Rahasia Hati

Kamis, 13 Oktober 2011


09:05 PM
"Keindahan yang kau ciptakan sungguh tidak masuk akal! Tapi selalu ada pengecualian; untukmu."

RAHASIA HATI

Kau selalu seperti itu. Aku tak dapat berkata apa-apa… Selalu semaumu, tidak peduli denganku! Apa lagi…
Kulihat kau melipat tangan. Memandang kosong ke depan! Pikiranmu mungkin bertemu sesuatu yang tidak aku ketahui. Tapi aku ada di sampingmu untuk bisa mendengar keluhanmu…
“Bicaralah kepadaku… Cobalah untuk mempercayaiku…” Ia masih diam.
“Aku menjadi kekasihmu bukan untuk seperti ini…” tambahku. Kali ini aku pergi meninggalkannya. Hatiku sakit, seseorang yang kucintai terus menyembunyikan hatinya.
“Bahkan aku tak bisa melakukan apapun untuk membuatku mengetahuinya…” Lirih kurasakan dalam hatiku, sakit ini mungkin tidak ada artinya. Tapi dia harusnya tau, sakit dalam hatinya berpengaruh bagi hatiku.
“Aku memandangnya kembali dari balik jendela. Ia selalu berada di tempat yang sama untuk sesuatu yang sama. Tapi detik ini pun aku gagal mengetahuinya. Ia tetap tidak memberitahuku, ia terus terdiam seperti itu.” Tangisanku meleleh, aku tak dapat menahannya. Entah sampai kapan ia akan terus bersikap seperti itu.
Hari beranjak, dari pagi ke siang. Mau tidak mau aku harus memasak! Ibu akan marah jika tau aku bermalas-malasan. Kulihat Joo Menemaninya, biarlah temannya yang membuatnya bicara… asal ia bisa lebih baik dari itu.
“Kenapa! Dari pagi udah ngelamun…” Angi Adikku, menyodorkan sayur mayur dan beberapa bungkus daging.
“Masak apa kita hari ini…?” tanyaku, mengacuhkan pertanyaannya.
“Oh… Ini… Bikin sup atau dibikin gulai, atau… tumis… e…” Angi masih menyiapkan perlengkapan masak.
Aku tak menjawab… begitupun mendengarkan… Aku hanya melakukan apa yang biasa aku lakukan. Tanpa ini dan itu kubuat bahan itu menjadi beberapa makanan yang disebutkan oleh Angi. Tapi pikiranku tetap kosong untuk itu… Rain tetap berada di dalamnya.
“Ah!!!” Kutarik tanganku yang menyentuh badan panci. Kulihat sedikit melepuh, Angi tak tahu. Segera kusembunyikan darinya dan tak mengatakan apapun sekaligus tak mempermasalahkannya.
Sebelum jam makan siang aku dan Angi telah usai memasak dan menyajikannya. Kulihat Rain dan Joo masih asik dengan perbincangan mereka.
Aku merasa sedikit tersisih. Tapi… dengan begitu Rain tidak akan  terdiam lebih lama dari itu. Setelah berbicara dengan Joo, Rain mulai terlihat seperti biasa.
“Ini khusus dibuat untuk Rain dari Kikan…” Ucap Angi saat Joo dan Rain mendekat.
“Loh… Kami tidak boleh memakannya…” Ibu datang ditengah perbincangan kami.
“Akh Ibu… Mana mungkin Ibu tidak boleh makan… Kalo yang lainnya sih gak papa gak makan juga.” Timpal Rain.
“Sialan lu…” seloroh Joo. Angi hanya tertawa melihat Joo merengut.
Aku diam. Rain benar-benar terlihat berbeda saat seperti itu. Ia seperti jadi orang lain, tidak seperti seseorang yang tadi aku khawatirkan.
Kami makan bersama. Bapak juga hari ini bisa makan bersama, semua seperti biasa, selalu seperti tidak terjadi apa-apa.
Selesei makan mendadak kudapati tatapan Rain kearahku. Rasa bersalah? Kasihan? Atau apalah? Dia selalu bersikap, tidak pernah berkata dan menjelaskan.
Kurapikan piring, sendok dan yang lainnya. Aku dan Anggi yang menyucinya. Aku masih melihat tatapannya kearahku. Ada apa? Kenapa?
“Heh… biarlah… biarlah dia sendiri yang bertanya…” pikirku.
Selesei dengan semua itu aku berusaha mencari P3K. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak tau harus kuapakan tanganku yang masih kurasa perih. Saat hendak membuka tempat P3K, Rain meraih tanganku. Mengolesinya dengan obat seperti salep.
“Saki?” tanyanya.
“Iya…” jawabku tidak yakin.
“Kenapa bisa begini… Kamu harus selalu hati-hati… aku sudah membuatmu sakit, jangan lakukan hal yang akan membuatmu sakit lagi…”
Matanya tertunduk. Setiap berbicara seperti itu ia tak pernah mau menatapku. Tidak berani… atau…
“Aku tak apa…” Kutarik tanganku. Tapi ia kuat memeganginya, “Biarkan aku menyembuhkan luka yang ini.” katanya.
Aku membiarkannya, dalam hening ia mencoba meniup dan tak membiarkannya tanpa angin. Hembusan itu membuat lukanya cukup dingin dan tak terasa sakit lagi. Dia terus melakukannya sampai aku memintanya berhenti dan membiarkannya sembuh sendiri.
“Jika aku tidak pernah terluka,,, aku akan seenaknya melukai orang lain nanti…”
Aku senyum untuknya, dan ia kemudian berkata, “Terima kasih.” Aku beranjak dan kembali kekamar.
####
Esoknya kulihat hal yang sama. Kali ini aku lebih tenang menghadapinya, aku tak mencoba untuk apapun. Biarkan dia seperti itu, sampai ia tau apa yang benar-benar bisa ia lakukan.
Harusnya aku tau ia memang seperti itu. Konsekuensi mencintai dan menjalin hubungan itu berbeda. Saat kita mencintai kita tak akan melihat halangan apapun untuk tetap memilikinya atau tidak, cinta itu akan tetap ada tanpa harus dipaksakan. Tapi hubungan berbeda, dari awal saat ingin memulainya kita telah memutuskan untuk menerima apapun. Karena jika tidak, tidak akan dibentuk oleh awal itu. Tinggal bagaimana mempertahankan keputusan kita dari waktu yang sulit untuk ditentukan.
Harusnya aku sadar lebih awal. Dan bersikap lebih baik dari itu…
“Apa udah gak sakit lagi?” Hari ini Rain kembali lebih cepat dari sebelumnya. Ia masih memandangi tanganku. Memastikan keadaannya.
“Apa karena yang ini terlihat, jadi lebih mudah untuk menyikapinya…”
Rain mulai menatapku. “Iya… dengn melihatnya aku bisa tau seberapa parah!” Rain kembali berpaling. “Bagaimana rasanya?” tanyanya.
“Yang mana?”
“Semuanya…”
“Ada apa saja?”
“Apa…?” Ia terlihat berpikir. Mungkin ia memang tidak tahu apa yang kumaksud.
“Apa yang kamu pikirkan selama ini, selama berhubungan denganku! Ada apa saja?” Pertanyaanku mengejutkannya. Ia terlihat gugup dengan itu. Ia hampir meninggalkanku sebelum, “Apa benar kamu ingin agar aku tidak sakit? Apa benar kamu ingin menyembuhkan lukanya?”
Rain tak berkedip, kali ini aku berhasil menatap mata tajamnya. Tatapan itu telah berbicara banyak lebih dari suara yang hampir tidak pernah ia katakan. Kata-kata yang selalu sulit aku dapatkan… baik secara baik-baik atau tidak!
“Bagaimana?”
Rain kalah, sejenak ia menepis balasan tatapanku. Lalu kemudian baru menatapku lagi, kali ini tatapannya penuh keyakinan. Aku takut mendapatinya, karena sudah tidak bersahabat lagi. Tatapan itu ditunjukannya untuk meyakinkanku, aku sangat tidak suka.
“Mulailah dengan mempercayaiku… Lupakan aku sebagai seseorang yang harus membuatmu terlihat lebih hebat, kuat, jadilah seseorang yang bisa apa adanya mengungkapkan isi hatimu. Karena hanya dengan itu hatiku tidak akan berat untuk melakukan hal yang sama…”
Aku tak tau ekspresinya. Aku sedang tidak melihatnya sekarang! Yang pasti, apapun itu. Itu adalah hal yang akan menunjukan seberapa niat dia untuk mempertahankan hubungan kita.
“Aku tak mau membuatmu hawatir… lagi pula ini urusanku, yang harus aku seleseikan sendiri…”
“Aku tau! Tapi… Aku selalu berpikir, dalam hubungan ini kita tidak sedang memberikan hati sepenuhnya. Baik aku atau kamu,,, sama saja!” Aku tak memperdulikan jawaban apa pun, semua itu menunjukan hubungan ini akan seperti ini sampai kapanpun.
Saat itu aku melihat Joo sedang asyik dengan motornya. “Joo…” sapaku. Joo melirik lalu melanjutkan aktifitasnya lagi. Kulihat Ibu dan Bapak hendak keluar, mungkin ingin pergi kesuatu tempat yang penting. Soalnya Ibu jarang bepergian.
“Loh.. Mereka mau kemana?” tanyaku pada Joo.
“Mau jemput Seli. Katanya dia mau tinggal disini…”
“Tapi kamar disini kan sudah penuh! Apa ada yang akan ditendang keluar?” Aku diacuhkan oleh Joo. Bahkan sejak tadi dia tidak begitu memperhatikanku.
“Joo…!!!” Aku teriak kesal.
“Bukan begitu. Aku akan pindah, jadi Ibu mengijinkan Seli tinggal disini…” Sergah Rain.
Aku sempat kaget dengan kemunculan suaranya, tapi saat kulihat mukanya. Aku tak percaya dengan perkataan yang baru dilontarkannya.
“Apa?” Tanya aku dan Joo bersamaan.
“Lo mau pindah sekarang?” kata Joo.
“Apa… Jadi lo tau…” Aku menatap Joo. Joo hanya menunduk menyesal.
“Apa-apaan ini. Kenapa…” Aku tak percaya. Untuk hal seperti ini saja Rain tidak membicarakannya.
“Jadi ini alasannya… kenapa kamu ingin menyembuhkanku… karena kamu akan pergi…?” Aku menangis, ini pertama kalinya aku begitu marah.
Kulihat Joo meninggalkan kami. Tapi Raim tetap menatapku dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya. “Bukan…” katanya.
“Tapi … ini caraku untuk menyembuhkanmu…”
Aku sangat kaget, berusaha menerjemahkan maksud dari kata-kata itu, “Cara untuk menyembuhkanku…” ulangku.
“Ia… Ini satu-satunya cara untuk bisa menyembuhkanmu… Kikan…” Mendengarnya hatiku sangat perih.
Aku tak mampu mendengar apapun setelahnya, aku hanya berani untuk mencari jawabannya pada Joo. “Joo tunggu!” Kutarik paksa tangannya.
“Sakit Kan! Ada apa sih…” Joo enggan meladeniku, tapi dia mencari-cari wajah seseorang yang baru kutinggalkan.
“Rain cerita apa? Katakan?” Pintaku tidak dengan baik-baik.
“Apa Rain tidak memberitahumu?”
“Lalu untuk apa aku bertanya jika sebelumnya pernah diberi tahu!” Kata-kataku semakin ketus.
“Kalo begitu untuk apa Kikan Tanya padaku! Rain sendiri tidak memberitahukannya!” Joo berlalu. Ia tergesa-gesa menjauhiku, “Ada apa?” Hatiku selalu bertanya untuk sesuatu yang tak pernah diberi jawaban.
“Kan… Sudah kubilang, ini satu-satunya cara agar kamu bisa sembuh! Bukankah ini terlalu menyakitkan.”
“Apa? Apa hakmu menghakimiku. Sakit atau tidak, apa kamu tau bagaimana? Atau seperti apa rasanya? Karena jika kamu memilikinya, kau tak akan mau ada orang lain yang membuatnya.”
Rain terdiam, akupun begitu. Hening membuat kami bisa saling memandang satu sama lain. Memperhatikan lawan bicara dengan seksama, dan mencoba menerka apa yang ada di pikiran dan hatinya.
“Tapi… aku tak pernah mengetahuinya! Alasan kenapa aku juga tidak bisa mengerti.” Aku duduk, menyampingi Rain yang berdiri.
“Kau mencobanya Kikan, aku juga! Tapi itu tidak cukup untuk membuatnya berhasil. Ternyata ini tidak semuadah itu bukan.”
Tak ada satupun alasan yang harus membuatku memutuskanmu. Aku menyukaimu, kau tau perasaanku tidak sepolos itu_bukan sekedar menyukai, tapi sangat menyukai. Tapi kenapa hubungan ini terasa begitu berat. Apa karena hanya aku!
“Aku percaya ada cara lain yang bisa kita gunakan.!”
Pandanganku menerobos asa dua bulan silam. Saat aku memutuskan untuk bersamanya, aku pernah berharap hubungan ini tidak sekedar untuk seperti itu. Tapi melihat apa yang terjadi, satu hal yang membuatku menarik kesimpulan. “Sesuatu yang direncanakan kadang tidak akan seperti itu.” Ucap hatiku.
“Cara? Apa selama ini kita tidak menggunakan cara. Bahkan kita pernah mencoba untuk banyak cara!” Rain duduk di depanku. Kali ini kami dapat berbicara dengan baik dari sebelumnya. Apa karena kita akan putus, hingga akhirnya kita bisa jujur untuk satu sama lain?
Sedih rasanya mendapati akhir seperti ini. Benar-benar keindahan yang tercipta tanpa cahaya, warna, dan meninggalkan dua kata ‘Hubungahn kita’
“Baiklah. Aku ingin tahu, apa yang kau ceritakan pada Kakakku! Setidaknya jika ini keputusanmu, aku berhak untuk tahu itu.!”
“Tidak. Aku tak mengatakan apapun, sikapku padamu dengan sikapku padanya pasti tidak sama. Satu hal yang benar yang ingin kamu tahu, aku tak pernah bercerita apapun kepada orang lain apa yang tidak pernah aku ceritakan kepadamu. Jadi yang Joo tau, hanya sesuatu yang kamu tahu, bukan Sesutu yang tidak pernah kamu tahu!”
 “Jadi harus seperti ini. Bersikap baik, memperbaikinya tapi semuanya selesei.” Akhirnya…
Lentera EmJe,

0 koment: