한 남자가 그대를 사랑합니다
han namjaga geudereul saranghamnida
그 남자는 열심히 사랑합니다
geu namjaneun yolsimhi saranghamnida
매일 그림자처럼 그대를 따라 다니며
meil geurimjachorom geudereul ttara danimyo
그 남자는 웃으며 울고 있어요
geu namjaneun useumyo ulgo issoyo
얼마나 얼마나 더 너를
olmana olmana do noreul
이렇게 바라만 보며 혼자
irotge baraman bomyo honja
이 바람같은 사랑 이 거지같은 사랑
i baramgateun sarang i gojigateun sarang
계속해야 니가 나를 사랑하겠니
gyesokheya niga nareul saranghagetni
조금만 가까이 와 조금만
jogeumman gakkai wa jogeumman
한 발 다가가면 두 발 도망가는
han bal dagagamyon du bal domangganeun
널 사랑하는 날 지금도 옆에 있어
nol saranghaneun nal jigeumdo yope issoyo
그 남잔 웁니다
geu namjan umnida
그 남자는 성격이 소심합니다
geu namjaneun songgyogi sosimhamnida
그래서 웃는 법을 배워봅니다
geureso utneun bobeul bewobomnida
친한 친구에게도 못하는 얘기가 많은
chinhan chin-guegedo mothaneun yegiga maneun
그 남자의 마음은 상처 투성이
geu namja-eui maeumeun sangcho tusongi
그래서 그 남자는 그댈 널 사랑했대요 똑같아서
geureso geu namjaneun geudel nol saranghetdeyo ttokgataso
또 하나 같은 바보 또 하나 같은 바보
tto hana gateun babo tto hana gateun babo
한번 나를 안아주고 가면 안되요
hanbon nareul anajugo gamyon andweyo
난 사랑받고 싶어 그대여
nan sarangbatgo sipo geudeyo
매일 속으로만 가슴 속으로만
meil sogeuroman gaseum sogeuroman
lyricsalls.blogspot.com
소리를 지르며 그 남자는
sorireul jireumyo geu namjaneun
오늘도 그 옆에 있데요
oneuldo geu yope itdeyo
그 남자가 나라는 건 아나요
geu namjaga naraneun gon anayo
알면서도 이러는 건 아니죠
almyonsodo ironeun gon anijyo
모를거야 그댄 바보니까
moreuloya geudaen babonikka
얼마나 얼마나 더 너를
olmana olmana do noreul
이렇게 바라만 보며 혼자
irotge baraman bomyo honja
이 바보같은 사랑 이 거지같은 사랑
i babogateun sarang i gojigateun sarang
계속해야 니가 나를 사랑하겠니
gyesokheya niga nareul saranghagetni
조금만 가까이 와 조금만
jogeumman gakkai wa jogeumman
한 발 다가가면 두 발 도망가는
han bal dagagamyon du bal domangganeun
널 사랑하는 날 지금도 옆에 있어
nol saranghaneun nal jigeumdo yope isso
그 남잔 웁니다
geu namjan umnida
=====
English Translation:
I just love that man
I love him wholeheartedly
I follow him around like a shadow everyday
That man is laughing and crying
Just how much more do I have to gaze at you alone
This love that came like the wind
This beggar like love
If I continue this way, will you love me ?
Just come a little nearer
One step closer but flee with 2 legs
I'm~ who love you
Next to you now
That man who comes
That man is cautious
lyricsalls.blogspot.com
That's why you have to learn to smile
What~ he can't tell his bestfriend
His heart is full of tears
That's why, that man
When he loved you at the same way
Yet another fool
Yet another fool
Can you hug me before you go ?
I wanna receive love
Everyday in my heart, just in my heart
I shout and that man is next to me again
That man is not me
He doesn't know coz he is fool
Just how much more do I have to gaze at you alone
This love that came like the wind
This beggar like love
If I continue this way, will you love me ?
Hyun Bin (Version) "그남자 (That Man)" Secret Garden OST Part 5
Hari itu malam terlihat terlalu hitam. Tak ada satu pun hiasan diatap sana. Aku menerawang, mengharap perubahan dari warnanya. Tak ada yang mampu aku dapatkan, tapi suara burung gagak memberi suatu keberadaan yang berbeda.
Aku mendadak ngeri, gagak selalu menjadi pembawa berita buruk yang andal. Salah satunya adalah kisah kematian. “Malam ini terlihat buruk,” Akuku.
Ditengah suasana kelam, kuhidupkan sekdikit cahaya temaram. Aku berharap, di beranda aku mampu melepaskan kepenatanku melihat pemandangan. Dari atas atap rumah, aku mampu melihat cahaya-cahaya kecil yang biasa terpendar dari kebawahan sang malam. Hanya aktifitas itu yang bisa kusuguhkan dalam kesendirian.
Rumah tampak kosong, seiring kepergian penghuninya. Bahkan keindahan yang tertata di dalamnya tak berguna dibalik kenyataan yang diperlihatkannya. Tak satupun benda di dalamnya yang digunakan dengan maksimal. Baik dari sisi depan, tengah, maupun belakang.
Hanya kamarku, ruangan yang berada paling atas yang biasa aku gunakan disela sepi yang terbayang. Karena itu, kuperhatikan hanya ruangan ini yang tampak tidak kosong.
Menimpali kesedihan yang sedang menerawang, biasanya aku berusaha menikmati lukisan malam yang terpampang. Sayangnya kali ini tak ada lukisan yang bisa kubentuk diketinggian. Aku merasa kesal, karena hal kecil yang terbiasa aku lakukan hilang.
Tak bertahan lama aku memandanginya. Baru kutinggalkan beranda setelah kurasa mulai bosan. Kustel ipod dan mendengarkannya lewat earphone. Memandang gelap kedalam kelopak mata. Bukan rasa kantuk yang menggelayutiku, melainkan seutas untaian harapan yang terjalin sepanjang malam.
Di dalam senyap, banyak suara rendah yang mudah untuk ditangkap. Itu membuat semua tampak tidak nyaman. Karena tak ada hal lain yang bisa aku lakukan. Akhirnya kuturuni anak tangga satu persatu menuju dapur.
Perutku keroncongan, padahal sore tadi sudah menerima asupan lengkap untuk dimakan. Mungkin karena tak ada aktifitas yang memerlukan perhatian ekstra sehingga tidak dapat mengalihkan kelaparan.
Kucari bebeerapa cemilan buah, terdapat apel dan pir. Lalu menekan tombol tv dan bersandar tepat di tengah kursi. Malam semakin lama berlalu saat kuharapkan, jadi kuusahakan untuk mengabaikannya.
Sesekali memandangi banyak sudut yang bisa ku perhatikan. Barangkali ada sesuatu yang luput dari perkiraanku. Saat waktu mendekati larut, mendadak lampu padam. Aku terperanjat kaget. Lalu berusaha meraba apapun yang terjangkau.
“Hari ini benar-benar buruk, menyebalkan.” Aku bersungut mendapati satu lagi hal yang tak kusukai. Saat kakiku terhenti dibenda padat aku tersentak saat lampu benderang. Tanpa sadar aku telah berjalan melewati ruangan gudang.
“Sial. Kenapa aku beranjak kesini!” Keluhku.
Aku hendak melenggang pergi. Tapi cahaya yang terpantul dari dalamnya menghantarkanku kesebuah rasa penasaran. “Apa itu?” Aku bertanya-tanya dalam hati selagi berjalan mendekatinya. Nafasku memburu seolah berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang tidak buruk.
“Hah! Hanya pantulan cermin…” Aku bernapas lega dan sudah teratur. Tapi saat kakiku terjerat benda-benda yang ada di sekitarnya aku tersungkur mengarah cerminnya.
“Ah!” Aku takut, kalo-kalo terjatuh tepat di atas cerminnya. Di gudang ini, selain terdapat benda yang tidak dipakai juga digunakan untuk menyimpan benda koleksian. Jika barang itu salah satu diantaranya, mereka bukan hanya akan memperhatikan keadaanku yang akan terluka, juga memperhatikan keadaan cerminnya yang akan pecah dihantam olehku.
Krsk… Krsk… krsk… hanya itu yang kudengar. Sebagian benda di sini ditutupi Koran, mungkin hanya itu yang kudengar. Nihil.
Tak ada suara kaca pecah, benturan keras atau semacamnya. Aku mencoba untuk membuka mataku, membiarkan keadaannya mengalir jelas dipenglihatanku. Alhasil, aku mendapati sebuah tangan yang menyanggaku dan berhasil dengan tak mengenainya.
Sekonyong-konyong aku berteriak ketakutan. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!” Dengan sigap aku berkeras melepaskan pegangannya, dan sejauh mungkin menghindarinya. Tapi tangan itu menariku kearahnya, setelah itu lampu sepertinya padam.
Aku terbiasa dalam gelap, tak ada rasa takut semacamnya. Hanya saja tempat itu terlalu gelap dari seharusnya. Apa masih mati lampu? Pikirku. Saat itu sesuatu membuka perlahan mataku. Tidak, tidak mati lampu. Ternyata seseorang menaruh telapak tangannya diatas mataku, itu kusimpulkan karena sesuatu menyentuh bagian itu.
“Aku pikir kau akan menghancurkanku!” Ucapnya sedih.
“Siapa kamu. Kenapa kau berada di rumahku?” Aku segera menjauh darinya, cukup dua meter.
“Rumahmu? Lihatlah ini rumahku!” Jawabnya sok.
Segera kuperhatikan bagian-bagian tempatku berada. Tampak sama dengan rumahku, tapi ada yang terlihat berbeda. Sesuatu yang janggal dari kelihatannya.
“Ini… Tampak terbalik.” Kesimpulanku.
“Itu sebabnya ini kubilang rumahku!” Jawabnya lugas.
“Kenapa? …” Rautku tampak aneh untuknya, tapi itu sebanding dengan keanehan yang kulihat. Aku rasa ia dapat mengerti hal itu.
Sesekali ia mengangkat bahu, kemudian menggeleng, lalu terdiam. Hanya jawaban itu saja yang ia berikan. “Tolong, jelaskan ini!” Pintaku merajuk.
Ia menatap prihatin kepadaku. Tapi ada keputus asaan yang tersimpan jauh di dalam bola matanya. “Kumohon…” Ia melenguh dan duduk menghadapku.
“Dengar, ini memang mustahil. Tapi lihatlah ini, kau tahu. Semuanya nyata!” Katanya tegas, sejenak menunggu reaksiku.
“Tapi ini apa? Kenapa?” Aku tampak lebih bingung dari yang diharapkannya.
“Ya ini. Ini rumahku, kurang lebih rumahmu juga…” Ia mencoba membuat jawaban.
“Kumohon jelaskan mengapa aku ada disini!” Akhirnya aku tak sabar.
“Ok! Itu kunci pertanyaannya.” Ia kemudian berjalan kesebuah ruangan yang masih bisa kukenali, dan aku mengikutinya.
“Lihat ini, dan perhatikan. Dengarkan, kau ada disini karena benda ini.” Terangnya.
“Sebuah cermin!” balasku meremehkan.
“Tidak. Bukan sembarang cermin, tapi Cermin Fantasi.” Timpalnya serius. Ia tak suka mendengar nada suaraku yang terdengar mengolok-olok.
“Maaf. Tapi bisakah kau memberikan sesuatu yang bisa aku mengerti sekarang, bukan sesuatu yang asing dari pengetahuanku!” jawabku tak mau kalah.
Ia mengerjap, menahan nafas, dan mengabaikanku. Aku tahu dimatanya aku sangat menyebalkan. Seperti ia terlalu menyebalkan untuku. Saat keheningan datang, aku takut ia tidak akan menjawab pertanyaanku lebih dari itu.
“Namaku Tata.” Kuulurkan tanganku, untuk kembali mengakrabkan diri.
“Panggil aku Abit!” Jawabnya ketus, mengabaikan niatku.
“Sekali lagi aku minta maaf.” Ucapku tulus.
“Aku tahu apa yang kamu rasakan. Tapi kamu juga tau perasaanku sama! Dan aku tidak suka saat kau menganggap semuanya lucu, sungguh aku tak menyukainya.” Abit mencoba menjelaskan.
“Sekali lagi aku minta maaf Bit. Sungguh akupun tak bermaksud demikian. Hanya saja aku sadar aku terlalu tidak mengerti dengan semua ini. Maklumi aku, kumohon…” Ia menatapku. Kali ini tatapannya awas menyimak. Aku tahu ia luluh.
Ia tersenyum, “Terima kasih…” sahutku, setelah mendapat tatapan hangatnya. “Oya. Tadi kamu bilang perasaanmu sama, tentang apa?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Bahwa kita terperangkap dalam sebuah cermin.” Apa, dalam hati. Aku tak sepenuhnya menangkap maksud yang ditunjukannya. Hanya saja itu terdengar cukup buruk.
Ia masih menatapku tak bersua. “Kau tahu. Itu artinya kita tak lagi bisa keluar dari tempat ini.” Ia menunduk menyesal.
“Apa?” Kali ini aku berkata. Bukan untuk sebuah perkiraan. Kalimatnya tentang; kita tak lagi bisa keluar dari tempat ini, kedengarannya sangat buruk_lebih dari sekedar buruk.
“Jadi maksudmu? …. Sudah berapa lama kamu disini?” Aku menebak ia sudah berada lama, dan tak berhasil melakukan apa-apa.
“Entahlah. Aku tidak yakin waktu di sini sama atau tidak, karena aku tak dapat melihat dunia nyata walaupun dari cermin ini. Perkiraanku sudah satu tahun waktu yang ada di sini.” Jawabnya teoritis. Aku menganguk-angguk, tak begitu mengerti dengan pernyataannya. Tapi, mendapat beberapa deretan pertanyaan untuk diajukan.
“Siapa yang menyangga tubuhku tadi? Bagaimana cara seseorang bisa masuk kedalamnya. Kau, Bagaimana caramu bisa masuk?” Aku teringat sebelumnya terlihat sebuah tangan yang berhasil kutangkap saat terjatuh. Tapi bagian itu saja yang ada.
“Aku! Refleks karena berpikir, jika kau menghancurkan cermin ini maka aku juga bisa tewas atau semacamnya.” Sebelum Abit melanjutkan aku menghentikannya,”Bukankah kau tak mampu melihat dunia nyata walau dari cermin ini tadi!” Ia berpikir sejenak. “Benar… tadi kulihat ada cahaya di dalamnya… tapi setelah itu, seperti sekarang. Semuanya hitam!” Aku memperhatikannya, “Tunggu! Cermin ini tidak bisa memantulkan bayangangan yang ada di depannya, Tapi berwarna gelap, seperti tak ada cahaya dari dalamnya! Apa bagian lain dari cermin ini mengarahkan ketempat lain?” Pikirku, menganalisa kata-kataku sendiri.
“Ini bukan cermin. Tapi kaca!” Abit melihatku dengan tatapan aneh. “Kenapa?”
“Kau sedang memikirkan sesuatu?” Tanyanya.
“Ya. Seperti yang ku bilang…” Jawabku.
“Apa itu penting… tidakah kau berpikir untuk prioritasmu sendiri. Bukan hal-hal yang membuatmu semakin terlihat terlalu peduli dengan bendanya tapi tidak dengan jalan keluarnya!” Jawabnya panjang lebar menampik jawabanku yang kelewat simple.
“Bukan begitu. Kita cari tahu dulu cara kerjanya! Baru kita dekati cara keluarnya!” Argumenku rupanya tidak buruk, ia menyerah dengan keras kepalanya.
“Baik. Tadi bagai mana kau bisa mengeluarkan tanganmu?”
“Refleks Ta. Begitu saja! Tanpa teori, tanpa usaha!” Aku mengerti kejengahan Abit. Kesimpulan ini jadi tak berujung.
Kami akhirnya meninggalkan cermin itu. Dan kembali memikirkannya dengan biasa-biasa saja. Ia terlihat tak begitu was-was degan apa yang terjadi. Sejujurnya aku juga tidak merasa itu terlalu buruk seperti yang dipikirkan. Tempat ini sama, perbedaannya hanya pada posisi. Tak ada yang harus terlalu dipermasalahkan. Bahkan kanan menurut kami disini sama dengan kanan menurut kami disana. Untuk seseorang diluar cermin mungkin akan mangira di dalam cermin semuanya terbalik. Tapi, untuk kami yang berada di dalamnya. Semua tampak sempurna, seperti aslinya.
Tiba-tiba Ibu, Ayah, Dan Kak Perta seraya mengucapkan salam. Mereka baru saja pulang. Harusnya ini pukul 22:30. Ayah dan Ibu pulang dari meeting, sedang Kak Perta dari tugas kuliahnya di rumah Kak Rald. Ia mengatakan padaku, akan berada di rumah saat Ayah dan Ibu tiba. Tapi tidak memberitahu bahwa ia akan pulang bersama-sama.
Aku menyambutnya antusias. Aku sempat bersikap canggung, tapi tak begitu mempengaruhiku. Saat mereka kembali kekamar masing-masing. Aku lekas mencari Abit.
“Bit. Aku ingin Tanya! Siapa kamu?” tanyaku tiba-tiba. Abit mengangkat bahunya. “Ada apa?” Ia menjawab pertanyaanku dengan dingin.
“Cerimin! Karena ini di dalam cermin. Apapun yang ditampakan ditempat aslinya, itulah yang nyata. Lalu, siapa kamu… Aku tak mengenalmu, dan kamu tak ada di dalam bagian kami.” Aku panik, ini lebih dari yang semestinya. Tampaknya ia menyesal, tapi perlahan aku sadar. Satu-satunya hal yang tampak tidak nyata di hadapanku lebih dari apa yang ada disekitarku, adalah dirinya.
“Hei… Tenanglah. Aku sudah mengatakannya! Bahwa aku ada disini lebih lama, kau pikir apa?” Aku terdiam, mengingat-ingat. “Cara kerja, mendekati jalan keluarnya.”
“Aku sedang bertanya Abit! Sebaiknya kau segera menjawab.” Aku memperingatkan. Ia mulai waspada, rautnya lebih serius dari biasanya.
“Perasaanku sama! Ingat itu… Kau ingin apa dariku…”
“Tidak sulit! Menceritakan dirimu sendiri!” Perintahku cepat sebelum ia mengulur-ulur jawaban.
“Namaku Abit. Aku anak manusia, sepertimu. Dan aku masuk kedalam sini percis seperti saat kau mengalaminya. Ceritamu adalah jawabanmu sendiri.” Ia berkata dengan tenang, tak ada emosi yang mencurigakan.
“Tidak mungkin sesuatu yang sesuai teori salah.”
“Tapi tidak semua teori menunjukan kebenaran, tidakah kau berpikir itu umpan untuk melangkah kearah yang benar seharusnya.” Ia terdengar memaksakan jawabannya kepada kehendaku.
Aku mengalah, ia benar. Teori ini tidak kuat seperti rumus yang ada di matematika_selalu jawaban pasti. Tapi sejak ada teori itu, aku mulai tidak mempercayainya.
Aku mengenalkan Abit dengan keluargaku, ada satu teori lagi yang ku tangkap. Kuseret paksa Abit untuk mengikutiku. “Bukankah kau lama disini! Mengapa kau takmengenal mereka atau mereka tak mengenalmu. JELASKAN!” Setelah aku membiarkannya tepat dihadapanku.
Abit mengerutkan kening. “Kau mencurigaiku, akan apa?”
“Kau pikir apa? Semua sudah aneh, sekarang tampak lebih aneh, dan semakin lama semakin aneh.”
“Lalu apa. Untuk apa mencurigaiku? Ok! Jika aku seperti perkiraanmu, lalu aku itu siapa? Apa gunanya aku jika seperti perkiraanmu.” Kali ini Abit terdengar keras, nada kemarahan tak bisa ditutupi dari kata-katanya.
Aku tersentak, tapi aku bertaruh sebagian prkiraanku itu berdasar. Lalu jika itu benar, lalu apa dia? Monster? Penunggu cermin, atau apa. Lalu bagaimana. Tak ada hal yang bisa aku lakukan meski aku berharap itu benar.
Aku menelan kekecewaanku mentah-mentah. Mengakui Dasarku yang kuat telah terpatahkan. Seandainya teori itu bisa dipakai. Hal apakah yang bisa aku gunakan untuk memecahkan masalah ini.
“Cermin… cermin itukan memantul…” hening. Sejenak kurasakan itu berarti jalan buntu. Kutatapi cermin itu, sambil terus menghasilkan jalan-jalan buntu. Saaat aku lelah tak menemukan jalan, kulihat cahaya terbayang.
Kupanggil Abit dan menyaksikannya bersama-sama. Terlihat Kak Perta seraya disebrang sana. Entah mengapa sepertinya ia tersentak. Tapi saat aku mengulurkan tangan, mendadak badanku terhempas dan plass…
Kubuka mataku perlahan. Kali ini tak ada sesuatu yang memberatkannya. Dan saat mataku terbuka sempurna kulihat Kak Perta terjingkat-jingkat melihatku beranjak dari sebuah cermin.
“Kak Perta…” Kupeluk ia erat-erat, sebelumnya ia menepisku beberapa kali. Aku tak peduli dan menangis di dadanya.
Kudengar suara teriakan yang kegirangan. Mungkin itu Abit! Pikirku. “Terima kasih ya Kak…” Ucapku tak pernah setulus itu.
“Ke, kenapa kamu bisa keluar dari situ!” Tanyanya ragu. “Kau benar-benar adiku…” tanyanya semakin ragu.
“Itu sulap!” Terang Abit menimpalinya.
Aku mengerang hendak menyalahkannya, tapi ia berkata, “Aku berjanji kau akan mendapatkan alasannya.” Disele-sela rambutku.
Aku tersenyum, membenarkan kebohongannya. Dan berceracau “Surprize!!!” Agar tak dibilang gila.
“Apa aku menyalami kalian tadi sewaktu datang?” Mengingat hal yang pernah terjadi dibalik cermin.
“Tidak. bukankah tadi kau ada didalam gudang? Kupikir sedang apa! Kenapa tiba-tiba kau tertarik dengan gudang?” jawabnya berikut dengan sebuah pertanyaan.
“Ooh…” jawabku.
Hanya itu yang mampu aku simpulkan. “Meskipun cermin, tapi ternyata tetap tidak bisa menunjukan hal yang seperti aslinya, sebagaimana sesuatu seperti yang semestinya tidak selalu bisa dilihat dalam cermin. lalu bagaimana dengan mereka yang terlanjur hidup didalam cermin? Entahlah.”
“Akan ku katakana!” Ucap Abit.
“Cermin ini adalah peninggalan keluargaku turun temurun. Aku keturunan ketujuh pemilik cermin ini. Tapi, sebelum kedua orang tuaku meninggal, mereka tak sempat menceritakan cara kerjanya_seperti yang kau pikirkan, kepadaku. Sehingga saat menggunakannya aku tak tau bagai mana menghentikannya dan keluar dari sana.” Tambahnya panjang lebar.
“Itu jawabanku atas kecurigaanmu, aku tak tau teori apapun tentang Cermin Fantasi. Itu sebabnya, aku tak mampu mengemukakannya dengan baik.”
Jawabannya setidaknya tidak menunjukan aku salah teori. Tapi teori apapun yang terpakaai. Itu adalah rangkaian praduga dan prasangka yang berhasil kusatukan.
Cermin itu diminta kembali olehnya, terlepas dari biaya yang sudah dikeluarkan oleh Ayah saat membelinya. Dan setelah itu aku tak tahu, ia membawa Cermin Fantasi itu kemana. Apa ia akan menelitinya? Harapku mengetahuinya lebih banyak.
Tapi yang masih membuatku merasa aneh adalah saat kembali menghadapi cermin. Bagaimana bayanganku bergerak seperti apa yang kugerakan. Tapi aku tak mendapati gerakan yang sama saat melihat Kak Perta saat itu. Apakah jauh dibalik apa yang terlihat oleh kasat mata tersimpan rahasia besar yang tak mampu dijelaskan oleh pengetahuan kita.
Saat kepalaku pusing akibat perdebatannya. Satu hal yang masih ku bandingkan. Apa pantulan di dalam percis seperti yang terlihat. Apa mungkin muka yang biasa aku lihat didalam cermin tidak sama dengan muka saat dilihat oleh mata orang lain.
Lagi-lagi aku berpikir hal teoritis yang memusingkan akal. Setelah lelah dengan semuanya. Aku tak berusaha mengingatnya hingga bermimpi.