebagai sahabat Reni, jelas aku ada dipihaknya. Tapi jika jalan ceritanya diluar perhatianku sebelumnya. Deni punya hak untuk dibela. Entahlah, kulihat saja bagaimana pada akhirnya.
“Den. Bisakah kita berbicara berdua? Yang aku dengar saja itu sudah lebih membuatku sedih, apalagi ditambah untuk melihatnya. Bisakah sedikit saja kau berusaha menjaga perasaanku sampai akhir, Meski semua ini benar.” Reni berusaha untuk tidak satu meja dengan Lyly. Aku mengerti!
“Ren. Kita terlalu sering berdebat, berselisih, dan tidak akur. Satu saja alasan yang aku tunjukan! Salah satu diantara kita harus ada yang salah, baru ada yang menyebabkan hal itu!” jawab Deni.
“Apa kita pernah bertengkar tanpa ada masalah?” tantang Reni.
“Tapi semua hal masalah buatmu! Aku sendiri tak tau, letak masalah yang sudah  kubuat!” Ketegangan itu memanas. Kulihat Lyly hanya bagian diantara mereka, bukan salah satu diantara mereka. Lyly cukup mengerti posisinya saat ini, diam dan tetap mendengarkan.
“Karena masalahnya sama! Itu sebabnya setiap masalah kau anggap semua hal yang kita permasalahkan!” Reni berteriak dengan nada tertahan.
“Apa?”
“Gak bisa baca situasi. Sikapmu terlalu dingin untuk suasana apapun. Baik aku sedang senang ataupun sedang sedih! Tidakah kau tau berapa lama aku menunggumu untuk bisa hal itu? Tidak, aku berusaha untuk mengerti.” Aku tahu, Reni mengatur kalimatnya agar tidak membuat semua semakin buruk.
Tapi, dari tadi aku tak mendengar mereka membicarakan pihak ketiga. Kenapa Deni bisa bersama dengan Lyly, mengapa harus Lyly, atau bagaimana Deni bisa berpikir untuk melakukan itu. Aku tak mendapatinya,
Reni duduk, bersikap sopan dengan lawan bicaranya. “Aku tak sanggup mengoreksi banyak hal dengan tema yang sama terus-menerus. Dan aku lelah!” tambah Reni.
Keadan mencair, mereka mulai tidak bersitegang. “Akupun lelah!” jawab Deni.
Mereka terdiam. Tak satupun dari mereka yang memulainya kembali, termasuk Lyly. “Ini alasan mengapa ada Lyly…” Reni menerka.
“Aku mencintainya. Tapi, bukan berarti aku tidak mencintaimu sebelumnya!” ucap Deni.
“Aku tahu… Meski aku tidak yakin, tapi aku menerimanya.”
“Apa kalian sudah berpacaran.” Tambah Reni.
“Belum. Lyly tak mau menerimaku, karena aku masih menjadi pacarmu.” Jawab Deni ragu.
“Lyly tak mau merebut apapun darimu.” Tambahnya.
“Jadi, apa yang kau inginkan dariku? PUTUS!” Reni sedikit geram. Karena Deni memikirkan hal lain sebelum hal yang ada berakhir, bahkan dari jauh-jauh hari.
“Aku menerima keputusan apapun darimu. Lyly tau alasan aku mencintainya, karena ia punya alasan pertengkaran kita. Dan kamu tau alasan aku seperti itu karena aku punya alasan melakukan ini karena kamu tahu apa yang yang membuat pertengkaran kita.” Jawab Deni jujur.
“Sesungguhnya aku tidak marah kamu bersama Lyly atau siapapun. Karena aku merasakan hal yang sama dengan apa yang kamu rasakan saat itu. Jika bukan kamu, mungkin aku yang akan melakukannya. Hanya, aku kecewa Den. Amat sangat, saat aku mendengar hal yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Terlebih Lyly adalah orang yang kupikir tidak mungkin. Yah, hubungan kalian sudah tidak cukup baik sebelumnya.” Kudengar mereka tak lagi ricuh. Sekarang mereka terdengar sedang mengobrol.
“Aku tahu! Itu sebabnya aku disini untuk minta maaf. Aku tidak ingin minta maaf karena aku melakukan ini, tapi karena aku membuatmu seperti ini. Aku berusaha tidak kecewa dengan keputusanku.”
Setelah terjadi perbincangan panjang. Kuputuskan untuk meninggalkan maslah mereka dan mencari tempat untuk kami berdua, aku dan Fery.
Seperti yang dikatakan Reni. Aku ingin Fery mempertanggung jawabkan sikapnya_sudah memberiku harapan. “Fer, Aku lapar. Kita cari makan aja yah!” kataku menarik lengan Fery. Aku lega sahabatku dapat menyeleseikan masalahnya, meski membawa luka.
“Kamu tak mau menemuinya selepas ia pergi meninggalkan Deni dan Lyly?” Tanya Fery.
“Tidak. Aku ingin membiarkannya sendiri. Besok aku akan membawanya jalan-jalan.” Jawabku sedikit membiarkan. Kebiasaan Reni memang begitu, ia akan menyendiri di saat-saat seperti ini. Tapi setelah ia berhasil mengendalikan kesedihannya, ia kan terlihat seperti biasa kembali meski dengan perasaan berat. Saat-saat itulah ia baru membutuhkanku_naluri kesetiakawanan(Read; tau kebiasaannya).
“Oh, begitu. Aku pikir justru saat-saat ini ia butuh seorang teman.” Fery berpikir keras.
Aku tertawa, “Kalo sekarang, itu justru mengganggu! Mungkin kalo aku, seperti itu.”
“Seperti apa?” tanyanya cepat, dan aku tertawa mendapatinya.
Suasana hari ini lebih baik, meski buruk.
ëëëë
            “Bagaimana?” Tanya Reni.
            “Apanya yang bagaimana?” tanyaku curiga.
“Fery udah cerita!” jawab Reni tidak yakin.
“Cerita apa?” Tanyaku makin merasa aneh.
“Hem… jadian ko gak bilang-bilang?” tembaknya.
“Fery cerita. Ih, emang kamu temen siapa sih. Aku atau dia?” Jawabku kesal.
“Dua-duanya!” Reni menjawab dengan gaya yang sangat menyebalkan.
Setelah aku perhatikan. Reni terlihat sudah baikan. Ia tak mencoba menutupi apapun, karena saat ia teringat kesedihan itu masih terlihat.
Biarkan itu tetap ada, karena memaksa melupakannya justru akan menambah kepedihan dalam hatinya. Biarkan ia menjadikannya bagian yang pernah berlalu.
Sekarang aku sadar. Tak semua kesempurnaan harus dipasangkan dengan kesempurnaan yang lainnya. Selalu ada yang tidak sempurna yang bisa untuk kita sempurnakan.
Sekarang aku sadar, peran peri bisa digantikan oleh kita semua sebagai mahluk hidup untuk mahluk hidup lainnya. Seperti aku, Reni membantuku dalam hubunganku dengan Fery. Dan aku bisa membantunya bersama melewati kesedihannya.
“Kau tau, kau itu punya peri. Dan itu aku!” tutur Reni ala childish.
“Dan aku. Your Fairy.” Timpalku tidak kalah dengan gayanya.

Lentera EmJe,