Saat kutata hatiku dalam diam, aku mendapati bayanganmu. Hatiku nyaris teriris saat aku mengakui betapa berat hatiku untuk menghapusmu dari ingatanku.
“Aku tetap ingin mengingatmu!” rajuku.
Ia hanya berusaha, seiring berjalannya waktu ia terlihat semakin gusar. Apakah yang sedang dipikirkannya? Tanyaku dalam hati.
“Aura… Percayalah. Mengingatku bukan pilihan yang tepat.”
“Tapi kau ada. Meski hanya di dalam mimpi…” Ekspresi itu jelas tertera. Berupa kegelisahan dan bingung yang bercampur aduk. Aku menebaknya, dan ia selalu bisa menghindari semuanya.
“Aura, pergilah!”
Suara itu menjadi samar. Aku tak mengerti, apakah ia mengusirku hingga semua menjadi gelap dan ah aku terbangun seketika.
“Siapa kamu? Aku yakin ada seseorang di sana!” Ini ketiga kalinya aku terbangun dalam keadaan linglung. Aku meyakini sesuatu yang berarti, tapi entah itu apa. Selalu ada hal yang tertinggal dan hilang saat aku terbangun dalam mimpi.
“Ka.” Sapaku pada Kak Laura saat sarapan. Kak Laura hanya menjawab tanpa kata, “Hem..” Mungkin maksudnya apa?
“Apa Kakak pernah bermimpi. Terus Kakak lupa saat Kakak terbangun, tapi apa yang Kakak mimpiin itu berarti dan ingin sekali mengingatnya?” tanyaku panjang lebar, aku menunggu dengan tidak sabar.
“Kenapa?” Kak Laura sempat menatapku heran, kemudian bersikap tak acuh.
“Aku juga ingin mengingat mimpiku malam ini…” jawabku lirih.
“Oh itu. Apa sebelumnya kamu tidak pernah mengalaminya?” tanya Kak Laura balik.
“Gak Kak!”
“Kalo Kakak sering. Jangan dipikirin, mimpi itu semu… De!”
“Tapi…” Aku ingin segera menepisnya. Membuat sebuah pengakuan, betapa jelas apa yang ada di dalamnya. Tapi segera ku hindarkan. Kak Laura akan ceramah jika mendengarnya.
“Aku selesei.” Ucapku setelah menghabiskan nasgor bikinan Mama.
“Ma, Kak. Aku pergi dulu yah?” Cuph, cuph. Aku sempat berpamitan dengan mereka. Papa sudah pergi sebelum aku keluar dari kamar.
Kemudian, sesampainya di sekolah. Aku masih termenung, mengharapkan sesuatu berkelebat dalam ingatanku. Aku benar-benar mengaduk-aduk memoriku untuk membuatnya ada.
“Aura. Sedang apa kau?”
“Tidak!” jawabku singkat. Aku rasa Cila mengira-ngira sahabatnya ini kenapa?
“Ko bengong! Tumben.” Ucapnya lagi.
“Cil Aku mau tanya! Apa Cila pernah bermimpi. Terus Cila lupa waktu bangun, tapi apa yang Cila mimpiin itu berarti dan pengen banget inget sama itu semua.”
“Pernah. Itu kan wajar, mimpi itu adanya di alam bawah sadar kita.” Jelas Cila. Ia memagut bibirnya sendiri, ragu dengan pertanyaanku,
“Ada apa?” tanyanya.
“Ah… Gak.”
Aku kembali mengurungkan niatku untuk bercerita. Kenapa rasanya aku yang aneh ya? Aku berargumen.
Mimpi itu… mengapa mimpi itu begitu kuat dalam hatiku, sesuatu yang sudah lama kutunggu, dan hari itu telah datang melalui mimpi.
Sepulang sekolah, aku kembali sendiri. Mengingat apa yang sebelumnya aku pikirkan sebelum tidur, juga apa yang aku lakukan. Berharap mendapat gambaran dari itu. Ternyata tidak. Aku tak menemukan setitik terang apapun tentang bayangannya.
Aku kecewa. Sangat!
Malampun menyambut, aku bergegas untuk tidur lebih awal. Bersiap, jika esok aku tak dapat mengingatnya kembali. Aku akan bersamanya untuk waktu yang lebih lama dalam mimpi.
Mimpi itu pun berlangsung, ternyata ia adalah Egi. Cowo cool yang cute yang mencuri hatiku dari dalam mimpi, di situ ia menyambut perasaanku. Kami jadian dan…
“Hari ini aku berusaha untuk mengingatmu, kau tahu… aku mulai bisa mengingat perasaanku padamu!” ucapku jujur.
“Aura… Kumohon. Ini akan sulit untuku! Mengingatku sama saja dengan tidak mengingat seseorang.” Egi berkata-kata seolah ia tak pernah ada, mengingatnya sama artinya dengan tetap mengingat sesuatu tapi sesuatu yang tidak pernah nyata(Ada).
Aku mencoba menerimanya, tapi linangan air mataku yang meluncur tiba-tiba memberi jawaban kepadanya. Itu sulit, dan aku tak bisa menerimanya.
“Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku mencintai seseorang yang tak pernah ada, bahkan sesuatu yang ada hanya karena aku yang memikirkannya. Mimpi ini hanya sekedar keinginanku, bukan juga keinginanmu.” Aku mencoba menarik diriku, saat terbangun air mataku masih berada di sudut mataku. Mimpi itu nyata(Aku benar-benar bermimpi), begitupun tangisannya(benar-benar ada).
Tapi Egi, cowo yang seperti aku bayangkan akan tetap hilang dalam kenyataanku. Karena ia hanya akan abadi dalam dunia mimpi.
Aku melihat jam menunjukan pkl 01.00. Aku takut jika aku melihatnya lagi, esok aku akan lupa dan kembali lagi mencari-cari dirinya. Aku takut tak lagi bisa terbangun dari dalam mimpi dan tetap membawanya dalam dunia nyata.
Waktu berlalu, aku mungkin telah terlelap. Bayangan itu tak kembali, meski aku telah mengingatnya sekarang.
“De. Kau baik-baik saja!” Tanya Kak Laura, aku hanya mengangguk.
“Ada apa? Apa ada masalah?” Tanyanya Lagi. Kali ini Mama ikut berkomentar.
“Ada apa sayang… Pagi-pagi udah cemberut. Disodorkannya beberapa roti gandum dan segelas susu segar.
“Gak Ma aku baik-baik aja kok!” Ku habiskan susuku sekali teguk. Dan membawa roti gandum untuk dimakan disela perjalanan saja.
“Ma, Ka. Aku pergi dulu yah!” Cuph, cuph. Ritual ini selalu dilakukan sebelum pergi ke sekolah.
“Loh, lagi-lagi kamu bengong. Ngelamunin apa sih?” Kali ini Cila berusaha mendapat jawaban.
“Gak!” Jawabku sekenanya.
“Ayolah Ra, Sama Cila masa gak mau cerita.” Cila masih berusaha.
“Bukan gilu Cil. Sebenarnya ini gak terlalu penting.” Aku mengelak.
“Gak penting sampe dipikirin kayak gini. Udah lah, cerirta aja biar lega!” Cila menatapku lekat, mencari kejujuran di dalamnya.
“Apa soal mimpi yang belakangan ini mengganggumu?” Tebaknya.
“Gak ganggu Cila!” Ralatku.
“Ya pokoknya itulah. Bener tentang itu…” Tanyanya untuk meyakinkan.
Aku mengangguk, berusaha membagi bebanku. “Aku mencintai Egi Cil, meskipun kami Cuma tiga hari bertemu. Aku merasa begitu!” Aku menangis dihadapan Cila yang masih takjub dengan apa yang baru aku katakan.
“Lo gila ya Ra. Egi Cuma mimpi Aura…” Cila mencoba meyakinkanku.
“Aku tahu, itu sebabnya aku merasa sedih!”
Cila tak berkomentar, ia berusaha menenangkanku. Aku tak peduli apa yang dipikirannya, aku sedang mencoba untuk mengutarakan apa yang ada dalam hatiku.
Bel berbunyi, ini pertama kalinya aku berusaha melupakan Egi dari ingatanku. Menyadari ia hanya seseorang yang berasal dari mimpi membuatku berpikir hal logis, Egi selamanya akan ada di dalam sebuah mimpi.
“Pagi Anak-Anak!” Suara Bu Salma menyapu ruangan, mengundang perhatian. Dari balik badannya aku mampu melihat seseorang dis ana. Seseorang yang cool dan cute, seseorang yang pernah mengatakan cintanya padaku.
“Egi?” Ucapku seketika, melesat ketelinga seluruh orang yang ada di dalamnya.
“Apa kau mengenalnya Aura?” Tanya Bu Salma. Menyadari nama anak yang dibawanya disebutkan namanya.
“E… ia, eh…. Tidak!” Mukaku padam saat lelaki itu tersenyum memandangiku, apa aku aneh dipikirannya saat itu.
“Benar Anak-anak. Egi ini anak baru yang akan belajar di kelas ini. Ayo Egi, perkenalkan dirimu!” Ucapnya pada Egi yang masih memandangiku.
“Ya, Bu… Terima kasih. Teman-teman perkenalkan nama saya Egi Prayoga, panggil saja dengan nama Egi seperti yang di ucapkan nona tadi. Saya pindahan dari semarang. Mohon kerja samanya.” Sekilas tentang perkenalannya. Aku sendiri tidak tahu Egi dalam mimpiku orang mana, sekolah dimana, kelas berapa. Egi di hadapanku terasa lebih jelas dari mimpiku.
Setelah jam sekolah berakhir. Egi mendekatiku, menyapaku dengan sopan. “Maaf kita belum berkenalan.” Diulurkannya tanngan kananya, aku menyambutnya dengan senang hati.
“Kenalkan aku Aura. Maaf soal tadi, aku refleks mengucapkannya!” jujur aku mengucapkannya malu-malu. Perasaanku masih sama, aku masih mencintai sosok Egi dari wujud apapun, terlebih kini ia bukan sekedar mimpiku semata. Aku membatin.
“Gak papa ko Ra. Tapi… apa kau mengenalku?” tanyanya masih ragu.
“Ah, tidak. Kamu mirip seseorang yang kukenal dengan nama yang sama aja!” Aku tak berniat mengungkapkan isi hatiku dihari pertama kami bertemu, di dalam mimpi ia yang mengutarakan perasaannya padaku. Lagi pula ia akan menganggapku aneh bisa mencintai seseorang hanya dengan melihatnya dalam mimpi.
Kamipun berteman, bahkan semakin dekat. Dari fisik tak di ragukan, ia benar-benar Egi yang pernah aku bayangkan. Dari sifat, dan tingkah lakunya selama denganku juga menunjukan hal yang sama, aku benar-benar bahagia mendapatinya.
Malampun datang, saat-saat yang bersejarah untuku.
“Aku dapat mengingatmu Gi…” Tuturku congkak. Egi tersenyum mendapatinya.
“Dan aku tidak menyesal telah mengingatmu, meski kau berawal dari sebuah mimpi.” Lagi-lagi Egi tak menampakan penolakan atau tidak sependapat.
“Aura. Entah itu mimpi apapun, mimpi akan indah jika terankum dalam dunia nyata.”
“Karena mimpi terindah adalah saat mimpi itu berrubah jadi sebuah kenyataan.” Aku menambahkan.
Senyumnya masih lekat dalam ingatanku, baik dalam mimpi maupun dalam dunia nyata, Aku mencintai Egi dari mana dan dimana pun ia berada.
Cara penulisan Bahasa Korea Hangul dilakukan setelah menggabungkan huruf vokal dan konsonan untuk membentuk satu suku-kata seperti bahasa asing lainnya, dan dituliskan dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah.
Bantu aku untuk mengenalmu, karena tidak satu waktupun dapat memberiku keterangan tentang apapun. Untuku, Kau layak menjadi sesuatu_yah kau tahu apa, dan aku tahu itu benar.
oooooo
Suara sayup-sayup itu kudengar mendekat. Nyaris menyender di telingaku. Sesaat aku mengerjap, membayangkan sesuatu yang sulit. Entah mengapa aku terpikat dengan keberadaannya. Aku tak kuasa menepis dan berganti haluan menghindarinya.
Dari belakang ia memutar tubuhku, gerakannya cepat. Napasku memburu, karena sirkulasi udara di dalamnya memburuk. Semakin lama itu berlangsung, aku semakin sesak dan berusaha menahan napas lebih lama untuk beberapa kali.
“Kau.. Sangat indah…” Bisiknya lagi. Aku mengangkat bahu kananku dan sedikit merenggang darinya. Geli di sekujur tubuhku meremang tak tertahankan. Jantungku tak kalah hebat berguncang.
“Siapa kau?” tanyaku tidak yakin. Tapi ia tetap mengulangi perbuatannya. Ia makin merapat dan mendesaku untuk tidak menghindarinya. Lidahku menjadi kelu, tubuhku berubah kaku. Aku ingin pinsan, atau bisa menghilang. Aku lelah, dan…
“Aku menyukaimu…” Ia memegangi tubuhku yang hampir ambruk. Menopang sebagiannya. Aku tak kuasa untuk merelakannya menyentuhku, kemudian berjingkat mundur dan menjauh darinya.
Aku berlari. Meninggalkannya di sudut rumah, apapun yang ada di pikirannya mulai meresahkanku. Karena itu, aku berharap tidak menemuinya sementara waktu.
“Aku heran. Siapa dia, dan apa yang sering dilakukannya.” Tubuhku menggigil. Hujan terlanjur menjatuhiku, kuyup tak terhindarkan. Dan aku melihat cahaya mulai ada di balik rumah.
“Mom. Apa itu kau?” Aku setengah berteriak. Takut jika laki-laki itu menangkapku erat.
“Ya, sayang. Ini Mom!” Teriaknya dari balik kamarnya.
“Huh… Syukurlah!” Aku mendekatinya, memperlihatkan ekspresi was-was. Berharap aku dapat tenang setelahnya.
“Mom. Aku melihat seorang pria sering berada di kamarku! Saat aku kembali untuk melihatnya, ia menghilang.” Ucapku ragu. Ia masih menatapku heran, “Oya..” Sahutnya.
“Sayang. Mom sudah bilang, jangan pikirkan hal-hal yang seperti itu. Kau sudah tahu bagaimana rumah ini…” Ia terlihat khawatir untuk menekankan kata-katanya. Aku paham, rumah ini peninggalan Kakek Nenek. Butuh beberapa penyesuaian untuk beradaptasi dengan kebiasaan yang ada di dalamnya.
Setelah Kakek meninggal beberapa bulan yang lalu. Ia berpesan untuk menjaga baik-baik rumah yang sudah dihuninya sejak zaman penjajah. Ia takut, ada yang tidak suka dengan perubahan yang dilakukan oleh orang yang memilikinya kelak. Tapi meskipun telah diberitahukan, aku tak pernah tenang menerimanya.
Terlebih jika sebuah kejadian berlangsung melibatkanku. Aku ngeri…
“Mom. Kita pulang ke tempat Dady ya?” pintaku.
“Sayang. Siapa yang akan menjaga rumah ini,” Mom cemas dengan apa yang dibicarakannya.
“Mom. Kita tidak mungkin menjaganya seumur hidup kita kan?” Tanyaku mengharapkan sebuah kepastian.
“Ya.” Jawab Mom singkat.
“Apa? Mom!” aku protes berat. Tapi lagi-lagi Ia hanya mengangkat bahu atau mengangkat kedua alisnya untuk mengacuhkanku.
“Kakek tak pernah cerita hal-hal seperti itu. Tak pernah ada hal buruk sebelumnya, ayolah… lama-lama kau pasti menyukainya!” Kemudian Mom lekas masuk kembali kekamarnya entah untuk apa.
Pelan-pelan aku melangkah kekamarku, memeriksa. Tengok kiri, tengok kanan, dan aku lega tak ada apa-apa.
Sejenak aku melai rileks, dan tak ketakutan seperti yang tadi. Tapi mendadak sesuatu mengagetkanku. “Aku menyukaimu!”
Wush, hembusan di area yang sama mengejutkanku, bahkan terlalu cepat untuk sesuatu yang sudah berlalu.
Ia tersenyum, kali ini ia tidak berputar-putar di belakangku, dan tak lagi memegangi atau menyentuhku. Aku panik, menyadari seorang laki-laki yang tidak dikenal tengah berada di kamarku. Tapi aku tak mampu berteriak atau hal apapun.
“Kau tak bertanya kenapa?” tanyanya bingung melihat reaksiku.
“Kenapa?” jawabku seperti yang dikatakannya.
“Karena kau lucu.” Lagi-lagi ia tersenyum kepadaku.
“Lucu?”
Ia menembusku, melewatiku tanpa menyentuhku. Aku terperangah, menerka kata-kata yang bisa aku teriakan. Sesaat setelah itu akan kulakukan, ia menutup mulutku. Mengucapkan kata-kata dekat dengan telingaku_yang membuatku semakin merinding. Ditambah hembusan dinginnya, membuatku ingin mati.
“Sayang…” Kudengar suara orang berjalan mendekati kami.
Lagi-lagi aku tak bisa melakukan apa yang akan aku lakukan. “Sayang, Dady menelpon. Kita harus menemuinya sekarang. Ganti bajulah dengan cepat.” Ucap Mom di hadapanku setelah tidak mengetuk pintu.
“Ya Mom.” Jawabku leluasa.
Aku mulai panik lagi setelah Mom keluar melewati bibir pintu. Aku semakin tak percaya, Sosok itu lenyap begitu saja. Kuedarkan pandanganku kesemua sudut, tak nampak sedikitpun, bahkan bayangannya juga tidak ada.
Aku lekas berganti pakaian setelah memastikan semua aman. Dengan takut-takut aku melakukannya dengan segera.
“Mom!” Sapaku saat berpapasan dengannya di ruang makan. “Dady kenapa Mom?” tanyaku selagi ingat, mengapa permintaan itu begitu mendadak.
“Dady akan pindah. Ia tak ingin kita jauh darinya!” Mom sumringah, aku juga senang mendengarnya.
Tidak butuh waktu lama untuk menemukannya. Resto yang letaknya di muka kantornya, di meja biasalah kami bisa melihatnya.
“Hai sayang..”
“Hay Dad….”
“Ia sayang…”
Dady memeluku dan mengecup keningku, lalu ia menyambut pelukan Mom dan mengecup keningnya. Terlihat rindu di sana. Aku tahu itu alasan Dady selalu bisa berada bersama kami.
“ Bagaimana harimu sayang?” Tanya Dad kepadaku.
“Menyenangkan.” Jawabku.
“Butuh waktu Sayang. Ada beberapa yang mengganggunya.” Bisik Mom hampir terdengar olehku.
“Tidak apa-apa. Dad tahu, kau akan menyukainya.” Ucap Dad percaya diri.
Setelah berbincang-bincang, Dad akhirnya memutuskan akan membawa barang-barang dari rumah besok. Setelah itu, ia akan menjual rumah kami.
Kakek hebat, bisa membuat mereka merelakan rumah idaman pernikahan mereka hanya untuknya. Aku senang, Mom dan Dad begitu menyayanginya, seperti aku menyayangi mereka.
Suasana haru itu hanya dirasakan olehku, Dad dan Mom tampak biasa-biasa saja. Sesekali mereka bersenda guaru untuk melepas kangen. Aku ikut di obrolan keluarga itu.
Kami melanjutkan pembicaraan setelah jamuan makan malam.
ooooo
Sesampainya di rumah.
Tanpa sadar pikiranku sudah memastikan sesuatu. Karena kejadian yang berlangsung belakangan ini tidak akan menghilang tanpa sebab, itu sebabnya aku bersiap untuk menghadapinya.
“Sebisa mungkin aku akan menguasai diriku.”
Kata-kata itu lekas kupatrikan dalam hatiku. Memberikan ruang untuk sesuatu hal yang tidak nyaman, dan membuatnya jadi menyenangkan.
“Selamat tidur sayang…” Ucap Mom saat aku melewati pintu. “Selamat tidur Mom!” sahutku mengindahkan.
Sesaat aku kembali memeriksa. Tak satu hal pun tentang lelaki itu, jadi kuanggap ia tidak ada, harapku.
Malam ini keheningan begitu mencekam, mengganggu rasa kantuk yang biasa sudah menggelayutiku. Agaknya hari ini aku akan tidur sangat lama.
Aku mulai memikirkan hal yang lain. Mengabaikannya, menganggapnya tidak ada. Meringankan ketidak nyamananku dan berharap lekas terlelap.
….
Entah dalam ruangan yang mana. Aku masih bisa menatap kesekelilingku, tak mengerti bahwa aku sedang berada di mana.
Aku melihat seseorang memegangi lututnya, menitikan air mata. Aku mendekatinya, tapi ia tak mendongak. Dari sebelahnya aku melihat seseorang dari arah sebaliknya melemparkan sebuah bola. Kerongkonganku kering, mataku melotot menyaksikannya.
Ia berusaha menyakiti seseorang itu. Meskipun seseorang itu berusaha menjelaskan! Aku terkesima saat darah berceceran dan semua hilang menyisakan diriku dalam sebuah kenangan, entah punya siapa.
Aku menarik diriku, mencoba sadar dari itu. Mengingat apa yang ia lakukan, dan siapa seseorang itu. Aku menarik selimutku. Dari balik jendela kulihat hujan begitu deras, dari balik dindingpun aku sudah bisa mendengar suaranya.
Aku memejamkan mata, menganggap itu hanya sebuah mimpi biasa, dan kembali untuk tidak mengingat apapun.
ooooo
“Pagi Mom.”
“Pagi sayang… Loh. Kamu kenapa?” ucap Mom, memperhatikanku.
“Oh… ini, semalam aku sulit tidur.” Jawabku seadanya.
“Dad akan kesini siang nanti. Mom sudah mengosongkan satu kamar, untuk digunakan sebagai gudang. Kita bisa menggunakan barang yang kita inginkan.” Jelas Mom. Aku mengangguk mengiyakan.
“Mom. Aku akan ke supermarket di depan, membeli beberapa kebutuhanku. Mom mau nitip sesuatu?” Kulihat Mom memikirkan sesuatu, “Mungkin beberapa ini.” Disodorkannya selembar kertas kecil berisi titipan yang baru ia tuliskan.
“Mom ingin aku belanja keperluan dapur?”
“Ya.”
Mulutku mengerucut. Basa-basi tadi sudah ditanggapi Mom dengan serius. “Mom… Bagaimana aku membawanya nanti?” keluhku. Mendapati banyaknya permintaan yang dituliskannya.
“Nanti Dad yang akan mengangkat sebagiannya. Dad sudah datang saat kamu selesei membelinya. Ok!” Aku mendesah, tapi kembali kekamar untuk bersiap-siap.
Sesampainya di supermarket, nggak jauh dari rumah.
Kulihat senyum penjaga kasir mengembang menyambutku. Aku tersenyum balik dan melewatinya. Memeriksa stok yang ada di dalamnya, apa semua yang dituliskan Mom ada di situ.
“Hem… Minyak goreng, sambal, kecap, telur, roti, selai, ada juga sabun, syampo, dan sebagainya. Aku rasa yang lainnya juga ada.” Ucapku pada diriku sendiri. Kulihat keranjang yang kubawa sudah penuh sesak. Kutaruh di samping kasir dan permisi untuk mengambil yang lainnya. Seperti kebutuhanku; body lotion, parfum, bedak, pembersih muka, masker, pembalut dan beberapa obat untuk di simpan, semua benda yang tidak ditulis Mom.
Setelah selesei dengan keperluanku, kubeli beberapa cemilan dan minuman untuk di rumah. Kemudian kembali menaruhnya kesamping kasir untuk membayar.
Kulihat seorang laki-laki sudah mengantri di belakang, mengembangkan senyumnya. Aku tersenyum, dan kembali melihat kearah kasir.
Selesei dimasukan kedalam plastik dan menyodorkan beberapa lembar ratusan, kulihat benda yang harus kubawa terlalu banyak. Aku tak yakin bisa memindahkannya.
Kutelfon Mom selagi penjaga kasir mengambil kembalian. “Mom. Dad mana? banyak banget nih… ” Keluhku, karena Dad tak kunjung datang.
“Ia sayang. Mom sudah bilang! Sebelum kesini harus ke supermarket dulu.” Jawab Mom menyebalkan, karena itu artinya aku harus menunggu. Kututup telfon, menerima kembalian dan bergegas memindahkannya satu-persatu karena antrian mulai panjang.
Cowo di belakangku menyapa, “Hey,,, Apa ada yang bisa aku bantu?” tanyanya.
Aku mengerutkan kening, “Please,” timpalku.
Ia tersenyum dan meletakan keranjangnya ke samping kasir kemudian mengangkat barang-barang yang lainnya dan mengikutiku. “Thanks.” Ucapku setelah ia mengantar barang bawaanku ke depan supermarket. “Sama-sama.” Jawabnya, kemudian kembali ke dalam.
Aku celingukan, berharap Dad tak lama datangnya. Setelah cukup lama, cowok tadi keluar dan mendekatiku. “Emm, Sory. Apa kamu menunggu seseorang?”
“Ya… Tapi belum datang.” Sahutku sedih.
“Rumahmu di mana. Aku bawa mobil, kalo kamu gak keberatan, aku bisa mengantarmu.” Selorohnya. Menunggu jawabanku.
“Baiklah. Aku telphon dulu yah?”
“Ok!” Diambilnya belanjaanku ke mobilnya. Menungguku menyeleseikan telphonku. “Dad. Aku diater temen. Dad langsung kerumah aja!” “Baiklah.” Jawab Dad, mengerti dengan maksudku.
Aku mulai menaiki mobil tersebut, berkenalan. Karena sebelumnya hanya sebatas meminta bantuan dan tak mengharapkan yang lebih.
“Aku Rama. Kau?
“Aku. Binka.” Kusambut tangannya yang lebih dulu disodorkan. “Sekali lagi, thanks Ram. Aku gak harus nunggu.” Aku tersenyum, dan ia membalasnya.
Tak lama setelah itu aku telah berada di depan rumah. “Akan ku bawakan sampai ke dalam.” Sahutnya tanpa kuminta.
“Aku gak mau ngerepotin, tapi tolong yah!” Rama terkikik, dan mulai menurunkan belanjaan.
Hari ini terlihat baik-baik saja! Bahkan nyaris seperti biasa. Ternyata Rama cowo yang asyik, sayang dia nggak bisa berlama-lama karena masih punya janji.
“Sory yah. Ka” Ucapnya sebelum pergi. Aku mengangguk melepaskan kepergiannya.
Kulihat Dad sudah di dalam dengan Mom. “Sayang, Maaf yah. Dad lama.”
“Akh, Ada Rama tadi. Dad harus berterimakasih…”
“Pasti, jika ia berdatang lagi.”
Kubereskan belanjaan yang diminta Mom, kemudian mengngambil belanjaanku sendiri dan membawanya ke kamar.
“Aku tak menyukainya!”
Suara itu selalu bertengger tepat di telingaku. Aku tak seterkejut sebelumnya, tapi bulu kuduku masih tetap meremang mendapatinya.
Hah! Aku mengelak, tapi tak menemukan wujudnya. “Aku tak mengijinkannya datang kembali.” Kali ini suaranya terdengar geram, tak sehalus yang sudah-sudah.
“Kenapa?” Tanyaku heran. “Aku tak suka.”
Ia beranjak ke depanku, memperlihatkan dirinya. Aku masih takut, tapi ini jauh lebih baik. Ia memperlihatkan kesedihannya lewat bola matanya. Sendu itu, sepertinya pernah kulihat.
“Kau…” “Mengapa mereka melakukan itu.”
“Tak ada yang melakukan apapun. Aku yang memberikan bayangan itu, dan itu bukan kenangan seseorang.”
“Aku tak mengerti. Kau membuatku bingung!”
Ia berubah seperti asap, lama-kelamaan bisa menghilang. Tapi satu yang membuatku heran, ia tetap muncul setelahnya.
“Aku menyukaimu… Kau itu lucu. Buatku kau begitu indah.”
Mendapati itu, berderet hal muncul dalam otaku. Sayang saat ingin kuungkapkan, seseorang mengetuk pintu. “Sayang ini Mom. Ayo makan.” Ucapnya.
“Aku akan menemuimu kembali.” Tutur seseorang yang tak kulihat.
Kemudian aku keluar dan menuruni tangga ke ruang makan.
ooooo
Handphonku berdering. Terdengar lagu kesukaanku di sana. Tapi saat kuikuti suaranya, aku tak berhasil menemukan handphonku.
“Aku tak menyukainya.” Ucapnya tiba-tiba.
Aku tak lagi menjauh, dan marah karenanya. “Siapa kamu, kenapa kau selalu mengikutiku, aku jengah dengan keberadaanmu!” bentaku, membuatnya terpaku.
“Ini kamarku, jika kamu tidak suka pergilah!” sergahnya tak mau kalah.
“Lalu kenapa kau lakukan ini. Apa maumu?”
Wajahnya mendung, entah akan ada apa. Ia menghilang, dan membiarkanku menggantungkan pertanyaanku.
Ku sentakan kakiku ke meja, mengaku kesal. Aku mengomel tanpa sadar. Saat itu ku lihat telponku sudah tergeletak di lantai.
“Halo. Sory Ram. Ada apa?”
“Oh Hay Ka. Aku tadi lewat rumahmu, niatnya mau mampir. Tapi aku nggak enak sendiri karena baru bertemu. Sory,” terangnya.
“Enggak apa lagi Ram, sekarang ada di mana?”
“Udah di rumah. Sempet berenti tadi, nelphon kamu. Tapi gak diangkat.”
“Oh gitu. Lain kali kalo mau mampir, gak usah Tanya lagi. Aku bolehkan! Oya, salam dari Dad. Thanks udah gantiin dia anterin aku pulang dan bawaain belanjaan.”
“Sama-sama, salam kembali aja deh.”
Bla bla bla. Lama kami berbicara lewat telepon. Tanpa sadar aku asik meladeninya, dan mengganggu seseorang yang menyaksikannya.
Bruck, sebuah benda mendadak jatuh tanpa tersentuh. Aku tahu itu perbuatan siapa meskipun aku tidak tahu ia siapa.
“Eh sory Ram, udah dulu yah!”
“Ok! Bye.”
“Bye, Ram.”
Ku bereskan barang yang berserakan, dan memasang muka kusut. Ia muncul lagi! “Aku tak menyukainya,” keluhnya.
“Tapi aku menyukainya.”
“Karena itu aku tidak menyukainya.”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Jauhi dia!”
“Kenapa?”
“jangan ulangi pertanyaan untuk jawaban yang sama!”
“Apa jawabannya?”
“Binka aku tidak menyukainya. TITIK!” Setelah itu ia menghilang meninggalkanku lagi. Mom sudah membuka daun pintu.
“Kau baik-baik sayang?”
“Oh. Yah, tentu Mom. Ada apa?”
“Mom mendengarmu berteriak. Apa kau sedang menelpon?”
“Oh, ya Mom. Tadi dari Rama.”
“Oh.” Mom pun beranjak pergi setelah itu.
“Hufh. Untung Mom tak meragukan jawabanku.”
Lagi-lagi aku ingat sesosok cowo yang belakangan menggangguku. “Sory. Tapi aku butuh jawabanku.” Keluhku, berharap ia mendengar.
“Aku Delta Ka, aku harap kau seperti itu. Maaf jika aku telah mengganggumu karena itu.”
“Jangan ulangi kebiasaanmu. Selalu muncul dari balik telingaku. Itu mengerikan.”
Ini pertama kalinya kita bisa berbincang sehat. Ia pun tak menghilang di tengah pembicaraaan, ataupun menembus tubuhku layaknya bukan manusia. Banyak hal yang baru kuketahui. Dan dari situ aku mulai mengerti.
ooooo
Setelah dibicarakan, aku tahu. Ternyata benar, ini adalah kamarnya. Ia berada di sini selagi Kakek masih ada. Dia itu manusia, hanya punya keistimewaan seperti yang dimilikinya. Antara lain, menghilang, menembus benda padat, dan hal-hal yang terbiasa kusaksikan selama ini.
Ia pergi dari rumah karena keistimewaannya itu, dan Kakek menerimanya. Tapi Kakek tidak sempat menceritakan dirinya pada kami. Karena kepergiannya begitu mendadak tanpa ada tanda-tanda. Karena itu ia menggunakan keistimewaannya untuk tetap tinggal di sini.
“Apa kau melihatku saat…” Ia mengerti. Sempat tersipu, mengakui perkiraanku.
“Apa!!!” Aku sempat berteriak, saat dia mendadak berkata, “Jangan berpikir jorok, cukup dengan berpikir buruk!”
“SAMA AZA!!!”
Aku memukulnya berkali-kali. Mengungkapkan betapa menyebalkannya itu. “Aku tidak kurangajar Bingka. Meskipun selama ini sedikit usil.” Celotehnya.
Ia sempat berterima kasih. Karena tak memberitahukannya kepada kedua orang tuaku dulu. Ia takut ia akan diusir dan tidak diterima, karena mereka belum mengenalnya.
“Apa kakek ingin menjaga tempat ini karena ada kamu?”
“Bukan. Dirumah ini ada penghuninya. Yah kau tahu, itu bukan manusia!” Aku merinding menyimak benar kata-katanya.
“Angker?”
“Mereka tidak akan mengganggu jika kamu tidak mengganggunya.”
Penjelasan yang panjang membuatku mengenalnya. Dia membuatnya tidak menyebalkan setelah mengetahuinya. Hanya saja aku punya pertimbangan untuk mengungkapkan keberadaannya.
“Ini akan sulit.” Peringatku.
“Yah aku tahu!” jawabnya.
“Em… aku menyukaimu, lucu, begitu indah. Apa maksudmu?” Tanyaku sinis. Delta mengerang karena aku membahasnya, ternyata kata-kata itu tidak sekedar. Apa ia jujur untuk itu?
“Aku… ingin kamu tau. Itu saja!” Jawabnya tulus.
Aku tersenyum, senang dengan pengakuannya. Haripun berlalu sesuai dengan harapanku_baik-baik saja.
ooooo
Rama lebih sering menghubungiku, kali ini Delta tak mengganggu. Aku menghargainya! Mendadak aku sedih ia seperti itu. Karena dengan seperti itu, aku merasa telah menjadi sesuatu.
Kali ini untuk memastikannya, setiap melakukan hal privasi yang bersifat sensitive kupinta dia tak menghilangkan dirinya. Supaya aku bisa meyakinkan jawabannya. Bahwa ia tak mengintip.
Sulit berhubungan dengan seseorang yang punya keistimewaan seperti itu. Mana tahu dia menggunakan keistimewaannya untuk hal buruk. Seminggu sudah kulalui dengan sikap baik yang ditunjukannya.
Perlahan aku mulai bertanya hal-hal yang berkaitan dengan Kakek, dan sedikit menyinggung mengapa Kakek ingin kita semua menjanga rumahnya sampai seperti ini. Mom dan Dad hanya menatapku dengan tatapan curiga, tapi tetap menjawab pertanyaanku tanpa bertanya apa-apa.
Sampai suatu hari. Mom berkata akan dikenalkan seseorang yang juga tinggal di rumah ini, saat itulah aku menyinggung Delta ditengah pembicaraan kami.
Setelah semua jelas, dan terungkap aku dan Delta benar-benar leluasa untuk semua hal yang kita lakukan.
Ia tinggal bersama kami, dengan mengetahui semua keistimewaan yang dipunyainya. “Ada satu keistimewaan yang tidak kuberitahukan kepada siapapun,” katanya.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Sebenarnya… aku… punya… keistimewaan… lagi… karena… aku… bisa… membuatmu jatuh cinta kepadaku!” Simpulnya, membuatku sesak. Napasku tertahan saat kalimatnya mengalir.
“Em… siapa. Aku! Enggak!” Jawabku takut, kalo-kalo dia punya keistimewaan mengetahui hatiku.
Ia hanya tertawa menangkap ekspresiku yang jelas. Aku mencintainya!
“Aku tak akan tahu isi hatimu tanpa apapun yang bisa kau tunjukan, percayalah!”
“Apa begitu jelas?”
“Sangat jelas!”
“Heh… menyesal aku! Karena kau tidak punya keistimewaan untuk tidak mengetahui jawaban dari hatiku.” Kataku pada akhirnya, saat ia tak melihatku.
Matanya menerawang, mungkin memikirkan kalimatku yang jelas penting untuknya. “Apa?” Loadingnya cepat.
“Ya itu!” sahutku sekenanya.
“Apa?”
….
Kami terlalu asyik dengan semua hal yang ada. Tapi satu hal yang penting, setiap waktu akhirnya berakhir dengan baik, walaupun tidak selalu indah. Dan itu karena dia ada.