Desa Hujan

0 koment

Sabtu, 22 Oktober 2011



Desa Hujan
            Sudah sekian lama aku bersamanya. Lebih dari itu, kami tak pernah berniat untuk berpisah untuk alasan apapun.  Qery namanya, ia biasa memanggilku Riya. Meskipun kami berasal dari dimensi berbeda, tapi kami tak pernah tidak bertemu untuk alasan apapun.
            Begitupun hari ini. Kami berniat untuk bertemu ditepi sungai dekat dengan saung yang dibuatkan Pakde. Tempat pertama kami bertemu. Di bawah rintik hujan, saat itu kulihat kakinya mengecipakan air tanpa menggerakannya. Aku terkesima, “Apa itu magic?” pikirku.
            Akh, kala itu usiaku masihlah terlalu kecil untuk merasa khawatir akan apa yang terjadi. Tanpa perintah, aku begitu saja mendekatinya dan beertegur sapa. “Hay, siapa namamu!” ucapku dengan polosnya.
            Anak itu menatapku dan menghentikan pergerakan air yang dimainkannya. Hanya saja, tatapan itu tidak begitu bersahabat dan terkesan tidak suka. Lalu saat hujan berhenti, aku sudah tak melihat keberadaannya.
            “Tak kusangka. pertemuan yang tidak baik itu kini telah menjalin sebuah hubungan baik antara aku dan dia.” Pikirku lagi. Mendadak hujan berhenti, mendungpun tak tersisa. “Mengapa langit berubah cerah?” Kulihat ada lengkungan pelangi disela-sela awan yang berjalan.
            “Kenapa Qery tidak datang…” Ini pertama kalinya ia melewatkan hujan saat ingin bertemu denganku. Jika hujan deras berlangsung sebentar, lalu ia berhenti begitu saja. Itu tanda ia tak bisa datang. Karena hanya hujan yang bisa menghubungkan duniaku dengan desa hujan.
            “Apa yang terjadi.” Hari ini aku menelan kekecewaan.
Kulihat Pakde berjalan kearahku. “Riya, sedang apa kamu?” Pakde duduk tepat di sampingku.
“Qery berjanji akan menemuiku Pakde, tapi ternyata tidak!” Aku tertunduk. Hujan tak tentu kapan datangnya, mengapa ia bisa mengabaikan hujan yang sudah ada sebelumnya. Kapan lagi kami akan bertemu, atau kapan hujan akan datang.
“Apa dia sudah mengatakan sesuatu sebelumnya?” Pakde memandangku, tatapannya tak bisa kubohongi.
“Sudah Pakde, hanya saja ini pertama kalinya ia tidak menepati janji. Mungkin nanti baru dia memberikan alasannya.”
“Jika begitu, tunggulah. Hari itu pasti akan terjadi. Karena esok dan esoknya lagi hujan akan tetap kembali.” Pakde tersenyum, aku tersipu mendapatinya.
“Pakde benar. Tapi sesuatu yang tidak biasa tidaklah mudah untuk menerimanya, apapun itu kuharap kau baik-baik saja.” Gumamku dalam hati.
Aneh rasanya aku tak senang melihat sinar matahari datang, terlebih ada hiasan indah dari pelangi. Mungkin karena hal itu tidak lebih berarti dari apa yang aku harapkan datang ini.
◊◊◊
            Hari berganti hari, musim panaspun berlalu. Harusnya hujan sudah datang. Tapi mengapa tidak begitu, hujan tak kembali lagi seperti cuaca yang sudah diramalkan. “Hem… ini gara-gara global worming. Cuaca tak menentu, hujan tak teratur. Siklusnya jadi berantakan. Menyebalkan!”
            Selalu mendung, Guntur bersautan, sesekali kilat pun nampak. Tapi tak setetes hujanpun yang jatuh kepermukaan. Lama aku menunggu, hingga akhirnya kuputuskan untuk tidak memikirkannya.
            Cuaca yang semula begitu cerah telah berubah menjadi panas. Butuh pendingin ruangan untuk membuatnya tetap sejuk. Sayang dirumah hanya ada kipas angin, itu tidak cukup untuk menghilangkan gerah yang sedang aku rasakan.
            “Jangan selalu mengeluh…” Pakde memberiku kipas yang terbuat dari kertas.
            “Syukuri apa yang ada, jangan mengeluh untuk apa yang tidak ada!” tuturnya.
            “Bukannnya itu wajar Pakde. Jika kita mensyukuri apa yang tidak ada dan mengeluh untuk apa yang ada baru itu tidak boleh!” Aku tertawa melihat ekspresi Pakde saat mendapati kata-kataku.
            “Anak-anak sekarang pintar yah?”
            “Pintar apanya Pakde?”
            “Pintar membalikan kata-kata…”
            Aku tersenyum penuh arti. Pakde satu-satunya keluargaku, aku menghormatinya lebih dari apapun. Tapi bukan berarti kesedihanku hilang saat aku menghormatinya.
◊◊◊
Hari ini matahari terlihat lebih awal. Ia sungguh bersemangat mengawali hari lebih dari orang-orang yang seharusnya begitu. Tapi itu membuat aktifitas kami menjadi begitu berat. Cuaca panas membuat orang-orang cepat dehidrasi, merasa lelah, kepanasan, dan sebagainya.
Lebih baik orang-orang yang bersemangat dari pada matahari yang sudah terbit dipagi hari dengan energy maksimum.
Aku yang ikut bersemangat mulai melangkahkan kaki ke sekolah, hari ini tidak boleh seperti yang kemarin-kemarin. Lebih baik dan lebih baik lagi. “Cayo!” teriakku dalam hati.
Tik… tik… tik…
Hujan panas? “Riya!” Aku terhenti saat suara itu mendayu kesudut telingaku. Aku berusaha mencarinya, saat berbalik kudapati Qery di hadapanku.
“Aku hanya sebentar. Hujan tidak akan berlangsung lama, karena cuaca sebenarnya tidak mendung. Lagipula kamu akan berangkat sekolah!” Qery tertunduk.
“Kenapa. Kenapa hari itu tidak datang? Hari itu hujan berlangsung lebih lama dari hari ini. Tapi…” Heh… Kesedihan itu masih membayang. Memikirkan hal yang tak pernah terjadi sebelumnya membuatku sangat khawatir. Apakah ada alasan yang buruk?
“Aku akan menemuimu dihujan berikutnya, dengan waktu yang akan berlangsung lama! Saat itu aku akan mengatakan dan menjelaskannya.” Kulihat hujan berhenti. Pelangi datang menghiasi lagi, matahari terlihat begitu cerah, dan awan berlalu lalang tanpa warna abu-abunya.
Hanya hatiku yang tidak begitu. Qery menghilang, entah bayangannya masih ada atau tidak dalam pandanganku. terlalu singkat menemuinya dengan cara seperti itu. Menjalin hubungan dengan seseorang yang berbeda dari kebanyakan orang yang lainnya memang tidak mudah. Selalu ada yang berbeda dari segi baik ataupun tidaknya.
Karena dari awal sudah berniat untuk semangat, ada hal yang menyurutkannyapun harus tetap untuk berusaha semangat. “Cayo!” ucapku lagi dalam hati.

Usai sekolah mau tidak mau masalah itu terpikirkan lagi. Komunikasi seperti apa yang bisa aku lakukan dengannya. Dengan jarak seperti ini, perbedaan dimensi seperti ini. Tatapan tadi mengingatkanku dengan tatapan pertama kami bertemu, sangat tidak bersahabat.
Padahal setelah itu tatapannya berubah saat ia memintaku untuk menjadi temannya dulu. Tidakah ini aneh, setelah kami menjalin hubungan cukup lama. Tiba-tiba tatapan pertamanya itu kembali. “Ada apa?”
“Apa aku harus tinggal di bogor agar aku bisa bertemu dengannya?” Pikiranku menjadi konyol karena tak menemui titik terang untuk semua pemikiranku. Setidaknya aku harus mempunyai banyak waktu bersamanya untuk memperbaiki komunikasi kami. Bukankah bogor disebut kota hujan?
Akh, entahlah. Aku hanya ingin cepat berakhir dan aku bisa menjalin hubungan yang baik dengannya seperti semula.
“Assalamualaikum?”
“Waalaikum salam!”
“Loh. Riya kenapa?”
“Ini Pakde, aku lagi kesel.” Aku berlalu tanpa sungkeman.
“Loh, udah ucap salam ko enggak sungkeman.”
“Nyusul pakde!” Aku teriak dari dalam kamar. Aku bukannya tidak ingin, tapi sungguh! Aku lupa karena kesal.
“Anak ini…” Kulihat Pakde sempat geleng-geleng kepala tadi.

“Kenapa?” Tanya Pakde, saat aku mendekatinya untuk sungkeman yang tertunda.
“Em… Enggak Pakde, enggak apa-apa!” Aku menjawabnya malas, sambil mengambil piring untuk makan kami.
“Enggak apanya. Eanggak ada apa-apa kok ada apa-apa!” Pakde menggodaku sambil senyum-senyum.
“Apaan sih pakde. Ada apa-apa apanya?” Jawabku tambah kesal.
“Nah, tuh apa? Buat apa kesel kalo gak ada apa-apa?”
Kuhentikan aktifitasku. Aku terdiam, “Tautuh Qery…” Jawabku pelan. Pakdepun sama. Ia membiarkanku melanjutkan aktifitasku.
Selesei makan, aku bergegas ke saung yang ada disebelah kiri rumah. Jaraknya tidak begitu jauh, beberapa menit juga sudah sampai.
Tak kusadari Pakde ternyata mengikutiku. “Apa yang kamu pikirkan?” Tanya Pakde.
“Apa? Banyak pakde!”
“Siapa dia, tinggal dimana, bagaimana sifatnya, apa yang ada dalam hatinya, apa yang ada dipikirannya. Bahkan lebih dari itu!” …
Hatiku selalu sedih saat aku memikirkannya.
“Kamu tak menanyakannya?”
“Namanya Qery. Tinggal di desa hujan. Sifatnya seperti itu. Dia bilang hatinya begitu, dia juga berpikir itu katanya.”
“Lalu…”
“Tapi Pakde. Itu tidak cukup untuk mengenal seseorang. Bukan hanya karena ditanya lalu dia akan menjawab, atau saat kita mencari tau lalu kita akan tahu kebenarannya. Bukan itu…”
“Jadi…”
“Jika dia bisa mengatakan sesuatu yang tidak aku tanyakan, lalu memberitahu apa yang tidak aku cari tahu, dan aku tidak sekedar mengenalnya, tapi memahaminya. Seperti itu … “
“Keinginanmu melebihi apa yang dipikirkannya…” Pakde memberi jeda ditengah percakapan kami. Itu membiarkanku memikirkan apa yang baru dikatakannya.
“Tidak semua apa yang sedang kita pikirkan itu diterima oleh orang lain. Meskipun itu untuk seseorang yang kita sayangi. Setiap orang punya pikirannya sendiri-sendiri, ingat itu!”
“Heeeeeeeeh….!” Aku hanya mampu menghela napas panjang. “Begitupun, aku dan dia tidak akan bisa lebih baik!” Pikirku.
◊◊◊
“Aku kedinginan…”
“Maafkan aku!”
“Kenapa minta maaf?”
“Aku sadar. Aku yang selalu membuatmu menunggu. Aku yang selalu menempatkanmu dalam cuaca yang tidak baik. Dan aku yang membuatmu tidak menyukai cuaca cerah dan indahnya pelangi. Aku salah!”
“Kenapa bisa begitu? Kenapa harus selalu begitu? Mengapa aku yang harus mencocokan apapun denganmu, kenapa aku tak pernah melihatmu mencocokan apapun denganku?”
“Karena aku hanya bisa datang saat hujan. Karena aku tidak dapat menentukan kapan harus hujan, dan cuaca cerah yang indah tak mampu mempertemukanmu denganku.”
“Kau benar. Apa aku harus menyalahkanmu karena dalam posisi seperti itu? Apa aku harus menyalahkanku karena dalam posisi seperti ini? Atau aku harus menyalahkan posisi yang ada diantara aku dan kamu.”
“Aku tak tahu!”
“Lalu sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? Aku tau ini, aku tau itu, dan aku tau semua. Tapi apa, apa yang akan kamu katakan dari semuanya?”
“Penjelasan. Kata-kata ampuh, atau apa? Kenyataannya kita tak bisa bersama, itukan maksudnya! Sudahlah, katakan seperti biasa yang pernah kamu katakan sebelumnya. To the poit!” Entah di desa hujan diajarkan bahasa inggis atau tidak, yang jelas selama ini ia bisa memahami semua ucapanku dengan baik.
“Kisah putri dan pangerannya! Tidak bisakah hubungan kita berakhir indah?”
“Keindahan tidak selalu diawali dari keinginan yang terwujud, atau mimpi yang berubah jadi kenyataan. Tapi akhir adalah sesuatu yang terbukti hanya sebuah keinginan dan kenyataan yang hanya sekedar mimpi.”
Kami bersitegang untuk sesuatu yang tak pernah kita sadari. Hubungan itu telah mengalir jauh dari tempat pertama kali kita bersatu. Tak ada kata-kata yang mampu mengembalikan aliran itu ketempat semula, begitupun hati dan raga kami sudah dibatasi dimensi yang tak pernah dalam satu jangkauan saja.
Kita hanya akan tetap terhubung dalam hubungan yang tidak saling mendukung dan membutuhkan, seperti pasangan muda-mudi yang lainnya. Itu adalah misteri desa hujan yang dapat kutemui diantara rintik kesenduan yang menyesakan.
Lentera EmJe,