Satu Bintang Hatiku

Kamis, 13 Oktober 2011




02:23 PM
Satu Bintang Hatiku

Setiap malam aku selalu melangkah ke luar untuk mencari bintang, ia pernah berjanji saat aku menemukannya maka ia akan datang  untuk menemuiku. Tapi agaknya kali ini tidak!
            Langit selalu muram di wajah hitamnya. Tak ada cahanya yang terpancar dari rautnya. Aku kesal, sangat kesal. Karena kudegar di daerah lain tidak hujan, kuputuskan untuk kesana. Agar aku dapat menemukan sang bintang.
            “Aku pergi dulu…” ucapku pada Rin, adiku. Kusambit kunci mobil, segera kutuju tempat yang dapat mempertemukanku dengan sesuatu yang tidak bisa kutemui disini.
            “Bintang. Kumohon tunjukan wujudmu, agar saat itu aku dapat melihatnya. Aku ingin menuntaskan rinduku! Cukup, aku kesal terus menyimpannya.” Kuinjak gas, memacu avanza dengan kecepatan tinggi. Aku mulai gila, saat hatiku mulai mereda sepintas kulihat sesuatu telah kulewati.
            “Astaga!” Sejenak pikiranku kosong, mendadak rem kuinjak. Bunyi decitan ban mobil benar-benar memekik. Hatiku jadi tak karuan. “Apa tadi…”
            “Kuharap yang kulewati tadi bukan hal nyata atau sekedar perasaanku saja…” Setelah kuperiksa, benar! Tak ada apa-apa. Hatiku berdegup kencang, cukup membuatku begitu tegang.
            “Apa yang telah kamu lakukan hingga membuatku seperti ini!” kataku dalam hati. Kakiku lemas. Kelakuanku hari ini benar-benar konyol. Mau apa aku malam-malam begini ketempat yang tidak aku kenali, atau mau kemana aku?
            Kutelpon nomornya tidak aktif, kutanya Kakak-nya juga tidak tahu. Teman-temannya? Apa lagi! Aku mulai tidak suka menunggu, aku mulai jera untuk bersabar. Ia benar-benar keterlaluan…
            Akhirnya aku pun pulang, melepaskan harapan yang pernah aku simpan. “Kakak habis kemana?” Rin mendadak berada di depanku. Tatapannya sepertinya aneh.
            “Ada apa? Ada urusan apa kamu tanya-tanya?” Rin memberikan sebuah amplop, sepertinya sebuah surat.
            “Apa ini?” tanyaku enggan meraih pemberiannya.
            “Lihat… Kakak pasti senang…” Kulirik sedikit. Tertera nama Bintang disana.
            “Bintang? Apa dia kesini? Kapan? Sekarang dimana? Lalu… Apa…”
            …..
            Rin hanya memegangkannya di tanganku tanpa ada kata. Ia bergegas pergi, sepertinya ke kamarnya. “Bintang? Untuk apa dia mengirimkan sebuah surat jika telfon saja dimatikan. Susahan mana mengirim surat sama menerima telfon? Kenapa dia mempersulit hubungan kita sih!” Aku terus menggerutu sambil membuka amplop hijau itu. Kuperhatikan tulisannya, sedikit berantakan. Mungkin karena tulisannya mirip cakar ayam atau sekacau tulisan dokter. Semua huruf disambung, bahkan tak terlihat space satu pun.
            Susah payah kubaca suratnya, akhirnya aku tau juga isi di dalamnya;
Dear Beautiful girl…
Aku tau aku jahat, tolong jangan pernah maafkan aku. Aku ini bodoh, karena telah membuatmu terluka. Aku juga tidak bertanggung jawab karena aku berani jatuh cinta. Sungguh aku bersalah telah berhasil membuatmu jatuh cinta.
Setelah ini kamu tidak boleh menangis lagi! Cukup satu laki-laki ini saja yang akan membuatmu seperti ini. Kelak kau harus membuat laki-laki yang mencintaimu dan laki-laki yang kau cintai tidak memperlakukanmu seperti ini.
Jangan pernah menangisiku. Aku tidak pantas mendapat senyummu apalagi harus menerima tangisanmu.
By

            “Apa-apaan ini. Beraninya dia…”
            Kuremas kertas itu, rasanya ingin langsung merobeknya. Tidakah ia keterlaluan, aku menunggunya bukan untuk ditinggalkan. Aku mempercayainya bukan agar bisa dihianati. Begitupun….
            “Aku mencintainya bukan untuk dilupakan…” ucapku lirih.
            Ia bener-benar hilang bak ditelan bumi. Menghilangkan jejak apapun untuku! Lalu… hal ini kah yang bisa ia lakukan setelah itu…
            Kuhempaskan tubuhku, merengkuh bintang yang masih bisa kutemui. “Aku sangat merindukannya! Bahkan aku terlalu merindukannya…”
            Peluh keringat dan butiran kesedihan tak mempengaruhi apapun. Hatiku masih terasa sama! Bagai mana ia bisa bertanggung jawab untuk ini.
            “Aku tak membutuhkannya untuk menjadi kekasihku, aku tak membutuhkan perhatiannya, aku juga tak membutuhkan cintanya. Aku hanya membutuhkan dirinya,,, buat aku untuk berhenti merindukannya. Hanya itu… Kumohon… Bintang…”
            Bintang yang bisa kusentuh mungkin telah basah, jika ia hidup pasti ia juga akan merasa sakit. Aku terlalu erat memeluknya, karena mengharap bantalan bintang berubah menjadi dirinya.
            “Kau memang tidak pantas untuk dikasihi… tapi aku yang sedang membutuhkan kasihanmu…”
            “Ini seperti rasa lapar yang hanya bisa dibuat kenyang oleh makanan. Atau rasa haus yang bisa dihilangkan dengan air. Bahkan ini seperti pup yang harus segera dikeluarkan…”
            Entah kata apa yang pantas kusebutkan. Bahkan kata-kata itu pun tidak akan cukup untuk menggambarkan seperti apa rindu itu dan bagaimana cara mengetasinya. Aku bisa gila! Sangat tidak waras.
            Kulihat Rin ada di celah pintu. “Ada apa lagi?” Kuhapus  bagian pipiku yang basah, aku tidak ingin memperlihatkannya.
            “Kak Bintang menyarankanku untuk menemani Kakak, aku sendiri tidak tahu karena apa!” ucap Rin lalu mengangkat bahunya.
            “Tidak usah! Tidurlah…” pintaku menjauhi tatapannya.
            “Kak Bintang juga menyuruhku untuk membantu Kakak! Jadi….”
            “Jika Kakak butuh sesuatu. Kenapa dia yang harus mengatakannya! Berhenti untuk berkata “Kata Kak Bintang!” Jika benar dia setau itu, mengapa tidak dia saja… haruskah ia selalu digantikan oleh orang lain? Dan jika memang harus begitu…”
            “Setidaknya dia mengatakannya, dan berhenti untuk terus berada di hatiku…” tambahku.
            Rin mendekat. Aku berbalik, tidur menyamping. Memejamkan mata, dan menghindari apapun yang akan ia katakana dan apapun yang akan ia lakukan.
            “Aku tahu…” Rin menepuk lenganku. “Aku cukup umur untuk bisa mengerti Kakak!” Rin lama berada di belakangku. Aku mencoba tak peduli. Rin tahu atau tidak alasan Bintang seperti itu, aku tak mau tau.
            “Yang jelas aku sedang terluka. Rinduku diabaikan, cintaku dianggap mainan, permintaanku dibalikan, dan harapanku juga dihancurkan. Apa lagi yang bisa aku rasakan? Semuanya sudah lengkap!”
            Mungkin empat puluh empat menit membuatnya bosan. Rin keluar, entah ia mengira aku tidur atau ia mengira aku tidak akan mau melihatnya. Aku lega! Bisa sepenuhnya menuntaskan kesedihanku, sakit hatiku, dan segala perasaan itu sendiri, tanpa ada yang mengganggu.
            Entah berapa lama aku menangis dan menangis. Entah berapa kata yang telah aku ucapkan, entah berapa pukulan, tendangan, atau lemparan yang aku lakukan. Kata kesal tak bisa menandingi rasa yang sebenarnya.
            Perlahan namun pasiti. Waktu beranjak sedikit demi sedikit. Entah di waktu yang keberapa aku menghentikan semuanya. Membiarkannya tetap ada tanpa melakukan apapun. Membawanya tetap dalam hati sampai tertidur.
            Sempat kuingat sebelumnya terucap, “Aku sedang merindukanmu BINTANG…”
@@@@
            Paginya kulihat kamarku sudah tak berbentuk. Sprei sudah melayang dari tempatnya, Cuma ada bantal dan guling yang masih berada di tempatnya, dengan kain kusut dan sedikit basah. Entah berapa ml air yang sudah aku hasilkan dari kesedihanku semalam, yang jelas ini sudah basah dimana-mana, terlebih bantalan bintang yang sempat kujadikan target kekesalanku.
            Aku terkejut dengan hasilnya. Ada beberapa barang yang pecah, ada yang sekedar berserakan, ada juga yang berada jauh dari tempat tidurku. Sepertinya itu kulempar dengan membawa kemarahanku di dalamnya.
            Kubenahi satu-satu. Aku tak berniat meminta Mbok Io. Aku ingin mencoba merapikannya sendiri, bagaimana pun ini adalah ulahku. Agak aneh ketika nanti ditanya , “Loh… Ada badai yang masuk kamar Non? Atau Kenapa tiba-tiba kamar Non memjadi tempat yang tidak biasa_karena terlalu berantakannya.” Akh, itu hanya kata-kata bodoh yang sedang aku pikirkan. Yang jelas aku ingin menatanya, begitu pun yang ada dalam hatiku.
            “Pagi Rin…” sapaku. Rin menghentikan suapannya. “Kakak baik-baik aja?” tanyanya, lalu melanjutkan suapan yang ia tunda.
            “Ia… Cuman matanya aja yang gak baik!” jawabku sekenanya. Aku yakin tuh anak nanya karena melihat bagian itu yang sedikit bengkak.
            “Mau aku bantu?” Kulihat Rin selesei dengan makanannya.
            “Tidak usah. Kakak kompres pake air anget aja…” Mbok Io menyodorkan makanan yang sama. Nasi goreng sosis.
            “Kamu gak sekolah?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
            “Em… Pak Edi tadi kasih tau. Akan ada rapat, kemungkinan hari ini diliburkan…”
            “Wah,,, beruntung banget kamu! Kakak waktu sekolah gak ada yang bisa diajakin calling-an!” sambutku sambil memulai sarapanku.
            “Kakak ini. Pak Edi itu kan Paman sendiri, kalo gak bisa diajakin calling-an yah aku aja yang gak bisa bergaul dengan baik.”
            Hari itu hatiku rupanya membaik. Rin memang teman yang bisa diajak untuk bicara. Lagi pula dia orang yang tidak banyak bertanya dan suka mencampuri urusan orang lain. Ia hanya akan mendengarkan dan menjawab, aku tenang menyikapi sikapnya yang itu.
            “Aku akan pergi hari ini… Kakak mau ikut?” tanyanya. Setelah kubiarkan hening.
            “Kemana? Kakak enggak mungkin keluar kan dengan mata seperti ini!” Kuletakan sendok dan garpu telungkup. Kuminum habis segelas air yang ada di hadapanku.
            “Aku akan menunggu Kakak, sampai mata Kakak normal. Gimana?” Jawabnya diikuti pertanyaan setelahnya.
            “Baiklah…”
            Kutinggalkan Rin di meja makannya. Aku bergegas untuk terapi mataku yang bengkak, cukup beberapa menit matanya terlihat membaik. Dipoles make up tentu tak akan nampak.
            Rin mengajaku ke toko buku. Ia tidak berniat untuk membeli, hanya membaca resensi satu persatu di sampul belakangnya. Aku melihatnya dengan tatapan yang tidak wajar, sedikit dibuat-buat!
            Baru kali ini aku menemani adik satu-satuku itu menjalankan aktifitasnya. Melihatnya asik sendiri aku jadi berpikir, “Apa ia selalu seperti itu? Benar-benar cool untuk seorang perempuan.”
            “Buku apa?” Kulihat Rin melirik, lalu menyodorkan bagian depan sampulnya. “Oh…” jawabku simpul.
            “Gak bosen?” Hah! Sebenarnya aku tak berniat untuk mengganggunya. Itu adalah pertanyaan yang kesekian. Sudah lama aku membuntutinya, tapi aku sendiri tidak tau dia mau apa atau mau mencari apa?
            “Kakak bosen?” dia bertanya, aku langsung mengangguk.
            “Ya udah… Sekarang Kakak mau kemana?” tanyanya.
            “Hem… Kamu sengaja mau ngenterin Kakak yah?” kataku membalik pertanyaan.
            “Ketahuan yah?” Rin tersenyum, ini senyuman pertamanya untuku.
            “Pantes dari tadi gak karuan!” Kutarik tangannya keluar dari toko buku. “Kaka pengen keluar malam aja!” Rin menarik tangannya. Ekspresinya berubah, “Kenapa?” tanyaku.
            “Kenapa harus malam?” Rin berjalan di depanku.
            “Em… Malem ada Bintang Rin!” Aku menunduk. Entahh ekspresi apa yang bisa aku keluarkan karena itu.
            “Kak…” Rin terdengar mengeluh. “Kenapa sih?” Tanyaku heran. “Ada apa?” tambahku.
            Rin mempercepat langkahnya. Ia mendadak jadi menjauhiku! “Ada apa sih sama tuh anak!”
            Sepulang dari situ Rin terdiam. Ia menghentikan segala aktifitasnya, terutama berbicara! Karena itu, tak ada pembicaraan yang mengalir di tengah perjalanan. Bahkan setibanya kami di rumah, dia tetap enggan untuk berbicara.
            Hingga malam datang…
            Bintang masih tidak Nampak. Meski aku tau penantianku akan sia-sia, aku tak berhenti menatap kearahnya. Bahkan sang bulan pun entah kemana,,, Malam terlihat tidak bersahabat.
            “Kak…” Terdengar ketukan dari luar daun pintu.
            “Masuk!” Teriaku, karena jarak pintu dan beranda lumayan jauh.
            “Aku boleh masuk?” terlihat Rin dari balik pintu.
            “Oh… Iya…”
            Rin datang menemuiku. Memintaku untuk dapat menemaniku katanya. Meskipun sikapnya aneh! Aku senang.
            “Kak…”
            “Ya…”
            “Apa arti bintang untuk Kakak?”
            Kuperhatikan wajahnya berubah sendu. “Bintang apa?” Tatapannya bertemu dengan mataku. Ada hal yang disembunyikannya. Aku tau!
            “Bintang? Apa ada Bintang yang lain?” Ia terlihat bingung, aku tertawa mendapatinya.
            “Selain Kak bintang. Ada dua Bintang yang ada di hati Kakak…” Jawabku.
            “Siapa?”
            “Bintang di langit… dan bintang yang ada di tempat tidur…” Aku tersipu, senyumku terasa begitu indah.
            “Kenapa?”
            “Bintang di langit adalah alasan mengapa Kakak bisa tetap dapat melihatnya… meski ia tidak ada di hadapanku. Dan bintang di tempat tidur adalah alasan mengapa Kakak bisa tetap bertahan meski tak bisa menyentuh dan di sentuh olehnya.”
            Aku benar-benar terbawa suasana… Malam itu jadi indah karena ada seseorang yang benar-benar ada di sampingku. Bukan hanya benda yang bisa sekedar kupandang, atau benda yang hanya bisa kupegang.
            “Jadi…?”
            “Apa?”
            “Kakak bisa melepaskan Kak Bintang kan dengan adanya dua bintang yang lainnya?” tanyanya ragu. Ada yang bening di matanya. Pantulan cahaya yang terpancar tak bisa membohongiku. Rin juga bersedih untuk sesuatu…
            “Mana mungkin Bintang digantikan? Apa dengan melihat dan menyentuh bintang yang lainnya. Cinta, sedih, dan rindu dapat usai? Terganti? Dan terasa sama?”
            “Kak…” Rin menitikannya. Sesuatu yang sudah lama berusaha ia bendung. Tatapanku tak luput dari wajahnya.
            “Apa ada yang membuatmu tahu? Atau ada yang sedang kamu tahu?”
            “Kak…”
            ….

0 koment: