Aku bisa mengendalikan diriku sendiri, tapi bukan sebagai diriku melainkan sebagai orang lain...
"Aku tidak mengerti, aku tidak faham!" Pernyataan Pak Punk terasa aneh di telingaku, apa itu?
"Penglihatanmu dapat membuat terkaan yang akurat, bukan sebuah bayangan, atau sebuah harapan. Karena apa yang kau saksikan dalam penglihatanmu adalah hal yang akan benar-benar terjadi." Pak Punk merunduk, matanya ditenggelamkan ke dalam pikirannya. Aku tak mampu mengikuti sejauh mana aku bisa tahu apa maksudnya.
"Yang mampu kamu lakukan adalah kuat. Kuat dari rasa ketidak nyamanan, kekhawatiran, kegelisahan, dan
rasa takut berlebihan seperti itu. Kau harus bisa menguasainya, jika tidak..."
"Jika tidak, apa yang akan terjadi?" Selaku. Pak Punk menatapku, tatapan itu penuh misteri, begitu kelam dan mendalam.
"Pak Punk... Apa, sungguh ini membuatku bingung!" Terdengar suara ketukan pintu. Krek, "Maaf Pak, saya..." Rian berdiri tegap ditengah pintu.
"Saya tahu,"
"Putri, kau bisa ikut dengannya!" Tambah Pak Punk.
"Tapi Pak, saya belum tau tentang..."
"Put. Ini penting." Sergah Rian cepat.
"Pergilah, jika saatnya tiba kau akan tahu itu apa."
Aku tiba di sebuah ruangan sempit bekas mading zaman dulu. Tapi tempat itu sekarang kami gunakan untuk kumpul karena sudah tidak terpakai. Awalnya ingin digunakan sebagai gudang, tapi sejak ada kabar yang aneh-aneh di tempat ini. Mereka enggan untuk menyimpan barang-barang di dalamnya.
Untung ada Sam, sesosok cowo yang gak cuma populer, kaya, dan keren. Tapi juga berani, dan punya rasa percaya diri tinggi untuk memenuhi rasa ingin tahu yang tingginya. Dengan bantuan Rian yang sedikit lebih pinter dari anak seumurannya, maka kami akhirnya membuat sebuah genk bernama Aura(Diambil dari pancaran bayang-bayang seseorang yang sering aku lihat)
Sebenarnya kami tidak begitu cocok. Aku termasuk anak yang pemalu dan pendiam, Rian lebih senang menyendiri, sedangkan Sam orang yang cool. Sebuah persamaan yang tidak bisa disatukan(Pendiam, penyendiri, dan cool), kurang lebih artinya jika disamakan, sama-sama tipe orang yang jarang berbicara.
Dengan kata lain, jika semua anggota punya sifat yang(kurang lebih) sama. Maka genk tersebut tidak akan utuh, karena tidak bisa melengkapi satu sama lain. Tapi, kasus kali ini berbeda. Justru karena punya satu kesamaan itu, kita selalu satu pemikiran.
"Kau yang namanya Putri?" Tanya cowok tinggi yang keren itu.
"Yah, dialah orangnya..." Rian menimpali(Aku mengenalnya karena Rian satu kelas denganku meski tidak terlalu dekat).
"Kenalkan aku Samy," Cowok itu menjulurkan tangannya.
"Mau ngapain?" Tanyaku bodoh.
"Aku ingin berkenalan, tidak melihat tanganku?" Jelasnya, melihatku aneh.
"Em... ada apa? Rian dia ini siapa?" Tanyaku pada Rian, sedikit tidak nyaman untuk menghadapi dua cowok keren diruangan seperti ini(Jadi enggak sinkron, suasana sama tempatnya).
Aku sempat melihat Rian tersenyum, dan cowok yang mengaku bernama Samy itu garuk-garuk gak jelas.
"Ah, bikin gua malu aja..." Samy menyauti keheningan.
"Gua kan udah bilang, Putri ini seperti apa. Maklum bro!" Ditepuknya punggung si Samy.
"Put. Dia anak baru, sebenarnya udah seminggu. Tapi dia kekeh pingin tahu tentang tempat ini." Dari penjelasan Rian sedikit membuatku enggan, agaknya ia ingin meminta seseuatu dariku.
"Aku menceritakan kejadian tahun lalu kepadanya, bukannya takut dia justru bersemangat ingin cari tahu. Itu sebabnya aku sarankan untuk menemuimu dulu karena..." Bletak. Sebuah benda terjatuh begitu saja di samping pintu. Rian dan Samy terlonjak. Perlu diketahui bahwa ruangan itu tidak pernah dihuni, baik oleh benda hidup(Manusia) maupun benda mati. Ruangan ini sengaja dikosongkan.
Dengan jatuhnya benda itu, membuat kami berasumsi bahwa sesuatu telah terjadi, dan tidak ditemukan
penjelasan untuknya. Beararti...
"Put. Apa ada yang kamu lihat?" Samy memecah keheningan.
"Aku? Kenapa?" Tanyaku heran.
"Rian bilang kamu bisa liat hantu!" Simpulnya asal.
"Apa, liat hantu... ngarang! Rian ngomong gitu?" tanyaku balik menodong Rian.
"E... bukan, aku cuma nyeritain apa yang pernah terjadi aja kok. Nggak bilang bisa liat hantu, Sam jangan ngaco!" Rian mengerutkan keningnya. si Samy justru semakin bingung.
"Apa tempat ini berpenghuni?" Tanya Samy lagi.
"Ih... udah dibilang. Aku gak bisa liat hantu!" Aku dibuatnya kesal, saat kemarahanku keluar. Jendela jadi bergetar, daun pintupun ikut melambai.
Aku sempat tersentak. Ini pertama kalinya aku menyaksikan yang satu ini, berlama-lama ditempat itu membuatku merinding kedinginan.
"Udah ah, apaan sih." Aku ngeloyor meninggalkan dua cowok paling keren seintaro SMA ini, yang masih aku anggap gak jelas.
"Dasar aneh!" Sambil berjalan aku bersungut-sungut karena kesal.
...........................
"Ah... kenapa harus dibahas, satu tahun yang lalu..." Kupandangi halaman sekolah dengan tatapan sayu.
"Marry meninggal di tempat itu." Hatiku membatin.
"Dan hari itu, ada kejadian serupa." Kututp mataku, berharap tidak menemukan apapun seperti waktu itu.
Marry masih dalam ingatanku, bahkan bayangan itu terlalu jelas. Saat Marry memintaku untuk mencari tahu alasan cowoknya bunuh diri di ruang mading sekolah itu. "Ah... Andai aku bisa, aku akan melakukannya!" Hatiku berubah nyeri. kenyataannya penglihatanku tidak bisa aku kontrol, penglihatan itu ada dengan sendirinya bukan diminta. Bagaimana dia bisa memintaku untuk melakukan hal yang aku sendiri tidak tahu itu apa.
Marry adalah temanku sejak kecil, aku berkali-kali mendapat penglihatan tentangnya. Aneh, kenapa hanya dia. Dan kenapa hanya pada saat Marry punya masalah, baru penglihatan itu ada. Aku menerka, mengira-
ngira. Mengingatnya membuatku takut, bayangan ketika Indra(Cowoknya) menyayat pergelangan tangannya, menusuk-nusuk jari-jarinya, Marry berada tepat di sampingnya saat kejadian itu terjadi.
tanganku bergetar, seringai Marry yang seram membuatku gemetar. Ah, aku selalu berpikir itu salah, itu hanya bayanganku, kekosongan pikiranku, dan kelelahanku hingga bisa bermimpi dan mengigo hal-hal aneh.
"Put!" Kudongakan wajahku, mencari raut muka yang mengeluarkan suara.
"Apa kau baik-baik aja?" Tanyanya khawatir.
"Aku baik," Jawabku simpul.
"Apa benar tidak ada apa-apa di sana?" Tanya Rian lagi.
"Rian, bukan seperti itu. Yang bisa aku lihat bukan arwah seseorang yang sudah mati." Bentaku, aku mulai tidak suka Rian menanyai pertanyaan-pertanyaan yang akan mengingatkan kejadian itu.
"Tenang Put! Begini... Indra cowok Marry yang tewas setahun yang lalu adalah kakak dari Sam. Samy yang mengajakmu berkenalan. itu salah satu alasannya sampai menemuimu." Terang Rian. Kali ini ia membiarkanku hanya mendengarkannya, tidak memaksa untuk menanggapinya.
"Ia merasa janggal, dan ingin meyakinkan kematian kakaknya itu." tambahnya.
"Kenapa sekarang, setahun setelah itu." Aku berkilah, berharap ia juga ingin mengubur masalah itu dalam-dalam.
"Karena ini. Diary yang di ambil dari Marry, Indra masih menyimpannya, dan... kalimat terakhir yang bertuliskan 'jangan mempercayainya untuk Samy ke Marry' adalah tulisan tangan Indra." Ditunjukannya penggalan yang sedang dimaksud.
Kepalaku pusing, terbawa angan-angan yang menangkap bayang-bayang.
"Ada Apa sih, ganggu tau enggak?" Semprotku, Sam dan Rian memasang muka serius.
"Aku melihat mereka." Ucap Sam menjawabku.
"Rey, Anto, dan Stevy." Tambah Rian.
"Bagaimana mungkin, mereka sudah..." Sedetik bulu kuduku meremang, Suasana Camp mendadak berisik oleh angin yang mengesek-gesekan ranting.
"Sam... ini tidak mungkin!" Ucapku tegas.
"Put, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri..." Sam panik, raut wajahnya bisa kupastikan jujur. Hanya saja, itu benar-benar... tidak... mungkin...
"Aku... aku tidak tahu... tapi mereka memperlihatkan dirinya kepadaku..." Tampak Sam benar-benar putus asa.
Sedang jauh di lubuk hatiku, aku jauh lebih tidak tau arang.