Esok yang mencolok. Tak cocok untuk warna perangaimu yang tanpa warna. Itu sangat tidak wajar. Tapi aku mendapatimu bertindak memperlihatkannya.
Kesederhanaan milikmu hilang dalam pandanganku, karena kau tak sederhana seperti yang kulihat. Kau ciptakan bening dalam hatiku, lalu kau buat bening pada akhirnya.
Aku kecewa. Sangat! Tapi apa itu dapat menghilangkan bekas dari bening yang kau ralat. Bening harusnya tak membekas, bening seharusnya tak berbercak. Aku tak percaya!
Peluh yang tumpah saat ini tak berarti apa-apa. Kekhawatiranku rupanya tak berguna. Aku mendapatinya lengkap dalam pelukannya.
Dalam dinginnya udara, dikeheningan senja yang sendu. Kini Nampak sepesang mahluk yang tak pernah kupikirkan, telah bersama.
Seakan tulangku akan rontok, tubuhku ingin runtuh, dan nyawaku sesaat melayang karena pikirannya. Tak bisa kubayangkan, sosok itu berdua dihadapanku tanpa rasa bersalah dan iba.
Aku merunduk. Mengetahui aku kalah, aku kehilangan, dan aku terlalu terluka untuk sekedar kecewa. Matakupun bening, hampir menyerupai anak sungai yang siap mengalir. Tapi kutahan. Aku tak mau memperlihatkan kehancuranku, aku tak sudi membiarkannya tahu.
“Aku mencintaimu, dan aku melihat kau tidak mencintaiku.” Itu … itu adalah hal yang tak pernah bisa aku lepas dalam pedihku. Satu-satunya alasan aku masih memiliki kepedihan seperti itu.
Raisa masih duduk dalam diamnya. Tahu ataupun tidak itu tidak perlu. Tapi, bayangan itu berkelebat berkali-kali dalam ingatanku.
“Aku ingin tidak memaafkannya seumur hidupku, sungguh!” umpatku dalam hati.
Sore itu aku dan Raisa berniat melewati hari dengan membawa kebahagiaan. Sunset yang masih kami pandang memang menghilang dengan sempurna. Sayang, kebahagiaankupun lewat, dan kesedihan mulai membayang.
Aku menelan kekecewaan itu dengan senyum kecut. Aku ingin menangis, tapi aku tak mempercayai tangisanku pada teman yang ada disampingku itu. Aku sedang mencurigainya, dan berprasangka buruk padanya. Akhirnya, tangisan itu kusimpan rapat dalam diam.
“Raisa. Aku ingin pulang…” Ia memperhatikanku. Entah tatapan seperti apa yang tersirat dalam rautnya, aku tak menatapnya. Aku takut, jika memaksakan untuk memandangnya hatiku akan semakin terluka. Aku tak mau ia tahu tentang hatiku sekarang sampai aku yakin dengan apa yang aku rasakan.
Benar. Raisa hanya mengikuti kemauanku untuk pulang tanpa bertanya apa-apa. Aku sempat menanyakan padanya, seseorang yang bersama Bening itu siapa? Dan benar, Raisa beranggapan sama dengan apa yang aku pikirkan. Ia adalah mantannya.
Tapi kesedihanku tak berakhir dengan situasi itu. Tak ada ekspresi yang bisa aku artikan dari apa yang aku tangkap diwajahnya. Hanya respon itu saja, dan cukup menambah luka yang sudah jelas tertera.
Esok. Kata-kata yang pernah dibawa Raisa akan berubah, dari apa yang ia dengar menjadi apa yang aku lihat.
Aku ingin membayangkan itu tidak benar, aku berharap aku bisa membayangkan hal yang lebih baik dari itu. Tapia apa dayaku untuk mengubah ketentuannya, ketentuanku, dengan ketentuan Tuhan. Jika hidupku ini miliku, maka hidupnya bukan miliku. Begitupun kehidupan yang sudah berjalan adalah milik-Nya.
Aku menyesal. Tidak untuk melepaskannya, atau tidak membiarkannya. Tapi aku menyesal telah mempercayainya saat melepaskan, dan membiarkannya.
Seperti yang kukatakan, ‘ia tak sederhana seperti yang kulihat’. Aku sempat berharap terlalu memahaminya hingga aku seperti ini, tapi belakangan aku berharap aku tak pernah memahaminya sehingga ia seperti itu.
Entahlah. Ketika seseorang menyelipkan bening dalam hatimu, lalu membuatnya bening pada akhirnya. Membiarkanmu bermain emosi, dan tak membuatmu bermain dalam realita.
Bening yang kukenal tanpa warna…
Meski tak ada warna kebaikan yang begitu putih…
Tapi bening tak memiliki keburukan yang begitu hitam,
Dan tak akan membiarkan dirinya menjadi abu-abu.
Ia cukup percaya diri dengan prinsipnya yang bening…
Ternyata. sesuatu yang terjadi cukup lama memang menjenuhkan. Aku bingung disela-sela kejenuhanku ini dapat kugunakan untuk apa. Apapun itu, yang jelas harus bermanfaat(Meskipun sedikit dan untuk diriku saja). Tak apa...
Sudah sekian lama aku bersamanya. Lebih dari itu, kami tak pernah berniat untuk berpisah untuk alasan apapun. Qery namanya, ia biasa memanggilku Riya. Meskipun kami berasal dari dimensi berbeda, tapi kami tak pernah tidak bertemu untuk alasan apapun.
Begitupun hari ini. Kami berniat untuk bertemu ditepi sungai dekat dengan saung yang dibuatkan Pakde. Tempat pertama kami bertemu. Di bawah rintik hujan, saat itu kulihat kakinya mengecipakan air tanpa menggerakannya. Aku terkesima, “Apa itu magic?” pikirku.
Akh, kala itu usiaku masihlah terlalu kecil untuk merasa khawatir akan apa yang terjadi. Tanpa perintah, aku begitu saja mendekatinya dan beertegur sapa. “Hay, siapa namamu!” ucapku dengan polosnya.
Anak itu menatapku dan menghentikan pergerakan air yang dimainkannya. Hanya saja, tatapan itu tidak begitu bersahabat dan terkesan tidak suka. Lalu saat hujan berhenti, aku sudah tak melihat keberadaannya.
“Tak kusangka. pertemuan yang tidak baik itu kini telah menjalin sebuah hubungan baik antara aku dan dia.” Pikirku lagi. Mendadak hujan berhenti, mendungpun tak tersisa. “Mengapa langit berubah cerah?” Kulihat ada lengkungan pelangi disela-sela awan yang berjalan.
“Kenapa Qery tidak datang…” Ini pertama kalinya ia melewatkan hujan saat ingin bertemu denganku. Jika hujan deras berlangsung sebentar, lalu ia berhenti begitu saja. Itu tanda ia tak bisa datang. Karena hanya hujan yang bisa menghubungkan duniaku dengan desa hujan.
“Apa yang terjadi.” Hari ini aku menelan kekecewaan.
Kulihat Pakde berjalan kearahku. “Riya, sedang apa kamu?” Pakde duduk tepat di sampingku.
“Qery berjanji akan menemuiku Pakde, tapi ternyata tidak!” Aku tertunduk. Hujan tak tentu kapan datangnya, mengapa ia bisa mengabaikan hujan yang sudah ada sebelumnya. Kapan lagi kami akan bertemu, atau kapan hujan akan datang.
“Apa dia sudah mengatakan sesuatu sebelumnya?” Pakde memandangku, tatapannya tak bisa kubohongi.
“Sudah Pakde, hanya saja ini pertama kalinya ia tidak menepati janji. Mungkin nanti baru dia memberikan alasannya.”
“Jika begitu, tunggulah. Hari itu pasti akan terjadi. Karena esok dan esoknya lagi hujan akan tetap kembali.” Pakde tersenyum, aku tersipu mendapatinya.
“Pakde benar. Tapi sesuatu yang tidak biasa tidaklah mudah untuk menerimanya, apapun itu kuharap kau baik-baik saja.” Gumamku dalam hati.
Aneh rasanya aku tak senang melihat sinar matahari datang, terlebih ada hiasan indah dari pelangi. Mungkin karena hal itu tidak lebih berarti dari apa yang aku harapkan datang ini.
◊◊◊
Hari berganti hari, musim panaspun berlalu. Harusnya hujan sudah datang. Tapi mengapa tidak begitu, hujan tak kembali lagi seperti cuaca yang sudah diramalkan. “Hem… ini gara-gara global worming. Cuaca tak menentu, hujan tak teratur. Siklusnya jadi berantakan. Menyebalkan!”
Selalu mendung, Guntur bersautan, sesekali kilat pun nampak. Tapi tak setetes hujanpun yang jatuh kepermukaan. Lama aku menunggu, hingga akhirnya kuputuskan untuk tidak memikirkannya.
Cuaca yang semula begitu cerah telah berubah menjadi panas. Butuh pendingin ruangan untuk membuatnya tetap sejuk. Sayang dirumah hanya ada kipas angin, itu tidak cukup untuk menghilangkan gerah yang sedang aku rasakan.
“Jangan selalu mengeluh…” Pakde memberiku kipas yang terbuat dari kertas.
“Syukuri apa yang ada, jangan mengeluh untuk apa yang tidak ada!” tuturnya.
“Bukannnya itu wajar Pakde. Jika kita mensyukuri apa yang tidak ada dan mengeluh untuk apa yang ada baru itu tidak boleh!” Aku tertawa melihat ekspresi Pakde saat mendapati kata-kataku.
“Anak-anak sekarang pintar yah?”
“Pintar apanya Pakde?”
“Pintar membalikan kata-kata…”
Aku tersenyum penuh arti. Pakde satu-satunya keluargaku, aku menghormatinya lebih dari apapun. Tapi bukan berarti kesedihanku hilang saat aku menghormatinya.
◊◊◊
Hari ini matahari terlihat lebih awal. Ia sungguh bersemangat mengawali hari lebih dari orang-orang yang seharusnya begitu. Tapi itu membuat aktifitas kami menjadi begitu berat. Cuaca panas membuat orang-orang cepat dehidrasi, merasa lelah, kepanasan, dan sebagainya.
Lebih baik orang-orang yang bersemangat dari pada matahari yang sudah terbit dipagi hari dengan energy maksimum.
Aku yang ikut bersemangat mulai melangkahkan kaki ke sekolah, hari ini tidak boleh seperti yang kemarin-kemarin. Lebih baik dan lebih baik lagi. “Cayo!” teriakku dalam hati.
Tik… tik… tik…
Hujan panas? “Riya!” Aku terhenti saat suara itu mendayu kesudut telingaku. Aku berusaha mencarinya, saat berbalik kudapati Qery di hadapanku.
“Aku hanya sebentar. Hujan tidak akan berlangsung lama, karena cuaca sebenarnya tidak mendung. Lagipula kamu akan berangkat sekolah!” Qery tertunduk.
“Kenapa. Kenapa hari itu tidak datang? Hari itu hujan berlangsung lebih lama dari hari ini. Tapi…” Heh… Kesedihan itu masih membayang. Memikirkan hal yang tak pernah terjadi sebelumnya membuatku sangat khawatir. Apakah ada alasan yang buruk?
“Aku akan menemuimu dihujan berikutnya, dengan waktu yang akan berlangsung lama! Saat itu aku akan mengatakan dan menjelaskannya.” Kulihat hujan berhenti. Pelangi datang menghiasi lagi, matahari terlihat begitu cerah, dan awan berlalu lalang tanpa warna abu-abunya.
Hanya hatiku yang tidak begitu. Qery menghilang, entah bayangannya masih ada atau tidak dalam pandanganku. terlalu singkat menemuinya dengan cara seperti itu. Menjalin hubungan dengan seseorang yang berbeda dari kebanyakan orang yang lainnya memang tidak mudah. Selalu ada yang berbeda dari segi baik ataupun tidaknya.
Karena dari awal sudah berniat untuk semangat, ada hal yang menyurutkannyapun harus tetap untuk berusaha semangat. “Cayo!” ucapku lagi dalam hati.
Usai sekolah mau tidak mau masalah itu terpikirkan lagi. Komunikasi seperti apa yang bisa aku lakukan dengannya. Dengan jarak seperti ini, perbedaan dimensi seperti ini. Tatapan tadi mengingatkanku dengan tatapan pertama kami bertemu, sangat tidak bersahabat.
Padahal setelah itu tatapannya berubah saat ia memintaku untuk menjadi temannya dulu. Tidakah ini aneh, setelah kami menjalin hubungan cukup lama. Tiba-tiba tatapan pertamanya itu kembali. “Ada apa?”
“Apa aku harus tinggal di bogor agar aku bisa bertemu dengannya?” Pikiranku menjadi konyol karena tak menemui titik terang untuk semua pemikiranku. Setidaknya aku harus mempunyai banyak waktu bersamanya untuk memperbaiki komunikasi kami. Bukankah bogor disebut kota hujan?
Akh, entahlah. Aku hanya ingin cepat berakhir dan aku bisa menjalin hubungan yang baik dengannya seperti semula.
“Assalamualaikum?”
“Waalaikum salam!”
“Loh. Riya kenapa?”
“Ini Pakde, aku lagi kesel.” Aku berlalu tanpa sungkeman.
“Loh, udah ucap salam ko enggak sungkeman.”
“Nyusul pakde!” Aku teriak dari dalam kamar. Aku bukannya tidak ingin, tapi sungguh! Aku lupa karena kesal.
“Anak ini…” Kulihat Pakde sempat geleng-geleng kepala tadi.
“Kenapa?” Tanya Pakde, saat aku mendekatinya untuk sungkeman yang tertunda.
“Em… Enggak Pakde, enggak apa-apa!” Aku menjawabnya malas, sambil mengambil piring untuk makan kami.
“Enggak apanya. Eanggak ada apa-apa kok ada apa-apa!” Pakde menggodaku sambil senyum-senyum.
“Apaan sih pakde. Ada apa-apa apanya?” Jawabku tambah kesal.
“Nah, tuh apa? Buat apa kesel kalo gak ada apa-apa?”
Kuhentikan aktifitasku. Aku terdiam, “Tautuh Qery…” Jawabku pelan. Pakdepun sama. Ia membiarkanku melanjutkan aktifitasku.
Selesei makan, aku bergegas ke saung yang ada disebelah kiri rumah. Jaraknya tidak begitu jauh, beberapa menit juga sudah sampai.
Tak kusadari Pakde ternyata mengikutiku. “Apa yang kamu pikirkan?” Tanya Pakde.
“Apa? Banyak pakde!”
“Siapa dia, tinggal dimana, bagaimana sifatnya, apa yang ada dalam hatinya, apa yang ada dipikirannya. Bahkan lebih dari itu!” …
Hatiku selalu sedih saat aku memikirkannya.
“Kamu tak menanyakannya?”
“Namanya Qery. Tinggal di desa hujan. Sifatnya seperti itu. Dia bilang hatinya begitu, dia juga berpikir itu katanya.”
“Lalu…”
“Tapi Pakde. Itu tidak cukup untuk mengenal seseorang. Bukan hanya karena ditanya lalu dia akan menjawab, atau saat kita mencari tau lalu kita akan tahu kebenarannya. Bukan itu…”
“Jadi…”
“Jika dia bisa mengatakan sesuatu yang tidak aku tanyakan, lalu memberitahu apa yang tidak aku cari tahu, dan aku tidak sekedar mengenalnya, tapi memahaminya. Seperti itu … “
“Keinginanmu melebihi apa yang dipikirkannya…” Pakde memberi jeda ditengah percakapan kami. Itu membiarkanku memikirkan apa yang baru dikatakannya.
“Tidak semua apa yang sedang kita pikirkan itu diterima oleh orang lain. Meskipun itu untuk seseorang yang kita sayangi. Setiap orang punya pikirannya sendiri-sendiri, ingat itu!”
“Heeeeeeeeh….!” Aku hanya mampu menghela napas panjang. “Begitupun, aku dan dia tidak akan bisa lebih baik!” Pikirku.
◊◊◊
“Aku kedinginan…”
“Maafkan aku!”
“Kenapa minta maaf?”
“Aku sadar. Aku yang selalu membuatmu menunggu. Aku yang selalu menempatkanmu dalam cuaca yang tidak baik. Dan aku yang membuatmu tidak menyukai cuaca cerah dan indahnya pelangi. Aku salah!”
“Kenapa bisa begitu? Kenapa harus selalu begitu? Mengapa aku yang harus mencocokan apapun denganmu, kenapa aku tak pernah melihatmu mencocokan apapun denganku?”
“Karena aku hanya bisa datang saat hujan. Karena aku tidak dapat menentukan kapan harus hujan, dan cuaca cerah yang indah tak mampu mempertemukanmu denganku.”
“Kau benar. Apa aku harus menyalahkanmu karena dalam posisi seperti itu? Apa aku harus menyalahkanku karena dalam posisi seperti ini? Atau aku harus menyalahkan posisi yang ada diantara aku dan kamu.”
“Aku tak tahu!”
“Lalu sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? Aku tau ini, aku tau itu, dan aku tau semua. Tapi apa, apa yang akan kamu katakan dari semuanya?”
“Penjelasan. Kata-kata ampuh, atau apa? Kenyataannya kita tak bisa bersama, itukan maksudnya! Sudahlah, katakan seperti biasa yang pernah kamu katakan sebelumnya. To the poit!” Entah di desa hujan diajarkan bahasa inggis atau tidak, yang jelas selama ini ia bisa memahami semua ucapanku dengan baik.
“Kisah putri dan pangerannya! Tidak bisakah hubungan kita berakhir indah?”
“Keindahan tidak selalu diawali dari keinginan yang terwujud, atau mimpi yang berubah jadi kenyataan. Tapi akhir adalah sesuatu yang terbukti hanya sebuah keinginan dan kenyataan yang hanya sekedar mimpi.”
Kami bersitegang untuk sesuatu yang tak pernah kita sadari. Hubungan itu telah mengalir jauh dari tempat pertama kali kita bersatu. Tak ada kata-kata yang mampu mengembalikan aliran itu ketempat semula, begitupun hati dan raga kami sudah dibatasi dimensi yang tak pernah dalam satu jangkauan saja.
Kita hanya akan tetap terhubung dalam hubungan yang tidak saling mendukung dan membutuhkan, seperti pasangan muda-mudi yang lainnya. Itu adalah misteri desa hujan yang dapat kutemui diantara rintik kesenduan yang menyesakan.
Entah mengapa Belakangan ini, hidup mulai terasa berat. Entah karena aku yang kurang bersemangat, atau memang karena aku merasa lelah. Mulanya ini adalah hal kecil. Tapi, belakangan terakhir aku mulai terganggu dengan semua ini. Aku muak dengan nasihat mereka, aku jera dengan sikap baik mereka. Semua itu adalah kepalsuan yang berusaha mereka jaga. Padahal aku cukup mengerti untuk dapat memahami masalah mereka.
Hari ini pun sama. Karena tidak mau mendengar hal-hal yang akan membuatku sakit, lagi-lagi aku melakukan hal yang sangat mengecewakan. Barang-barang kesayangan yang susah kudapatkan kini berakhir dengan berkeping-keping. Apa pun yang kupegang pasti selalu seperti itu. Tak peduli lagi itu sesuatu yang penting atau tidak.
“Dee. Apa ada masalah?” tanya Kaka di sampingku. Aku masih diam, menyimpan rapat semua rasa dalam hatiku. Padahal, jika aku mau. Tentu aku pun bisa melampiaskannya padanya, atau mungkin aku bisa berteriak dan memakinya.
“Aku dengar…” Kaka tak berani melanjutkan ceritanya. Ia tau aku seperti ini juga karena itu. Aku hanya bosan untuk menjawab semua pertanyaan mulut yang meminta jawaban dariku. Ada apa? Kenapa? Akh, aku bahkan tidak tahu ada apa dan kenapa.
“Aku ingin sendiri.” jawabku pelan.
“Aku pikir, kamu butuh teman!” tuturnya. Mungkin ia sedang khawatir kepadaku.
“Aku baik-baik saja Ka . . . ” Kaka beranjak dari tempatnya semula, menepuk bahuku sebentar lalu berbalik meninggalkanku.
“Aku akan selalu ada jika kamu butuh!” katanya.
Seperginya Kaka kuhembuskan nafas kuat-kuat. Lega rasanya dapat sendiri dalam ketidaknyamanan itu. Setidaknya aku tak akan diganggu dengan beberapa pembicaraan yang akan mengingatkanku tentang kejadian itu.
Meskipun aku terlihat lari dari masalah. Sungguh! Ini adalah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk diriku sendiri dalam situasi seperti ini.
Kulihat jam menunjukan pukul 10.07 PM. Jika mereka tak menemukanku di rumah, mereka pasti akan membuat keributan di luar rumah.
Dengan perasaan kesal, kuambil handphone dan mencoba menghubungi orang di rumah. Setidaknya, biarkan mereka tau aku dimana.
“Halo Mam. Aku menginap dirumah Ree. Sudah dulu yah, Mmuah!” Segera kuakhiri agar ia tak berbicara banyak.
“Malam ini aku benar-benar ingin sendiri.” gumamku.
Tak terasa, suasana malam yang hening dapat sedikit menghiburku. Hanya saja! Aku lupa, aku belum makan sejak siang. Itu membuatku sedikit kelaparan.
Aku tersenyum sendiri. “Bagaimana aku bisa merasa lapar dalam keadaan sedih?” Heh… meskipun begitu, aku juga tidak akan makan. Sudah cukup larut untuk toko makanan yang buka.
Cuacanya bagus. Ada banyak bintang dimana-mana, bulanpun benderang dengan sempurna. Suasana taman jadi tidak begitu menyeramkan. Sekarang aku duduk bersender pada bangku panjang. Kulihat ada kunang-kunang dibagian yang paling gelap. Lampu disekitarnya temaram, menimbulkan suasana ramah dan hangat.
“Kenapa kalian tak pernah memberitahuku?” …
“Kenapa kalian tak pernah mau berbicara padaku?” …
“Mengapa kalian menyimpulkan tentang diriku, tanpa bertanya, mengapa?” …
Hatiku terenyuh. Aku bingung, ingin marah atau harus marah. Aku tak menyangka mereka mati-matian menyelamatkan hubungan mereka untuku, tanpa memikirkan perasaan mereka sendiri.
Aku tahu. Apapun yang terjadi, mereka selalu ingin yang terbaik untuku. Aku tau, seandainya mereka bicara pun, aku pasti akan marah dan meminta mereka untuk tetap bersama. Aku tau.
Hatiku sakit, sangat sakit. Pada akhirnya mereka tidak bisa menunjukan hubungn baik itu di depanku. Mereka memang sudah tidak saling mencintai. Bagaimana mungkin mereka bisa hidup bersama karena hal yang lain, meski untuk aku sekalipun.
Saat berurai air mata, aku berharap ada sebuah keajaiban seperti dalam cerita dongeng. Setidaknya untuk malam ini, aku berharap ada hal yang tak pernah ada dalam dunia nyata. Agar aku tak menemukan kedua orang tuaku bercerai dan menemukan cinta untuk mereka kembali.
Bibirku merekah penuh harap. Meski kosong aku akan tetap menikmati harapanku malam ini.
“Dee…”
“Eh…” Kubuka mataku, entah sejak kapan aku tertidur. Tiba-tiba aku sudah terbangun.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya.
“Yah! Aku hanya merasa pusing.” Jawabku sambil memijat-mijat kening sebelah kanan.
“Matamu sembab. Kubawakan air hangat dan potongan mentimun. Pakailah, itu akan menyegarkan matamu.” Tuturnya lembut.
“Siapa kamu? Darimana kamu tau namaku?” tanyaku cepat setelah sadar aku tak mengenalinya dan tempatku terbaring.
“Aku Jack. Namamu ada di samping kantung seragammu!” Jawabnya ramah, masih mempertahankan senyumnya.
“Beraninya kau berada ditempat itu malam-malam begini.” Katanya. Sambil beranjak untuk memindahkan makanan dari meja kearahku.
“Apa kamu kelaparan?” tanyanya.
“Malam? Aku dimana? Kenapa kamu bisa membawaku?” tanyaku masih heran, meski pernah mendapat jawabannya.
“Ini dunia malam. Jelas ada dimalam hari, Aku melihatmu terus berdoa sambil menangis. Aku minta ijin ibu agar dapat membawamu kemari. Aku harap kamu tidak seperti itu lagi.” Jelasnya lagi. Kali ini ia beranjak mendekati pintu.
“Mau kemana?”
“Aku harap kamu dapat merasa nyaman dan tenang sementara ini.” Tuturnya sambil menutup pintu.
Kulihat ruangannya tampak indah. Ranjangnya seperti yang kulihat dalam filem Princess Diaries. Lampu latarnya jauh lebih keren dari itu. Ada sofa panjang di dalam kamarnya, ada kulkas kecil dan tv yang cukup besar. Ruangannya selebar ruang tamuku. Aku rasa ia anak orang berada.
“Oh iya. Aku lupa berterima kasih!” Karena merasa tidak enak, kuputuskan untuk keluar mencarinya. Setidaknya aku harus menunjukan sopan santunku untuk seseorang yang sudah bersedia membantuku.
Saat kubuka pintu. Wush… Angin berhembus cukup kencang, badanku menggigil. “Mengapa suhunya jadi sedingin ini,” pikirku.
“Jack, Jack, dimana kamu?” Aku celingukan dibuatnya. Disisi kiri dan kananku terlihat lorong yang panjang. Diujungnya tak kulihat sebuah sinar, jika kususuri. Aku takut akan tersesat. Saat ketakutan menjalariku akhirnya kuurungkan niatku untuk menemuinya.
Badanku terasa nyaman ditidurkan dikasur seempuk itu. Hangat, tapi tidak membuatku gerah. Benar-benar membuatku relax.
Tidak berlama-lama, akupun memejamkan mataku cepat-cepat. Meskipun sayang dengan yang baru aku dapat, aku tidak lupa dengan kehidupanku yang sebelumnya.
“Dee…”
“Eh…” Kulihat jack sudah memandangiku.
“Oh. Kamu.” Aku sedikit kaku. Belum pernah ada laki-laki melihatku sedang tertidur, apa lagi saat bangun tidur.
“Aku lihat kamu sudah baik-baik saja!” tuturnya, sambil membawakan makanan yang sempat ditaruhnya di meja.
“Oya. Semalam aku ingin menemuimu. Aku ingin mengucapkan “Terima Kasih!” kataku malu-malu. Lagi-lagi ia hanya menawarkan sebuah senyuman.
“Jangan cari aku lagi. Karena aku yang akan datang menemuimu!” Eh,,, aku terkesima dengan jawabannya. Sekaligus terpana saat memandang wajahnya. Aku pun tersipu.
Jack lagi-lagi beranjak setelah memberikanku makan. Tapi kali ini aku merasa langkangnya terlalu jauh, saat ingin kupanggil dan memintanya untuk tinggal. “Jangan sedih lagi yah?” pintanya pelan. Lalu ia menutup pintu itu untuk kedua kalinya.
Heh… ini rumahnya, jelas aku tak bisa melarang kemanapun ia ingin berada. Tapi apa yang harus aku lakukan hari ini. Mengapa ia tidak mengajaku keluar.
Kulihat bajuku berganti. Piama yang kukenakan sejak aku berada disini entah ada di mana. “Aneh!” gumamku. Saat kurapikan tempat tidur, dan membuka gorden. Sejenak aku menatap heran. “Mengapa masih malam?”
Bintang-bintang diatap langit masih sama seperti bintang-bintang yang kupandangi semalam, begitupun dengan bulan dan kunang-kunang. Saat kuturunkan pandanganku dari apa yang pernah kulihat, saat itupun apa yang baru kulihat hilang.
Ruangan itu kini tinggal sebuah taman dekat tempatku tinggal. “Heh!” Aku terduduk. Menelan ludah. Badanku terasa dingin. Meskipun masih terlihat indah, suasananya kini jadi sangat menyeramkan.
Akhirnya kutinggalkan tempat itu dengan segera.
Esok harinya aku kembali bersama Kaka, sahabatku sejak kecil. Ia ingin aku menunjukan apa yang sudah aku ceritakan padanya. Sejak itu aku tak memikirkan masalah yang selama ini ada, rasanya kejadian itu memberiku waktu untuk menyita seluruh perhatianku.
Tapi Nihil, esok dan esoknya lagi dunia malam yang indah itu tak berhasil kutemui. Kaka sempat kecewa, mungkin dipikirannya aku sedang berbohong atau mengarang sesuatu untuk membahagiakan diriku sendiri. Meskipun begitu, aku tak melihat kemarahan itu. Kaka berusaha menjadi sahabat yang baik yang mau mendengarkanku.
“Maaf Ka. Aku tak dapat membuktikannya!” Kaka tersenyum.
“Simpan dalam hatimu.” Katanya, “Jika itu benar simpanlah terus dalam hatimu…” Tambahnya.
Aku lega ia berpikir seperti itu. Karena bagaimanapun aku juga tidak sedang berbohong! Karena itu aku juga merasa sedih. Mengapa dunia malam yang seindah itu hanya ada untuk sementara, untuk waktu yang tidak lama, dan tak bisa kutemui lagi hal-hal seperti itu.
Karena masih tak ada keajaiban apapun. Aku dan Kaka membicarakan apa yang sempat tidak kami bicarakan.
“Apa kamu baik-baik saja?” Tanya Kaka membuka pembicaraan.
“Lumayan, rasanya mulai membaik!” jawabku simpul dengan perasaan yang nyaman.
“Maaf yah Kak, hari itu aku…”
“Sudahlah. Aku tahu meski kau tak mencoba untuk membicarakannya. Lagipula ini bukan masalah yang bisa kamu ceritakan kepada siapa saja, karena ini menyangkut keluargamu.” Terang Kaka cukup bijak.
“Hanya saja aku khawatir, hal itu membuatmu tidak bisa melakukan aktifitas seperti biasa saat masalah itu tidak ada!” Kulihat pandangan Kaka menerawang. Kupegang tangannya, “Aku janji akan tetap baik-baik saja! Apapun yang terjadi dan apapun yang akan terjadi nanti.”
Kaka tersenyum denganku. “Apapun keputusan yang akan mereka buat, itu adalah urusan mereka. Aku hanya sebuah pertimbangan di dalamnya. Meskipun cerai bukan keputusan yang baik untuk menyeleseikan masalah. Tapi keputusan itu juga adalah yang terbaik yang bisa mereka pilih.” Pikirku.
Hari itu berlalu tanpa ada dunia malam yang indah. Aku dan Kaka pulang membawa kekecewaan plus harapan. Jadi kami tak menyesal untuk apapun.
Saat malam menjelang. Aku kembali berharap untuk sesuatu hal yang pernah tidak terkabulkan. Hasilnya, mimpiku membawaku kembali kesana.
“Aku tak berbohong untuk apapun yang pernah aku katakan. Karena aku sudah menemuimu bukan.” Kulihat Jack ditempat yang sama, situasi yang sama, dan dunia malam yang indah prcis seperti semula.
Aku hanya memberi senyum membenarkan kalimatnya, meski aku tak pernah tau bagaimana dunia malam yang indah itu sesuangguhnya seperti apa.
Bunga itu pemberian pacar khayalan, yang hadirnya saat aku sedang menginginkannya. Tapi belakangan aku tidak lagi ingin ia ada, hanya bunga itu yang membuatku merasa cukup.
Laki-laki itu memberi nama Alter untuk bunganya. Jenis bunga apa sampai ia sendiri yang tau dari mana asalnya. Aku hanya menyebutnya dengan nama yang sama. Arti lain dari yang lain dalam bahasa latin.
“Mungkin dia penemunya. Karena hanya sang penemu yang punya hak atas apapun yang akan dipatenkannnya, termasuk namanya!” pikirku, memandangi keindahan langka.
Dia bilang, “Tidak akan menyebarluaskan keberadaan bunga tersebut. Bunga itu khusus diberikan kepadaku, dan tidak akan ada orang yang bisa melihatnya tanpa seijinku!” Wah bahagia sekali aku, responku waktu itu.
Entahlah, meskipun begitu tetap selalu ada yang kurang saat itu diberikan untuk menggantikan. “Akh… aku ini, berpikir apa?”
Tampaknya bunga itu sedang membuatku ingat kepadanya, mirip dandelion yang ada di samping rumah. Tapi, ini berbeda. Alter mampu me-regeneration dirinya, sehingga saat bunganya berguguran, esok dan esoknya lagi bunga itu akan ada kembali.
Dari dulu ia ingin menciptakan sebuah keajaiban untuku. Agar aku bisa mempercayai ucapannya, bahwa, “Selalu ada harapan untuk banyak hal.”
Aku mengakuinya, ia benar. Bunga Alter ini salah satunya. Tapi dari sekian kebenaran, selalu ada satu atau dua pengecualian. Termasuk tentangnya.
Waktu telah menunjukan ketidaksetaraan antara harapan maupun kenyataan, selalu terdapat dinding pembatas untuk keduanya. Padahal jelas-jelas kenyataan itu bisa diwujudkan dengan keinginannya. Karena yang kuingat action adalah sebab untuk akibat.
“Jika dia berpikir hal yang sama, tentu dia juga akan mengerti apa yang sedang aku pikirkan sekarang.” Bunganya satu-demi satu jatuh dihembus angin. Seperti salju lokal. Alter tampak seperti selalu bisa hidup. Jika ia mampu me-regeneration dirinya, apa dia tidak akan mati, dan jadi satu satunya hal yang kekal.
“Akh. Tak ada kekekalan yang seperti itu! Semua punya umur masing-masing. Apa harapan dan mimpi punya umur tententu?” Kukumpulkan bunga-bunga yang tidak terbawa angin. Itu adalah bunga terdahulu dari bunga yang sekarang ada. Aku sedang menyamakan harapan dan mimpiku juga kurang lebih seperti itu.
“Ternyata sampai kapanpun. Ia akan tetap jadi pacar khayalanku…!”
Kulihat kepulan awan membuat banyak bentuk. Aku sekedar menerka-nerka mengapa awan pun begitu. Padahal awan hanya berlalu-lalang tanpa ada tujuan apa-apa. Sungguh tindakan tanpa apa-apa.
Kualihkan perhatianku lagi. Menuju frame sebuah foto, “Ini juga hadiah darinya. Dia memberikannya agar aku bisa menempatkan foto di dalamnya, “siapapun itu harus orang yang kamu sayang.” Katanya.
“Jelas-jelas dia melihat orang itu adalah dirinya, tapi dia tak pernah mampu mengartikannya. Akh.. dia berniat untuk tidak perduli atau apa?”
Ketenanganku terusik, bayangannya bagai hantu. Selalu mengikuti dan menimbulkan rasa takut untuk sesuatu tertentu. Selama ini aku tidak pernah cemburu. Tapi, kelak hal itu pasti terjadi. Kemungkinan selalu ada meski presentasinya tidak menentu.
Alter hanya satu bunga dengan satu batang yang kutanam dalam pot. Aku meletakannya percis dekat lampu yang bersender di samping jendela. Setiap hari kubiarkan jendela itu terbuka untuk memberi kehidupan alam padanya. Dari yang kubaca, matahari adalah sumber kehidupan paling penting untuk tumbuhan dan yang lainnya.
Jika di analogikan, ia juga seperti itu. Sumber kehidupan terpenting dalam hatiku. Tapi jarak antara aku dengannya lebih jauh dari itu. Mengapa sesuatu selalu bisa di jadikan hal seperti dirinya. Tapi, mengapa tidak dengan sesuatu yang dapat membuat semua itu sama dengan hal yang ada dalam hatiku.
Ketidak adilan itu benar, bahkan terlihat lebih logis dari keadilan itu sendiri. Membayangkannya saja aku yang terkesan tidak masuk akal. Menginginkan semua hal bisa terjadi sesuai kehendakku, tentu itu mustahil.
“Mungkin itu juga satu filosofi yang bisa ku angkat dari sebuah bunga yang pernah ditemukannya.” Bunga yang sebelumnya tidak pernah ada, dan tak terpikirkan sedikitpun akan ada. Telah menunjukan keberadannya di depan mataku. Tapi keberadaannya satu dari banyak hal yang mustahil, karena spesiesnya tidak diketahui. Apa itu evolusi bunga dendalion, yaitu jenis tanaman baru dari gen yang sama, atau ini memang jenis tanaman bunga yang baru.
“Aku tidak tahu. Haruskah aku membiarkannya untuk diteliti lebih lanjut, lalu aku akan kehilangannya. Karena status kepemilikannya akan berpindah tangan. Tentu aku tak bisa membiarkannya,” aku memikirkan hal lain.
Jika aku mencari tahu lebih lanjut tentangnya, apa itu akan berpengaruh untuk apapun. Ia tau isi hatiku, dan tau tentang itu. Apa yang bisa aku lakukan saat ia ingin tetap menjadi seperti itu.
Apa dengan marah, bersedih, dan hal lain ia akan tergugah, tersentuh untuk memberi sebuah pernyataan jelas, aku tak yakin dia akan melakukannya. Pengecualian itu salah satu yang ada padanya. MENYEBALKAN.
“Alter. Jika engkau hidup, tentu aku tidak akan pusing-pusing bertanya dan mencari tahu banyak hal kepada orang lain. Cukup berbicara denganmu, memintamu untuk menjelaskan dirimu sendiri. Mahluk seperti apa dirimu…”
Aku tak tahu, apa ada yang mendengarkannya atau tidak, aku sedang berbicara kepada benda tanpa timbal-balik yang jelas.
Alter hanya terlihat bergoyang-goyang bagai ilalang yang diam. “Ck … ck … ck … Alter saja bergerak. Bagai mana hatinya bisa tak bergetar…”
Kumasukan bunga yang selesei kukumpulkan itu kedalam satu wadah. Akan kutaruh bunga yang gugur lainnya ke dalam sana. Menjadi sebuah kenangan, bahwa Alter pernah mempunyai bunga yang digugurkan setelah bunga baru itu akan digantikan.
Kenangan manis yang selalu bisa kuibaratkan sebagai kenangan pahit yang pernah aku rasakan.
“Meskipun engkau selalu begitu, engkau sudah tahu . . . Kuserahkan keputusan ditanganmu…”
“Tapi, Alter akan tetap mengganti bunganya dengan yang baru…!”