Awalnya Karena Aku, Akhirnya Penyebabnya Kamu

0 koment

Jumat, 06 Januari 2012

Suara dalam hatiku tak henti-hentinya meneriakan namamu, entah karena senang atau karena kesal. Tapi berulangkali ada ganjalan yang aku rasakan, yang membuat dadaku begitu sesak. Belakangan ini engkau kembali hadir dalam ingatanku. Kenangan yang lama terbuang seketika hadir membawa permasalahan.

Aku tak yakin, tapi begitulah kata Maya, teman kita massa SMA. Padahal sejak kelulusan, kita semua telah berpisah dan tak lagi bertemu satu sama lainnya. Tapi hari itu, ia menghadapku dengan sebuah berita yang mengejutkanku.

"Apa, dia selingkuh?" Matanya nanar, menyiratkan sebuah kejujuran. Aku hanya terbelenggu dengan ketidak pastian.

"Mengapa, dia..." Aku ingin mendesah akan sesuatu yang tidak mungkin, aku ingin bergurau seakan ini hanya sekedar candaan, bahkan aku ingin tidak marah dan mempercayainya bukan berita yang dibawa Maya. Tapi satu hal yang terjadi hari itu, hatiku sakit...

"Ini salahku," hatiku membatin. Maya masih menatapku mencari jawaban.

"Apa yang akan kau lakukan?" Tanyanya memastikan.

"Entahlah... Kami sudah lama tak bertemu. Haruskanh aku kembali menyakitinya." Kalimat itu terasa dalam menghujam. Disatu sisi, menemuinya berarti mengorek luka yang pernah aku sebabkan. Sisi lainnya, aku tidak menerima perbuatan apapun yang telah dilakukannya. Aku bingung padahal bertanya bukan sesuatu yang akan menyakitinya lebih dari apa yang aku pikirkan.

"Nay... Aku tak bermaksud mengungkit apapun. Aku bermaksud membawa sebuah kabar yang pantas untuk diketahui olehmu." Maya terdiam, ia melihatku melakukan hal yang sama.

"Haruskah aku menemuinya hanya untuk memarahinya, lantas... apakah aku tidak berhak untuk dimarahi olehnya." Aku menahan sakitku, menyerahkan keikhlasanku akan sesuatu yang tidak pernah aku dapatkan darinya.

"Apa Dito marah padamu?"

"Ya!" Jawabku singkat, ini pertama kalinya ia terlihat marah padaku.

"Jadi kau akan menganggapnya impas?" Maya geram, melihatku tak tergerak untuk menghukumnya.

"Apa kau ingin menghukum dirimu sendiri dengan cara seperti ini Nay?" tambahnya.

"Tidak. Hanya saja itu sepadan untuku. Mungkin jika kami berteman baik, ini akan lebih mudah untukku." Aku meredam kemarahanku mentah-mentah. Maya akhirnya pasrah.

ooooo

Sore itu.

Tidak sengaja aku melihat Sena bersama Dito, tampak pemandangan mesra dari keduanya. Aku termangu, menyadari pemberitaan Maya benar adanya. Aku tak berani menegur sapa, seperti seorang penjahat yang takut mempertanggung jawabkan kesalahannya.

Tapi Dito tak beranjak, meski aku yakin ia juga melihatku memperhatikannya. Dan karena ini aku baru tahu, terlalu sakit untuk menerima kekasihmu bersama wanita lain di depan matamu. Sama seperti apa yang pernah aku lakukan saat bersama laki-laki lain dihadapannya. meskipun aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan laki-laki itu.

Sena makin bermanja, karena jengah akan tingkahnya. Kuputuskan untuk tidak memperhatikannya. Tapi agaknya Dito tahu aku akan pergi, kemudian baru ia berjalan kearahku.

"Nay," panggilnya. Aku tak menjawab, hanya menoleh dengan kecemasan.

"Lagi ngapain kamu disini?" tanyanya masih terasa sinis.

"Aku? Em... enggak!" jawabku bingung.

"Kau tidak bermaksud untuk bertemu denganku bukan?" Dito mulai bertingkah. Kejadian dimasa lalu membuatnya berani menyepelekanku, setidaknya untuk sesuatu yang pernah aku lakukan padanya.

"Apa tidak boleh?" Tanggapku lirih. Ekspresi Dito menyiratkan betapa terkejutnya ia dengan pengakuanku, entah seperti apa diriku dipikirannya. Yang jelas, selama ini ia selalu bersikap baik padaku.

"Apa kau tak bisa mencoba untuk memaafkanku Dito?" Akhirnya aku tak tahan, setidaknya ada kejelasan tentang masalahku dengannya.

"Aku memaafkanmu Nay, bukankah aku pernah bilang?" Dito terlihat segan mengutarakannya.

"Tapi aku bisa melihatmu, kau masih tidak bisa melupakan kejadian itu. Apa kau sungguh-sungguh tidak ikhlas, maafkan aku Dito..."

Kulihat Sena mulai tidak nyaman, ia pun akhirnya mendekati kami berdua. "Sayang..." Panggilnya pada Dito.

"Kenalin ini temen aku di SMA Sayang, Nay ini Sena cewek aku." Dito bersikap seakan tak sedang terjadi apa-apa. Agaknya ia mulai melupakanku pelan-pelan, aku senang namun cukup dibuatnya sedih.

"Aku kenal ko, Sena adik kelas Abangku sewaktu di SMP. Sena pernah main kerumahku." Tuturku menghentikan semua kepura-puraan ini.

"Ya udah. Nay pergi dulu Dito. Sampai ketemu lagi Sena." Aku berbalik membelakangi keduanya, hatiku remuk. Melihatnya sudah bersama orang lain membuatku jelaus, begitupun mengetahui ia pernah selingkuh dibelakangku membuatku kecewa.
ooooo

"Hay Nay?" Sapa Dito. Maya ngekor dibelakangnya.

"Hay semuanya. Mana anak-anak yang lain?" Dito dan Maya hanya angkat bahu.

"Acara Reuni kali ini sepi, gak kaya angkatan kemarin." Maya berkomentar, Dito hanya senyum-senyum menanggapinya.

"Nay, bisa kita bicara?" Mendengar Dito berbicara seperti itu, Maya buru-buru permisi, "Nay, Dit Maya nyapa temen yang lain dulu yah?" Aku mengangguk, Dito kembali tersenyum.

"Apa?" Kataku to the point.

"Kenapa kamu gak langsung ngomong?" tanyaya tanpa maksud yang jelas.

"Ngomong apa?" tanyaku mencari kejelasan.

"Maya mengakui, ia pernah memberitahukan kepadamu tentang perselingkuhanku kepadamu, terus dia nanya apa yang dilakukanmu Nay." Ceritanya.

"Lalu kamu jawab apa?" Tanyaku balik, karena takut ini akan menyinggungnya.

"Aku tidak yakin. Tapi Nay tak pernah membahas hal ini. Apa kau marah Nay?" Ekspresi Dito tampak berubah. Ia buru-buru bertanya sebelum aku memutar balikan kata-katanya.

"Em... Aku...!" Hanya itu yang sanggup aku katakan.

"Hari itu aku menemuimu karena ingin memarahimu, tapi karena ada Sena aku tak ingin mengacaukan kencamnmu." Jawabku jujur.

"Apa itu artinya kau membiarkanku selingkuh?" Entah apa yang memicunya semarah itu.

"Tidak! Aku marah, sangat marah. Tapi..." Lagi lagi kemampuanku untuk mengutarakan isi hatiku tidak sempurna.

"Aku akan tersinggung jika kamu tidak marah." Jawabnya ketus.

"Apa? Jika ada orang yang harus marah itu aku, kau pikir bagai mana perasaanku mengetahui bahwa selama kita punya hubungan kamu main belakang tanpa sepengetahuanku. Saat aku merasa bersalah dan takut menjadi pembuat luka lagi. Kau tahu bagaimana rasanya, menyimpan kekecewaan itu tetap di dalam hati?"

"Nay..." Dito ciut, dan berkeras untuk menjelaskannya. Tapi entah karena Dito yang membuatku berani memarahinya, akhirnya aku tak memberinya kesempatan untuknya menjelaskan apapun.

"Cukup Dito, aku memang pernah menyakitimu. Tapi bukan berarti kau bisa menutupi kesalanmu yang sama-sama bisa menyakitiku juga. Kau tahu, aku sudah berusaha untuk tidak menyakitimu lebih dari apa yang aku lakukan karena merasa bersalah, tapi melihatmu seperti itu membuatku merasa sia-sia menaruh penyesalan padamu."

Tiba-tiba Maya datang, membuat kami semua terdiam. "Loh Ada apa?" Maya keheranan melihat kami jadi tegang.

"Nay semuanya baik-baik aja kan?"

"Entahlah. Tanya sendiri sama Dito!"

"Nay..." Teriak Dito saat aku meninggalkannya dengan Maya.

oooo

"Rik. Apa semua cowo itu seperti itu?" Tanyaku gak jelas.

"Maksudmu seperti apa?" Erik tampak ragu dengan apa yang ingin dikatakannya.

"Dito..." Jawabku lirih.

"Oh... dia punya alasan, seperti saat kamu membuat kesalahan." Jawabnya bijak.

"Menurutmu kesalahan siapa yang lebih besar?" Tanyaku lagi, beharap ini benar-benar adil untuk keduanya.

"Em... yang aku dengar dari Maya hanya tentang perselingkuhan yang diketahuinya, bukan Dito yang sengaja memberitahuku tentang apa yang sudah dilakukannya. Seadangkan kamu sengaja memberitahukan kepadaku apa yang kamu lakukan padanya, meskipun apa yang kamu lakukan itu lebih tidak baik tapi setidaknya alasanmu bisa aku terima walaupun belum tentu bisa diterima oleh Dito."

"Apa aku perlu mencari tahu?" Tanyanya, memberikan sebuah penawaran.

"Ah. tidak perlu."

"Kenapa?"

"Aku tak berniat melanjutkannya, Aku rasa barteman dengannya akan mengungatkanku tentang hal ini. Lebih baik membiarkannya tetap berlalu seperti ysebelumnya." Tak ada yang ingin aku lakukan, kekecewaan membuatku menjatuhkan keputusan dengan tidak adil, karena menitik beratkan pihak dari diriku sendiri.

"Kau yakin?" Tanya Erik sekali lagi.

"Tidak. Tapi aku kecewa..."

"Oy... Thanks waktu itu. udah mau pura-pura deket denganku di depan Dito..." Erik tesenyum, sempat menghela nafas dalam-dalam.

"Trserahlah jika menurutmu itu lebih baik!" Simpulnya, membiarkanku nyaman bersandar di saat seperti ini.