BENING

Senin, 31 Oktober 2011


BENING
Bening…
Seperti namamu, Bening…
Bening…
Seperti cintamu, Bening…
Bening…
Seperti kepergianmu, Bening…

Esok yang mencolok. Tak cocok untuk warna perangaimu yang tanpa warna. Itu sangat tidak wajar. Tapi aku mendapatimu bertindak memperlihatkannya.
Kesederhanaan milikmu hilang dalam pandanganku, karena kau tak sederhana seperti yang kulihat. Kau ciptakan bening dalam hatiku, lalu kau buat bening pada akhirnya.
Aku kecewa. Sangat! Tapi apa itu dapat menghilangkan bekas dari bening yang kau ralat. Bening harusnya tak membekas, bening seharusnya tak berbercak. Aku tak percaya!

Peluh yang tumpah saat ini tak berarti apa-apa. Kekhawatiranku rupanya tak berguna. Aku mendapatinya lengkap dalam pelukannya.
Dalam dinginnya udara, dikeheningan senja yang sendu. Kini Nampak sepesang mahluk yang tak pernah kupikirkan, telah bersama.
Seakan tulangku akan rontok, tubuhku ingin runtuh, dan nyawaku sesaat melayang karena pikirannya. Tak bisa kubayangkan, sosok itu berdua dihadapanku tanpa rasa bersalah dan iba.
Aku merunduk. Mengetahui aku kalah, aku kehilangan, dan aku terlalu terluka untuk sekedar kecewa. Matakupun bening, hampir menyerupai anak sungai yang siap mengalir. Tapi kutahan. Aku tak mau memperlihatkan kehancuranku, aku tak sudi membiarkannya tahu.
“Aku mencintaimu, dan aku melihat kau tidak mencintaiku.” Itu … itu adalah hal yang tak pernah bisa aku lepas dalam pedihku. Satu-satunya alasan aku masih memiliki kepedihan seperti itu.
Raisa masih duduk dalam diamnya. Tahu ataupun tidak itu tidak perlu. Tapi, bayangan itu berkelebat berkali-kali dalam ingatanku.
“Aku ingin tidak memaafkannya seumur hidupku, sungguh!” umpatku dalam hati.
Sore itu aku dan Raisa berniat melewati hari dengan membawa kebahagiaan. Sunset yang masih kami pandang memang menghilang dengan sempurna. Sayang, kebahagiaankupun lewat, dan kesedihan mulai membayang.
Aku menelan kekecewaan itu dengan senyum kecut. Aku ingin menangis, tapi aku tak mempercayai tangisanku pada teman yang ada disampingku itu. Aku sedang mencurigainya, dan berprasangka buruk padanya. Akhirnya, tangisan itu kusimpan rapat dalam diam.
“Raisa. Aku ingin pulang…” Ia memperhatikanku. Entah tatapan seperti apa yang tersirat dalam rautnya, aku tak menatapnya. Aku takut, jika memaksakan untuk memandangnya hatiku akan semakin terluka. Aku tak mau ia tahu tentang hatiku sekarang sampai aku yakin dengan apa yang aku rasakan.
Benar. Raisa hanya mengikuti kemauanku untuk pulang tanpa bertanya apa-apa. Aku sempat menanyakan padanya, seseorang yang bersama Bening itu siapa? Dan benar, Raisa beranggapan sama dengan apa yang aku pikirkan. Ia adalah mantannya.
Tapi kesedihanku tak berakhir dengan situasi itu. Tak ada ekspresi yang bisa aku artikan dari apa yang aku tangkap diwajahnya. Hanya respon itu saja, dan cukup menambah luka yang sudah jelas tertera.
Esok. Kata-kata yang pernah dibawa Raisa akan berubah, dari apa yang ia dengar menjadi apa yang aku lihat.
Aku ingin membayangkan itu tidak benar, aku berharap aku bisa membayangkan hal yang lebih baik dari itu. Tapia apa dayaku untuk mengubah ketentuannya, ketentuanku, dengan ketentuan Tuhan. Jika hidupku ini miliku, maka hidupnya bukan miliku. Begitupun kehidupan yang sudah berjalan adalah milik-Nya.
Aku menyesal. Tidak untuk melepaskannya, atau tidak membiarkannya. Tapi aku menyesal telah mempercayainya saat melepaskan, dan membiarkannya.
Seperti yang kukatakan, ‘ia tak sederhana seperti yang kulihat’. Aku sempat berharap terlalu memahaminya hingga aku seperti ini, tapi belakangan aku berharap aku tak pernah memahaminya sehingga ia seperti itu.
Entahlah. Ketika seseorang menyelipkan bening dalam hatimu, lalu membuatnya bening pada akhirnya. Membiarkanmu bermain emosi, dan tak membuatmu bermain dalam realita.

Bening yang kukenal tanpa warna…
Meski tak ada warna kebaikan yang begitu putih…
Tapi bening tak memiliki keburukan yang begitu hitam,
Dan tak akan membiarkan dirinya menjadi abu-abu.
Ia cukup percaya diri dengan prinsipnya yang bening…

Aku telah kecewa.

Lentera EmJe.

0 koment: