Saat kutata hatiku dalam diam, aku mendapati bayanganmu. Hatiku nyaris teriris saat aku mengakui betapa berat hatiku untuk menghapusmu dari ingatanku.
“Aku tetap ingin mengingatmu!” rajuku.
Ia hanya berusaha, seiring berjalannya waktu ia terlihat semakin gusar. Apakah yang sedang dipikirkannya? Tanyaku dalam hati.
“Aura… Percayalah. Mengingatku bukan pilihan yang tepat.”
“Tapi kau ada. Meski hanya di dalam mimpi…” Ekspresi itu jelas tertera. Berupa kegelisahan dan bingung yang bercampur aduk. Aku menebaknya, dan ia selalu bisa menghindari semuanya.
“Aura, pergilah!”
Suara itu menjadi samar. Aku tak mengerti, apakah ia mengusirku hingga semua menjadi gelap dan ah aku terbangun seketika.
“Siapa kamu? Aku yakin ada seseorang di sana!” Ini ketiga kalinya aku terbangun dalam keadaan linglung. Aku meyakini sesuatu yang berarti, tapi entah itu apa. Selalu ada hal yang tertinggal dan hilang saat aku terbangun dalam mimpi.
“Ka.” Sapaku pada Kak Laura saat sarapan. Kak Laura hanya menjawab tanpa kata, “Hem..” Mungkin maksudnya apa?
“Apa Kakak pernah bermimpi. Terus Kakak lupa saat Kakak terbangun, tapi apa yang Kakak mimpiin itu berarti dan ingin sekali mengingatnya?” tanyaku panjang lebar, aku menunggu dengan tidak sabar.
“Kenapa?” Kak Laura sempat menatapku heran, kemudian bersikap tak acuh.
“Aku juga ingin mengingat mimpiku malam ini…” jawabku lirih.
“Oh itu. Apa sebelumnya kamu tidak pernah mengalaminya?” tanya Kak Laura balik.
“Gak Kak!”
“Kalo Kakak sering. Jangan dipikirin, mimpi itu semu… De!”
“Tapi…” Aku ingin segera menepisnya. Membuat sebuah pengakuan, betapa jelas apa yang ada di dalamnya. Tapi segera ku hindarkan. Kak Laura akan ceramah jika mendengarnya.
“Aku selesei.” Ucapku setelah menghabiskan nasgor bikinan Mama.
“Ma, Kak. Aku pergi dulu yah?” Cuph, cuph. Aku sempat berpamitan dengan mereka. Papa sudah pergi sebelum aku keluar dari kamar.
Kemudian, sesampainya di sekolah. Aku masih termenung, mengharapkan sesuatu berkelebat dalam ingatanku. Aku benar-benar mengaduk-aduk memoriku untuk membuatnya ada.
“Aura. Sedang apa kau?”
“Tidak!” jawabku singkat. Aku rasa Cila mengira-ngira sahabatnya ini kenapa?
“Ko bengong! Tumben.” Ucapnya lagi.
“Cil Aku mau tanya! Apa Cila pernah bermimpi. Terus Cila lupa waktu bangun, tapi apa yang Cila mimpiin itu berarti dan pengen banget inget sama itu semua.”
“Pernah. Itu kan wajar, mimpi itu adanya di alam bawah sadar kita.” Jelas Cila. Ia memagut bibirnya sendiri, ragu dengan pertanyaanku,
“Ada apa?” tanyanya.
“Ah… Gak.”
Aku kembali mengurungkan niatku untuk bercerita. Kenapa rasanya aku yang aneh ya? Aku berargumen.
Mimpi itu… mengapa mimpi itu begitu kuat dalam hatiku, sesuatu yang sudah lama kutunggu, dan hari itu telah datang melalui mimpi.
Sepulang sekolah, aku kembali sendiri. Mengingat apa yang sebelumnya aku pikirkan sebelum tidur, juga apa yang aku lakukan. Berharap mendapat gambaran dari itu. Ternyata tidak. Aku tak menemukan setitik terang apapun tentang bayangannya.
Aku kecewa. Sangat!
Malampun menyambut, aku bergegas untuk tidur lebih awal. Bersiap, jika esok aku tak dapat mengingatnya kembali. Aku akan bersamanya untuk waktu yang lebih lama dalam mimpi.
Mimpi itu pun berlangsung, ternyata ia adalah Egi. Cowo cool yang cute yang mencuri hatiku dari dalam mimpi, di situ ia menyambut perasaanku. Kami jadian dan…
“Hari ini aku berusaha untuk mengingatmu, kau tahu… aku mulai bisa mengingat perasaanku padamu!” ucapku jujur.
“Aura… Kumohon. Ini akan sulit untuku! Mengingatku sama saja dengan tidak mengingat seseorang.” Egi berkata-kata seolah ia tak pernah ada, mengingatnya sama artinya dengan tetap mengingat sesuatu tapi sesuatu yang tidak pernah nyata(Ada).
Aku mencoba menerimanya, tapi linangan air mataku yang meluncur tiba-tiba memberi jawaban kepadanya. Itu sulit, dan aku tak bisa menerimanya.
“Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku mencintai seseorang yang tak pernah ada, bahkan sesuatu yang ada hanya karena aku yang memikirkannya. Mimpi ini hanya sekedar keinginanku, bukan juga keinginanmu.” Aku mencoba menarik diriku, saat terbangun air mataku masih berada di sudut mataku. Mimpi itu nyata(Aku benar-benar bermimpi), begitupun tangisannya(benar-benar ada).
Tapi Egi, cowo yang seperti aku bayangkan akan tetap hilang dalam kenyataanku. Karena ia hanya akan abadi dalam dunia mimpi.
Aku melihat jam menunjukan pkl 01.00. Aku takut jika aku melihatnya lagi, esok aku akan lupa dan kembali lagi mencari-cari dirinya. Aku takut tak lagi bisa terbangun dari dalam mimpi dan tetap membawanya dalam dunia nyata.
Waktu berlalu, aku mungkin telah terlelap. Bayangan itu tak kembali, meski aku telah mengingatnya sekarang.
“De. Kau baik-baik saja!” Tanya Kak Laura, aku hanya mengangguk.
“Ada apa? Apa ada masalah?” Tanyanya Lagi. Kali ini Mama ikut berkomentar.
“Ada apa sayang… Pagi-pagi udah cemberut. Disodorkannya beberapa roti gandum dan segelas susu segar.
“Gak Ma aku baik-baik aja kok!” Ku habiskan susuku sekali teguk. Dan membawa roti gandum untuk dimakan disela perjalanan saja.
“Ma, Ka. Aku pergi dulu yah!” Cuph, cuph. Ritual ini selalu dilakukan sebelum pergi ke sekolah.
“Loh, lagi-lagi kamu bengong. Ngelamunin apa sih?” Kali ini Cila berusaha mendapat jawaban.
“Gak!” Jawabku sekenanya.
“Ayolah Ra, Sama Cila masa gak mau cerita.” Cila masih berusaha.
“Bukan gilu Cil. Sebenarnya ini gak terlalu penting.” Aku mengelak.
“Gak penting sampe dipikirin kayak gini. Udah lah, cerirta aja biar lega!” Cila menatapku lekat, mencari kejujuran di dalamnya.
“Apa soal mimpi yang belakangan ini mengganggumu?” Tebaknya.
“Gak ganggu Cila!” Ralatku.
“Ya pokoknya itulah. Bener tentang itu…” Tanyanya untuk meyakinkan.
Aku mengangguk, berusaha membagi bebanku. “Aku mencintai Egi Cil, meskipun kami Cuma tiga hari bertemu. Aku merasa begitu!” Aku menangis dihadapan Cila yang masih takjub dengan apa yang baru aku katakan.
“Lo gila ya Ra. Egi Cuma mimpi Aura…” Cila mencoba meyakinkanku.
“Aku tahu, itu sebabnya aku merasa sedih!”
Cila tak berkomentar, ia berusaha menenangkanku. Aku tak peduli apa yang dipikirannya, aku sedang mencoba untuk mengutarakan apa yang ada dalam hatiku.
Bel berbunyi, ini pertama kalinya aku berusaha melupakan Egi dari ingatanku. Menyadari ia hanya seseorang yang berasal dari mimpi membuatku berpikir hal logis, Egi selamanya akan ada di dalam sebuah mimpi.
“Pagi Anak-Anak!” Suara Bu Salma menyapu ruangan, mengundang perhatian. Dari balik badannya aku mampu melihat seseorang dis ana. Seseorang yang cool dan cute, seseorang yang pernah mengatakan cintanya padaku.
“Egi?” Ucapku seketika, melesat ketelinga seluruh orang yang ada di dalamnya.
“Apa kau mengenalnya Aura?” Tanya Bu Salma. Menyadari nama anak yang dibawanya disebutkan namanya.
“E… ia, eh…. Tidak!” Mukaku padam saat lelaki itu tersenyum memandangiku, apa aku aneh dipikirannya saat itu.
“Benar Anak-anak. Egi ini anak baru yang akan belajar di kelas ini. Ayo Egi, perkenalkan dirimu!” Ucapnya pada Egi yang masih memandangiku.
“Ya, Bu… Terima kasih. Teman-teman perkenalkan nama saya Egi Prayoga, panggil saja dengan nama Egi seperti yang di ucapkan nona tadi. Saya pindahan dari semarang. Mohon kerja samanya.” Sekilas tentang perkenalannya. Aku sendiri tidak tahu Egi dalam mimpiku orang mana, sekolah dimana, kelas berapa. Egi di hadapanku terasa lebih jelas dari mimpiku.
Setelah jam sekolah berakhir. Egi mendekatiku, menyapaku dengan sopan. “Maaf kita belum berkenalan.” Diulurkannya tanngan kananya, aku menyambutnya dengan senang hati.
“Kenalkan aku Aura. Maaf soal tadi, aku refleks mengucapkannya!” jujur aku mengucapkannya malu-malu. Perasaanku masih sama, aku masih mencintai sosok Egi dari wujud apapun, terlebih kini ia bukan sekedar mimpiku semata. Aku membatin.
“Gak papa ko Ra. Tapi… apa kau mengenalku?” tanyanya masih ragu.
“Ah, tidak. Kamu mirip seseorang yang kukenal dengan nama yang sama aja!” Aku tak berniat mengungkapkan isi hatiku dihari pertama kami bertemu, di dalam mimpi ia yang mengutarakan perasaannya padaku. Lagi pula ia akan menganggapku aneh bisa mencintai seseorang hanya dengan melihatnya dalam mimpi.
Kamipun berteman, bahkan semakin dekat. Dari fisik tak di ragukan, ia benar-benar Egi yang pernah aku bayangkan. Dari sifat, dan tingkah lakunya selama denganku juga menunjukan hal yang sama, aku benar-benar bahagia mendapatinya.
Malampun datang, saat-saat yang bersejarah untuku.
“Aku dapat mengingatmu Gi…” Tuturku congkak. Egi tersenyum mendapatinya.
“Dan aku tidak menyesal telah mengingatmu, meski kau berawal dari sebuah mimpi.” Lagi-lagi Egi tak menampakan penolakan atau tidak sependapat.
“Aura. Entah itu mimpi apapun, mimpi akan indah jika terankum dalam dunia nyata.”
“Karena mimpi terindah adalah saat mimpi itu berrubah jadi sebuah kenyataan.” Aku menambahkan.
Senyumnya masih lekat dalam ingatanku, baik dalam mimpi maupun dalam dunia nyata, Aku mencintai Egi dari mana dan dimana pun ia berada.
0 koment:
Posting Komentar