ELF FAIRY

0 koment

Kamis, 17 November 2011


Elf atau Fairy adalah istilah dalam bahasa inggris yang berarti Peri. Elf Fairy adalah dongeng sebelum tidur yang paling aku tunggu. Meski hanya serupa fantasi, aku percaya. Di manapun, kapan pun kita akan selalu ada yang melindungi. Entah, mungkin salah satu dari mahluk bernama Elf Fairy?
Hari itu! Dongeng Elf Fairy tak lagi bisa kudengar. Setelah kepergian mama, aku sadar dongeng itu kian hilang dalam ingatanku. Sampai suatu hari aku bermimpi. Ada seorang Peri yang bernama Elf Fairy. Ia datang menemuiku, mengingatkanku akan keberadaannya.
“Akh! Mimpi terkadang bisa menipu…” Kuabaikan sekali. tapi saat esok ia kembali datang dalam mimpiku, aku sadar! Mimpi itu terlalu nyata untuk kuabaikan. Hingga fajar menyingsing, terlintas serbuk berterbangan kesana kemari. “Apa itu?” pikirku.
“Selamat pagi Wendy?” Mataku terbelalak. Mahluk kecil, mungil, dan memiliki sayap itu hinggap di kedua telapak tanganku. Seperti capung, tapi bukan. Seindah kupu-kupu tapi bukan. Ia lebih terlihat seperti manusia mini dengan perawakan sempurna secara keseluruhan.
“A… apa ini…” Aku masih tak mempercayai penglihatanku. Masih terasa aneh jika itu nyata. Sosok yang selalu ada dalam ruang hayalan, imajinasi dan ilusi yang diciptakan oleh seseorang. Kini benar-benar ada, di ruang nyata.
“Aku pasti bermimpi!” Kurebahkan badanku. Sempat kudengar pekikan kecil, aku terus berfikir keras untuk tidak mempercayainya. Tapi sosok itu benar-banar ada.
“Wendy, hari sudah siang!” suara itu sangat kecil. Jika dalam keadaan bising, suara itu pasti hilang dipendengaran.
“Cukup!” Aku berdiri. Menghadapi mahluk kecil itu. “Siapa kamu? Apa kamu? Dan mau apa?” aku berteriak. Cable dan Gate berlari kearahku. “Wendy. Kau baik-baik saja?”
“Yah. Tentu!” Karena kaget. Kuredam keingintahuanku, dan mencoba bersikap wajar. “Ok! Jangan ulangi lagi, kau membuat kita panik!” Gate mengingatkanku.
Gate adalah kakak perempuanku, sedang Cable adalah adik kecilku. Kira-kira umurnya 21th dan 4th . Aku? Baru menginjak 17th . Lusa tepatnya. Tapi entahlah, mungkin tak akan ada yang akan memperdulikannya.
“Sssssttttt…. Jangan berisik.” Suara itu kembali, sumbernya dari si makluk kecil. Ternyata benar, aku tidak sedang bermimpi.
“Hallow…. Hii… Hay…” Pandanganku mulai menyapu ruangan. Mencari-cari tempat si pemilik suara.
“Aku di sini!” Bisiknya.
“Bisakah kau mengeraskan volume suaramu? Untuk ukuran pita suara mahluk sekecil itu, tentu butuh ekstra volume dari manusia normal.” aku mengingatkan. Tapi sebelum si kecil kembali bersua. Cable masuk dan menariku agar segera keluar kamar.
“Besok Papa akan keluar kota. Kamu jaga adik-adikmu Gate, Papa tidak ijinkan kau untuk berkeliaran selama Papa pergi.” Seperti biasa, papa memberi wejangan sebelum kepergiannya. Gate hanya tersenyum mengindahkan. Padahal, saat papa sudah berangkat ia akan segera bepergian dengan teman-temannya.
Hanya aku yang akan mendengarkan kata-kata papa. Cable masih terlalu kecil untuk mengerti peliknya kehidupan. Untungnya ada pembantu yang siap mengerjakan pekerjaan rumah, serta dapat melayani kebutuhan kami.
“Cable… Kamu bobo siang dulu yah? Aku mau baca buku!” Cable sedikit merajuk, tapi tak seperti merengek. Kepergian mama membuatnya ingin dimanja. Karena tidak tega melihat binar matanya yang berkaca-kaca. Kutemani ia hingga ia tak akan menyadari kepergianku dari sisinya nanti.
“Wendy?” Ucapnya.
“Aku ingat Mama.” Tambahnya.
Aku terdiam. Hatiku sedang merasakan hal yang sama, hanya saja tentu aku tidak boleh bersikap hal yang sama.
“Mama pasti rindu kita. Bobo yah? Biar mama tau di sana, Cable pintar…” Kupautkan selimut itu tepat di depan dadanya. Gaya mama yang sering ditunjukannya saat mengantarku untuk tidur.
ëëëë
Elf Fairy. Aku dibuatnya penasaran, ku-Searcing di internet ‘apa itu Elf atau Fairy?
Banyak keterangan mengenainya. Banyak! mulai dari bentuk, jenis dan para pendapat. Huh! Sungguh merepotkan. Saat aku percaya, ia tak kulihat lagi. Mungkin aku memang sedang berhalusinasi.
“Ehm… Ehm…” Suara itu? Heh… mengapa ia selalu hadir dan pergi begitu saja! Padahal ia sama sekali belum meyakinkanku seratus persen atas kehadirannya.
“Hey kau mahluk kecil…” ucapku. Mahluk itu sepertinya tidak suka, dilipatnya kedua tangan itu, sambil mukanya menongok kearah samping. Tanda ia ingin mengabaikan kata-kataku.
“Ia. Sory! Siapa namamu? Agar aku dapat menggunakannya!” pintaku.
“Panggil aku seperti kamu biasa memanggilku!” jawabnya.
“Maksudmu Elf Fairy?” tanyaku.
“Yah!” singkatnya.
“Tapi itu bukan sebuah nama! Hanya dua suku kata yang aku gabungkan…” terangku.
“Tapi kau menyukai nama itu dari pada sekedar menyebutku peri bukan?”
Dia benar. Saat mama bersikeras menjelaskan Elf Fairy bukanlah sebuah nama. Aku justru berpikir akan menamakan periku Elf Fairy.
Aku tersenyum mengenangnya. Massa itu sangat indah! Saat mama masih ada.
“Aku ada karena kamu…” Elf Fairy tiba-tiba berkata lirih.
“Apa?” refleksku.
“Karena kau mempercayaiku.” tambahnya.
Aku tak begitu mengerti, tapi sejak kepergian mama. Kepercayaan itu terkikis. Mengapa ia muncul saat kepercayaanku hampir hilang?
Aku tak ingin mendramatisir masalah ini. Tak akan ada yang akan mempercayai ceritaku. Apa lagi tidak semua orang dapat melihatnya katanya. Menyebalkan! Jadi aku satu-satunya yang akan dianggap gila karena telah menyaksikannya?
Karena hari ini aku harus berada di rumah menemani Cable. Waktu kugunakan hanya untuk bermalas-malasan. Aku tak begitu suka dengan musik! Karena aku pecinta kesunyian.
Elf Fairy menyadari kejenuhanku. Kemudian ia menari-nari kesana kemari dengan menggunakan sayapnya. Serbuk itu mengikuti gerakannya, warna terangnya menjadikannya semakin indah.
Ia seperti ballerina. Mirip dengan tokoh thinkerbel dan sejenisnya di filem-filem. Tapi di depanku dia terlihat jauh lebih menakjubkan.
“Aku sangat menyukai senyumu!” Elf Fairy berhenti. Ia menatapku pilu, entah apa yang ada dibenaknya.
“Semenjak kepergian Mama kau seperti ini? Mulai tidak mempercayai hal-hal yang tidak masuk akal.” Elf Fairy itu kini hinggap di tepi meja dekat dengan tempat duduku.
“Wendy! Hidup ini penuh dengan kemungkinan. Jika kau hanya melaluinya dengan sesuatu yang logis. Kau tak akan berfikir hal yang besar dan menciptakan kejutan-kejutan dalam hidupmu sendiri. Percayai mimpimu, jadikan itu nyata dalam hidupmu. Baru kamu tidak akan ragu dengan kehadiranku saat ini.” Elf Fairy benar. Kepergian mama mematahkan pemikiranku tentang ‘hidup dengan penuh kebaghagiaan, pangeran, sebuah istana megah’ Semua itu jadi terlihat muluk-muluk, mengada-ada dan tidak mungkin.
Mama pernah berjanji akan terus menemaniku sampai aku dewasa dan menikah. Bahkan ia ingin esok nanti bisa menimang cucu-cucunya. Mengikuti perkembangan anak-anaknya. Saat itu aku pasti akan hidup bahagia.
Aku juga pernah berfikir bisa bertemu cowo cakep, kaya, baik yang mencintaiku dengan tulus tanpa memandang statusku. Seperti cerita sinderela yang kemudian menemukan belahan jiwanya. Lalu dibangunlah istana-istana untuk kuhuni hingga aku tua seperti mama.
Heh… Kehidupan sekarang ini kenyataannya tidak semudah itu. Banyak perjuangan dan pengorbanan yang harus ditumpahkan. Dan ada saat dimana kita tidak bisa mendapat apa yang kita inginkan.
Batinku bergolak. Apapun yang dikatakan dan yang dilakukan Elf Fairy aku pasti bisa menepisnya.
Mungkin satu yang benar! Kepercayaanku akan itu telah hilang.
ëëëë
Sebentar lagi jam 00:00 tepat. Umurku kuinjak! Maksudku pas 17. Tapi sepertinya tidak akan ada yang sepecial seperti yang sudah-sudah. Entah apa guna Peri yang selama seminggu ini mengikutiku.
Keajaiban itu memanglah tidak ada. Ia bukan peri yang dikirim tuhan untuk merubah hidupku, memberi jalan mudah bagi hidupku. Ia tidak bisa memberi apa yang aku mau, atau dapat mengabulkan semua permintaanku. Ia tidak lebih seperti teman-temanku.
Aku semakin tidak menyukai kehadirannya. Justru karena itu aku jadi semakin tidak percaya! Aku sangat kecewa, karena kenyataannya tak akan ada yang harus aku percayai.
“Wendy,,, make a wish!” Disodorkannya lilin biasa yang sering kugunakan saat mati lampu. Benar-benar tidak ada keajaiban.
Meski malas, saat ku pejamkan mataku. Terlintas kenanganku bersama mama! Andai semua bisa seperti sedia kala. Saat mama masih ada, keluargaku masih bersatu, dan papa! Ia tidak harus bekerja terlalu keras seperti sekarang. Aku berharap hidupku sebaik dulu, bahkan lebih baik dari itu.
“Wush…” Api itu padam. Hanya ada tepukan kecil dari si Peri kecil. Meskipun itu bukan sesuatu yang besar, kenyataannya itu adalah sesuatu yang berarti untuku.
“Terima kasih Elf Fairy…” tuturku.
“Apa permintaanmu?” tanyanya.
“Jika mengatakan harapan kita kepada orang lain, harapan itu tidak akan menjadi kenyataan.” jawabku yakin. Elf Fairy tersenyum! Ini senyum termanis yang pernah kulihat darinya.
Jika dipikir-pikir, mengapa yah aku meyakini hal itu. Padahal para motivator sering mengatakan ‘jika kamu punya mimpi, harapan, dan keinginan. Maka katakanlah! Katakan semua itu. Itu akan memudahkanmu untuk mendapatkannya. Karena dengan mengatakannya kepada dirimu sendiri kau akan terpacu untuk berusaha mendapatkannya, dan dengan mengatakannya dengan orang lain maka mereka akan membantumu untuk mewujudkannya’
Dua hal yang berbeda. Jika sebelum ini aku akan mempercayai kata-kata motivator, justru hari ini aku percaya dengan mahluk kecil seperti Peri.
Ada satu hal yang kembali. Yaitu kepercayaan akan sesuatu yang tidak mungkin tapi ada! Sejak itu aku jadi optimis dan bergairah menjalani hidup.
“Ting tong, ting tong…” Suara bell terdengar lebih keras dari biasanya. Ini sudah jam 2 pagi. Tapi terlalu larut atau terlalu subuh untuk seseorang bertamu.
“Papa…???” Aku tak percaya. Di jam seperti ini papa menampakan dirinya. “Surprise… Hapy birthday sayang!!!” Akh! Hatiku ingin melonjak. Mulutku masih kukatup, betapa aku tak bisa mempercayainya.
“Loh! Kok bengong?” tanya papa tak lama lalu segera memeluku. Cuph, cuph!
“Papa???” Gate dan Cable terbangun. Aku heran dengan keanehan ini. Karena aku baru tau, sejak kemarin ternyata Gate dan Cable juga menyiapkan sebuah kejutan kecil berupa kado.
“Ih wow!!!” Ini baru sesuatu yang tidak biasa, sebuah keajaiban, keinginanku benar-benar terkabulkan.
Pagi. Pkl 07:00. Hari ini Gate yang memasak, dibantu Bi Rin. Cable yang menyiapkan piring, sendok dan hal lain. Papa ikut membantu. Kebersamaan ini kurang lebih telah hilang sepuluh tahun yang lalu sejak kepergian mama.
Tanpa sadar, tiap detiknya aku menitikan air mata! Rasanya begitu indah. “Sayang. Papa punya berita bagus…” ucap papa pada kami setelah semua siap di meja makan.
“Apa Pah?” Cable menyauti.
“Kita akan sering bertemu. Kerjaan Papa berjalan lancar, bahkan Papa bisa libur kapan saja…” Kami bersorak mendapati kabar yang dibawa papa. Gate ikut berbicara.
“Pa Gate ingin mengakui sesuatu! Selama ini aku membiarkan Wendy dan Cable berdua. Aku…” Melihat ekspresi papa sepertinya pernyataan Gate tak masalah untuknya.
“Papa tau… “ Kami bertiga sama-sama kagetnya. Cable yang hampir menginjak umur lima tahun pun ikut tidak percaya dengan apa yang dikatakan papa.
“Maksud Papa. Selama ini Papa sudah mengawasi kalian, jadi apapun yang kalian lakukan. Papa tau!” urainya. Kami bertiga berpandangan. Aneh!
“Hai stevy…” Dari balik pintu keluarlah sosok cantik yang pernah kulihat. Tapi ukurannya jauh lebih besar dari ukuran saat pertama kulihat.
“Elf Fairy?” ucapku.
Papa, Gate, Cable dan wanita itupun melihatku. “Em… maaf! Aku seperti pernah melihatnya.” Dalam hati aku bertanya-tanya, Siapa kamu? Apa kamu? Dan mau apa?
Dulu aku tak mempercayai Elf Fairy. Sekarang haruskah aku tidak mempercayainya lagi sebagai sosok bernama stevy?
“Kenalkan sayang. Ini tante Stevy, yang selama ini mengawasi kalian. Ia membantu Papa menjaga kalian saat Papa keluar kota.” Gate dan Cable tak menampakan respon penolakan. Tapi aku, ada rasa tidak terima untuk sesuatu hal yang mungkin.
Mungkinkah stevy akan… ? Pikiran itu kembali, rasa kepercayaan itu hilang lagi. Aku tak sudi menggantikan posisi mama kepadanya. Mana mungkin papa bisa berfikir hal demikian.
Aku berlari, kamar kukunci, hanya ada aku di dalam. Sampai Elf Fairy menampakan wujudnya. “Wendy? Ada apa lagi?” Ia bermuka kusut. Padahal terakhir aku melihatnya begitu cerah.
“Jangan seperti ini. Sebentar-sebentar percaya! Sebentar-sebantar tidak! Bahkan kepada dirimu sendiri kamu masih ragu!” Aku tak pernah melihatnya begitu serius. Tapi kali ini ada nada marah yang tersirat dari suaranya.
“Kenapa? Apa setelah kau beri aku semua keinginanku. Kau akan mengambil hal terpenting dalam hidupku?” Aku tak kuasa. Aku menyalahkannya atas semua kejadian ini, bahkan sangat marah.
“Apa? Apa yang aku lakukan?” tanyanya menyepelekan.
“Apa? Katamu?” kata-kataku tertahan. “Untuk ukuran peri, harusnya kamu tau tentang semua keinginanku. Make a wish itu, itu kamu pasti tau! Dan kamu kan yang mewujudkannya.” kali ini aku membentak. Elf Fairy terdiam. Ia tersedu mendapati kemurkaanku. Aku kikuk, entah mengapa aku jadi tempramen begitu.
“Aku tak pernah mengabulkan apapun, dan melakukan apapun untukmu! Itu pemberian tuhan. Apa itu juga tak bisa kau percaya… tentu bukan suatu kebetulan Stevy ada! Dan bukan pula suatu keanehan atau suatu hal yang buruk jika hal itu ada.” Elf Fairy tertunduk. Aku sendiri bingung harus bagaimana.
“Kau benar! Aku tau semua permohonanmu. Tapi aku tak punya kehendak atau kuasa akan hal yang sedang kau pikirkan. Berhenti menutup apapun dalam hidupmu, cobalah terbuka untuk semua yang ada.” Ia berisimpuh di pergelangan tanganku, aku sama sekali tak tega. Kuelus ia perlahan. Aku sadar aku sudah berlebihan.
Selalu merasa tidak cukup untuk semua hal yang aku dapatkan. Tidak peduli itu baik atau buruk, harusnya aku dapat menghadapinya dengan baik. Agar hidupku bisa semakin baik.
Heuhehh… Ternyata ada gunanya Peri itu ada, apa lagi saat ia jadi nyata. Aku tersenyum lalu dibalas senyum olehnya.
“Eh! Kenapa tante Stevy mirip denganmu Elf Fairy.” Tanyaku.
“Mungkin karena ia adalah kiriman tuhan untuk selalu bersamamu seperti aku. bukan untuk menggantikan mama, tapi untuk menjadi seorang mama.” Elf Fairy memang ada, nyata dan penuh dengan hal yang berbau mungkin, dan tidak biasa.
Lentera Emje,

Misteri Lukisan Haruko

0 koment

“Har… Kamu gak usah takut.!” Heru berkata.
Aku terdiam, masih memandangi kanvas di depanku! Hening. Ada bayangan dalam kanvas, bayangan gelap yang menyelimutiku. Ada kabut yang menghalangi pandangan mata. Lukisan itu berubah jadi sekumpulan kepulan awan tebal yang kosong.
Heru juga menatapnya takjub. Aku tertunduk. “ Akan ada yang buruk,” gumamku. Heru tak bersua, mungkin ia baru sadar! Begitu ajaib hal yang baru ia saksikan.
“Her, Aku yakin akan terjadi sesuatu denganku!” Kali ini Heru tak mengelak. Ia mengerti mengapa aku berpikir hal yang sering aku katakan sebelumnya padanya.
“Har, kita balik!” pintanya, “Sekarang!” perintahnya.
Heru membawaku lari, kanvas dan alat lukisku terjatuh entah di bagian mana! Heru hanya menggenggam tanganku erat, dan terus berlari sekencang-kencangnya.
Hehh,,, hehh,,, hehh,,, hehh. Tanpa memperdulikanku, Heru tetap berlari sesuai dengan kecepatannya. Sembari terhuyung-huyung, sesekali aku terjatuh lalu dibangunkannya lagi, dan berlari lagi!
“Cukup Her! Aku cape. Lagi pula lukisan itu tak bisa berlari mengejar kita, lukisan itu juga bukan hantu yang bisa menampakan diri di manapun sesuka hatinya.” Heru melepaskan pegangnnya. Mungkin ia sadar, perkatanku ada benarnya.
Lukisan itu memang aneh, misterius dan tidak masuk logika! Tapi setidaknya, selama ini lukisan itu tetap seperti lukisan lainnya. Yang tidak berterbangan dan menghilang. Lukisan itu berbeda karena mampu merubah unsur lukisannya menjadi unsur lukisan yang lainnya, seperti gambar dalam 3D. kanvas itu benar-benar terlihat hidup.
Aku teringat sewaktu berfantasi mengabadikan wajah seseorang yang sangat aku cintai. Angga namanya! Tapi seketika itu juga, lukisanku berubah hitam, menggambarkan kejadian buruk yang akan terjadi dengannya.
Untuk pertama kalinya aku begitu syok. Menyaksikan lukisanku berubah warna, gambar, dan menambah sebuah peristiwa. Karena sehari setelah kanvasku berubah menjadi gambar sebuah tragedy itu, Angga mengalami hal buruk yang kemudian menewaskannya.
Saat itu terjadi. Aku mulai berhenti melukis, dan tak pernah lagi berani mendekati peralatan lukis itu. Tapi karena aku suka seni, dan keturunan keluarga seni, mau tidak mau akhirnya aku diharuskan untuk menggelutinya juga.
Ini pertama kalinya aku kembali melukiskan hatiku lewat kanvas. Awalnya aku hanya berani menggambar dalam kertas, karena gupem(guru pembimbing) tahu gambarku lumayan bagus, ia ingin agar aku menggambar dalam media yang cukup besar. Dari situ aku mulai melukis untuk tulisan-tulisan atau selebaran-selebaran yang akan dibuat.
Hanya dengan memotretnya, kemudian print lewat plotter(untuk ukuran yang sangat besar) maka dapat dibuat sebuah poster yang dapat ditempel seperti design grafis pada umumnya.
Sejak itu banyak tawaran untuk melukis, awalnya aku menolak jika media yang digunakan berupa kanvas. Karena bagaimanapun, setelah lukisanku selesei, proses pengeditan dan proses publikasi. Selama ini tidak pernah ada masalah. Jadi aku memberanikan diri untuk melukis kembali.
Sampai aku bertemu Heru. Heru adalah seseorang yang mampu menggerakanku untuk menyentuh media yang paling kuhindari. Kanvas!
Dan ini adalah pertama kalinya aku membuktikan kata-kataku kepadanya. Alasan mengapa aku begitu menghindari kanvas.
Benar! Perkataanku terbukti. Gambar itu hari ini terjadi, sekarang Heru hanya bisa menyesali dengan keinginan dan kepercayannya.
“Har! Aku tak menyangka, sungguh. Aku…!” Sedetik aku blenk. tapi sedetik lagi aku sadar. Hal yang sudah terjadi tak mungkin bisa kembali.
“Her. Aku yakin kamu akan baik-baik saja! Aku tak menyertakanmu di dalam gambarku.” Matanya bening, aku tau arti dari sorot itu dan ekspresi yang tertera di wajahnya. Ia terlihat pucat, mungkin keadaanya lebih buruk dari yang aku tahu. Tapi lagi-lagi, aku tak bisa berbuat apa-apa.
“Har… Kamu baik-baik saja kan?” tanyanya. Aku tersenyum, “Lebih dari itu!” jawabku.
Heru memelukku, “Jika ada hal yang harus terjadi, itu karena aku Har…” Heru menangis mengawali kata-katanya, isaknya terdengar jelas. Begitupun dengan kata-katanya yang terlontar gemetar dari bibirnya.
“Her… itu belum terjadi, mungkin esok!” lirihku.
Heru menambah erat pelukannya, membuatku semakin pilu! Rasa takut itu pernah ada sebelum Angga pergi, setelah kepergiannya. Perasaan takut itu telah dibawanya. Hanya saja ‘aku tak ingin ada orang lain yang terluka karena aku’
♣♣♣♣
Aku mencari lukisan itu, aku penasaran dengan perubahan yang terjadi dengan gambar kepunyaanku. Saat hendak mengambilnya di balik celah batu, kakiku terhimpit, dan bongkahan tanah yang ada di sampingnya longsor. Aku terkesiap. “Benar saja. Lukisan itu mampu memperlihatkan masa depan yang sangat buruk” Hening…
Aku melihat wajah Heru disana! Ia menyaksikan kematianku di hadapnnya, entah ia terguncang atau begitu kehilangan. Tapi ia hampir saja melangkahkan kaki untuk menginjak bongkahan tanah rapuh itu.
“Jangan Her, jangan lakukan itu! Aku tidak akan ikhlas jika harus membawamu mati bersamaku!” Heru dapat melihatku, diurungkanlah niatnya untuk mendekatiku.
“Biarkan aku saja! Aku lebih ikhlas begitu.” Heru bungkam. Entah apa yang ada dalam bayangnnya. Melihat kanvas yang dapat berubah? Melihat wanita yang dicintainya dengan nyawa tak beraga?
Nyawa yang masih ia lihat sebagai Sosok Haru yang ia kenal. Sosok yang pada akhirnya bisa mencintainya setelah kepergian Angga. Sosok wanita yang…
“Heru! Tetaplah hidup untuku, mencari tahu apa yang selama ini tak pernah aku cari tahu. Tentang lukisanku…” Hanya itu yang mampu aku katakana. Hanya itu alasan yang dapat aku berikan mengapa ia harus tetap hidup.
“Har, Aku menanyakan ini. Polisi mengidentifikasi masalah yang logis! Tak ada kejanggalan dalam kecelakaan itu. Mungkin lukisan itu hanya berubah, tidak bener-benar menunjukan sebuah masalah.” Heru masih dalam tangisnya, hatiku sakit karena ketidak ikhlasannya melepaskanku pergi.
“Kenapa. Kenapa kamu harus kesini Har, jika tidak mungkin…” Heru berceracau mengeluarkan emosinya. Aku tahu ini salahku, kematian ini terjadi karena kecerobohanku mengambil keputusan. Andai aku tidak begitu memikirkannya, andai aku membiarkannya pada tempatnya tanpa harus mengambilnya, andai aku tak melebih-lebihkan kejadian ini. Mungkin…
Kali ini Heru terduduk, sekilas kulihat ia bersujud! Aku tak menyangka hal ini membuatnya begitu kehilangan. Aku pikir hanya Angga yang akan bersikap demikian, tapi ternyata tidak. Heru sedang melakukannya untuku.
Apapun yang terjadi, karena kanvas itu atau bukan. Takdir sudah ada yang merencanakan. Karena akhirnya sudah seperti ini, biarlah semua berlalu sebagai mana mestinya, dan menjadikan lukisan haruko ini sebuah misteri.
Tanpa ada pemecahan, taada yang dipecahkan, dan tak terpecahkan.
               
            Lentera EmJe,