Bantu aku untuk mengenalmu, karena tidak satu waktupun dapat memberiku keterangan tentang apapun. Untuku, Kau layak menjadi sesuatu_yah kau tahu apa, dan aku tahu itu benar.
oooooo
Suara sayup-sayup itu kudengar mendekat. Nyaris menyender di telingaku. Sesaat aku mengerjap, membayangkan sesuatu yang sulit. Entah mengapa aku terpikat dengan keberadaannya. Aku tak kuasa menepis dan berganti haluan menghindarinya.
Dari belakang ia memutar tubuhku, gerakannya cepat. Napasku memburu, karena sirkulasi udara di dalamnya memburuk. Semakin lama itu berlangsung, aku semakin sesak dan berusaha menahan napas lebih lama untuk beberapa kali.
“Kau.. Sangat indah…” Bisiknya lagi. Aku mengangkat bahu kananku dan sedikit merenggang darinya. Geli di sekujur tubuhku meremang tak tertahankan. Jantungku tak kalah hebat berguncang.
“Siapa kau?” tanyaku tidak yakin. Tapi ia tetap mengulangi perbuatannya. Ia makin merapat dan mendesaku untuk tidak menghindarinya. Lidahku menjadi kelu, tubuhku berubah kaku. Aku ingin pinsan, atau bisa menghilang. Aku lelah, dan…
“Aku menyukaimu…” Ia memegangi tubuhku yang hampir ambruk. Menopang sebagiannya. Aku tak kuasa untuk merelakannya menyentuhku, kemudian berjingkat mundur dan menjauh darinya.
Aku berlari. Meninggalkannya di sudut rumah, apapun yang ada di pikirannya mulai meresahkanku. Karena itu, aku berharap tidak menemuinya sementara waktu.
“Aku heran. Siapa dia, dan apa yang sering dilakukannya.” Tubuhku menggigil. Hujan terlanjur menjatuhiku, kuyup tak terhindarkan. Dan aku melihat cahaya mulai ada di balik rumah.
“Mom. Apa itu kau?” Aku setengah berteriak. Takut jika laki-laki itu menangkapku erat.
“Ya, sayang. Ini Mom!” Teriaknya dari balik kamarnya.
“Huh… Syukurlah!” Aku mendekatinya, memperlihatkan ekspresi was-was. Berharap aku dapat tenang setelahnya.
“Mom. Aku melihat seorang pria sering berada di kamarku! Saat aku kembali untuk melihatnya, ia menghilang.” Ucapku ragu. Ia masih menatapku heran, “Oya..” Sahutnya.
“Sayang. Mom sudah bilang, jangan pikirkan hal-hal yang seperti itu. Kau sudah tahu bagaimana rumah ini…” Ia terlihat khawatir untuk menekankan kata-katanya. Aku paham, rumah ini peninggalan Kakek Nenek. Butuh beberapa penyesuaian untuk beradaptasi dengan kebiasaan yang ada di dalamnya.
Setelah Kakek meninggal beberapa bulan yang lalu. Ia berpesan untuk menjaga baik-baik rumah yang sudah dihuninya sejak zaman penjajah. Ia takut, ada yang tidak suka dengan perubahan yang dilakukan oleh orang yang memilikinya kelak. Tapi meskipun telah diberitahukan, aku tak pernah tenang menerimanya.
Terlebih jika sebuah kejadian berlangsung melibatkanku. Aku ngeri…
“Mom. Kita pulang ke tempat Dady ya?” pintaku.
“Sayang. Siapa yang akan menjaga rumah ini,” Mom cemas dengan apa yang dibicarakannya.
“Mom. Kita tidak mungkin menjaganya seumur hidup kita kan?” Tanyaku mengharapkan sebuah kepastian.
“Ya.” Jawab Mom singkat.
“Apa? Mom!” aku protes berat. Tapi lagi-lagi Ia hanya mengangkat bahu atau mengangkat kedua alisnya untuk mengacuhkanku.
“Kakek tak pernah cerita hal-hal seperti itu. Tak pernah ada hal buruk sebelumnya, ayolah… lama-lama kau pasti menyukainya!” Kemudian Mom lekas masuk kembali kekamarnya entah untuk apa.
Pelan-pelan aku melangkah kekamarku, memeriksa. Tengok kiri, tengok kanan, dan aku lega tak ada apa-apa.
Sejenak aku melai rileks, dan tak ketakutan seperti yang tadi. Tapi mendadak sesuatu mengagetkanku. “Aku menyukaimu!”
Wush, hembusan di area yang sama mengejutkanku, bahkan terlalu cepat untuk sesuatu yang sudah berlalu.
Ia tersenyum, kali ini ia tidak berputar-putar di belakangku, dan tak lagi memegangi atau menyentuhku. Aku panik, menyadari seorang laki-laki yang tidak dikenal tengah berada di kamarku. Tapi aku tak mampu berteriak atau hal apapun.
“Kau tak bertanya kenapa?” tanyanya bingung melihat reaksiku.
“Kenapa?” jawabku seperti yang dikatakannya.
“Karena kau lucu.” Lagi-lagi ia tersenyum kepadaku.
“Lucu?”
Ia menembusku, melewatiku tanpa menyentuhku. Aku terperangah, menerka kata-kata yang bisa aku teriakan. Sesaat setelah itu akan kulakukan, ia menutup mulutku. Mengucapkan kata-kata dekat dengan telingaku_yang membuatku semakin merinding. Ditambah hembusan dinginnya, membuatku ingin mati.
“Sayang…” Kudengar suara orang berjalan mendekati kami.
Lagi-lagi aku tak bisa melakukan apa yang akan aku lakukan. “Sayang, Dady menelpon. Kita harus menemuinya sekarang. Ganti bajulah dengan cepat.” Ucap Mom di hadapanku setelah tidak mengetuk pintu.
“Ya Mom.” Jawabku leluasa.
Aku mulai panik lagi setelah Mom keluar melewati bibir pintu. Aku semakin tak percaya, Sosok itu lenyap begitu saja. Kuedarkan pandanganku kesemua sudut, tak nampak sedikitpun, bahkan bayangannya juga tidak ada.
Aku lekas berganti pakaian setelah memastikan semua aman. Dengan takut-takut aku melakukannya dengan segera.
“Mom!” Sapaku saat berpapasan dengannya di ruang makan. “Dady kenapa Mom?” tanyaku selagi ingat, mengapa permintaan itu begitu mendadak.
“Dady akan pindah. Ia tak ingin kita jauh darinya!” Mom sumringah, aku juga senang mendengarnya.
Tidak butuh waktu lama untuk menemukannya. Resto yang letaknya di muka kantornya, di meja biasalah kami bisa melihatnya.
“Hai sayang..”
“Hay Dad….”
“Ia sayang…”
Dady memeluku dan mengecup keningku, lalu ia menyambut pelukan Mom dan mengecup keningnya. Terlihat rindu di sana. Aku tahu itu alasan Dady selalu bisa berada bersama kami.
“ Bagaimana harimu sayang?” Tanya Dad kepadaku.
“Menyenangkan.” Jawabku.
“Butuh waktu Sayang. Ada beberapa yang mengganggunya.” Bisik Mom hampir terdengar olehku.
“Tidak apa-apa. Dad tahu, kau akan menyukainya.” Ucap Dad percaya diri.
Setelah berbincang-bincang, Dad akhirnya memutuskan akan membawa barang-barang dari rumah besok. Setelah itu, ia akan menjual rumah kami.
Kakek hebat, bisa membuat mereka merelakan rumah idaman pernikahan mereka hanya untuknya. Aku senang, Mom dan Dad begitu menyayanginya, seperti aku menyayangi mereka.
Suasana haru itu hanya dirasakan olehku, Dad dan Mom tampak biasa-biasa saja. Sesekali mereka bersenda guaru untuk melepas kangen. Aku ikut di obrolan keluarga itu.
Kami melanjutkan pembicaraan setelah jamuan makan malam.
ooooo
Sesampainya di rumah.
Tanpa sadar pikiranku sudah memastikan sesuatu. Karena kejadian yang berlangsung belakangan ini tidak akan menghilang tanpa sebab, itu sebabnya aku bersiap untuk menghadapinya.
“Sebisa mungkin aku akan menguasai diriku.”
Kata-kata itu lekas kupatrikan dalam hatiku. Memberikan ruang untuk sesuatu hal yang tidak nyaman, dan membuatnya jadi menyenangkan.
“Selamat tidur sayang…” Ucap Mom saat aku melewati pintu. “Selamat tidur Mom!” sahutku mengindahkan.
Sesaat aku kembali memeriksa. Tak satu hal pun tentang lelaki itu, jadi kuanggap ia tidak ada, harapku.
Malam ini keheningan begitu mencekam, mengganggu rasa kantuk yang biasa sudah menggelayutiku. Agaknya hari ini aku akan tidur sangat lama.
Aku mulai memikirkan hal yang lain. Mengabaikannya, menganggapnya tidak ada. Meringankan ketidak nyamananku dan berharap lekas terlelap.
….
Entah dalam ruangan yang mana. Aku masih bisa menatap kesekelilingku, tak mengerti bahwa aku sedang berada di mana.
Aku melihat seseorang memegangi lututnya, menitikan air mata. Aku mendekatinya, tapi ia tak mendongak. Dari sebelahnya aku melihat seseorang dari arah sebaliknya melemparkan sebuah bola. Kerongkonganku kering, mataku melotot menyaksikannya.
Ia berusaha menyakiti seseorang itu. Meskipun seseorang itu berusaha menjelaskan! Aku terkesima saat darah berceceran dan semua hilang menyisakan diriku dalam sebuah kenangan, entah punya siapa.
Aku menarik diriku, mencoba sadar dari itu. Mengingat apa yang ia lakukan, dan siapa seseorang itu. Aku menarik selimutku. Dari balik jendela kulihat hujan begitu deras, dari balik dindingpun aku sudah bisa mendengar suaranya.
Aku memejamkan mata, menganggap itu hanya sebuah mimpi biasa, dan kembali untuk tidak mengingat apapun.
ooooo
“Pagi Mom.”
“Pagi sayang… Loh. Kamu kenapa?” ucap Mom, memperhatikanku.
“Oh… ini, semalam aku sulit tidur.” Jawabku seadanya.
“Dad akan kesini siang nanti. Mom sudah mengosongkan satu kamar, untuk digunakan sebagai gudang. Kita bisa menggunakan barang yang kita inginkan.” Jelas Mom. Aku mengangguk mengiyakan.
“Mom. Aku akan ke supermarket di depan, membeli beberapa kebutuhanku. Mom mau nitip sesuatu?” Kulihat Mom memikirkan sesuatu, “Mungkin beberapa ini.” Disodorkannya selembar kertas kecil berisi titipan yang baru ia tuliskan.
“Mom ingin aku belanja keperluan dapur?”
“Ya.”
Mulutku mengerucut. Basa-basi tadi sudah ditanggapi Mom dengan serius. “Mom… Bagaimana aku membawanya nanti?” keluhku. Mendapati banyaknya permintaan yang dituliskannya.
“Nanti Dad yang akan mengangkat sebagiannya. Dad sudah datang saat kamu selesei membelinya. Ok!” Aku mendesah, tapi kembali kekamar untuk bersiap-siap.
Sesampainya di supermarket, nggak jauh dari rumah.
Kulihat senyum penjaga kasir mengembang menyambutku. Aku tersenyum balik dan melewatinya. Memeriksa stok yang ada di dalamnya, apa semua yang dituliskan Mom ada di situ.
“Hem… Minyak goreng, sambal, kecap, telur, roti, selai, ada juga sabun, syampo, dan sebagainya. Aku rasa yang lainnya juga ada.” Ucapku pada diriku sendiri. Kulihat keranjang yang kubawa sudah penuh sesak. Kutaruh di samping kasir dan permisi untuk mengambil yang lainnya. Seperti kebutuhanku; body lotion, parfum, bedak, pembersih muka, masker, pembalut dan beberapa obat untuk di simpan, semua benda yang tidak ditulis Mom.
Setelah selesei dengan keperluanku, kubeli beberapa cemilan dan minuman untuk di rumah. Kemudian kembali menaruhnya kesamping kasir untuk membayar.
Kulihat seorang laki-laki sudah mengantri di belakang, mengembangkan senyumnya. Aku tersenyum, dan kembali melihat kearah kasir.
Selesei dimasukan kedalam plastik dan menyodorkan beberapa lembar ratusan, kulihat benda yang harus kubawa terlalu banyak. Aku tak yakin bisa memindahkannya.
Kutelfon Mom selagi penjaga kasir mengambil kembalian. “Mom. Dad mana? banyak banget nih… ” Keluhku, karena Dad tak kunjung datang.
“Ia sayang. Mom sudah bilang! Sebelum kesini harus ke supermarket dulu.” Jawab Mom menyebalkan, karena itu artinya aku harus menunggu. Kututup telfon, menerima kembalian dan bergegas memindahkannya satu-persatu karena antrian mulai panjang.
Cowo di belakangku menyapa, “Hey,,, Apa ada yang bisa aku bantu?” tanyanya.
Aku mengerutkan kening, “Please,” timpalku.
Ia tersenyum dan meletakan keranjangnya ke samping kasir kemudian mengangkat barang-barang yang lainnya dan mengikutiku. “Thanks.” Ucapku setelah ia mengantar barang bawaanku ke depan supermarket. “Sama-sama.” Jawabnya, kemudian kembali ke dalam.
Aku celingukan, berharap Dad tak lama datangnya. Setelah cukup lama, cowok tadi keluar dan mendekatiku. “Emm, Sory. Apa kamu menunggu seseorang?”
“Ya… Tapi belum datang.” Sahutku sedih.
“Rumahmu di mana. Aku bawa mobil, kalo kamu gak keberatan, aku bisa mengantarmu.” Selorohnya. Menunggu jawabanku.
“Baiklah. Aku telphon dulu yah?”
“Ok!” Diambilnya belanjaanku ke mobilnya. Menungguku menyeleseikan telphonku. “Dad. Aku diater temen. Dad langsung kerumah aja!” “Baiklah.” Jawab Dad, mengerti dengan maksudku.
Aku mulai menaiki mobil tersebut, berkenalan. Karena sebelumnya hanya sebatas meminta bantuan dan tak mengharapkan yang lebih.
“Aku Rama. Kau?
“Aku. Binka.” Kusambut tangannya yang lebih dulu disodorkan. “Sekali lagi, thanks Ram. Aku gak harus nunggu.” Aku tersenyum, dan ia membalasnya.
Tak lama setelah itu aku telah berada di depan rumah. “Akan ku bawakan sampai ke dalam.” Sahutnya tanpa kuminta.
“Aku gak mau ngerepotin, tapi tolong yah!” Rama terkikik, dan mulai menurunkan belanjaan.
Hari ini terlihat baik-baik saja! Bahkan nyaris seperti biasa. Ternyata Rama cowo yang asyik, sayang dia nggak bisa berlama-lama karena masih punya janji.
“Sory yah. Ka” Ucapnya sebelum pergi. Aku mengangguk melepaskan kepergiannya.
Kulihat Dad sudah di dalam dengan Mom. “Sayang, Maaf yah. Dad lama.”
“Akh, Ada Rama tadi. Dad harus berterimakasih…”
“Pasti, jika ia berdatang lagi.”
Kubereskan belanjaan yang diminta Mom, kemudian mengngambil belanjaanku sendiri dan membawanya ke kamar.
“Aku tak menyukainya!”
Suara itu selalu bertengger tepat di telingaku. Aku tak seterkejut sebelumnya, tapi bulu kuduku masih tetap meremang mendapatinya.
Hah! Aku mengelak, tapi tak menemukan wujudnya. “Aku tak mengijinkannya datang kembali.” Kali ini suaranya terdengar geram, tak sehalus yang sudah-sudah.
“Kenapa?” Tanyaku heran. “Aku tak suka.”
Ia beranjak ke depanku, memperlihatkan dirinya. Aku masih takut, tapi ini jauh lebih baik. Ia memperlihatkan kesedihannya lewat bola matanya. Sendu itu, sepertinya pernah kulihat.
“Kau…” “Mengapa mereka melakukan itu.”
“Tak ada yang melakukan apapun. Aku yang memberikan bayangan itu, dan itu bukan kenangan seseorang.”
“Aku tak mengerti. Kau membuatku bingung!”
Ia berubah seperti asap, lama-kelamaan bisa menghilang. Tapi satu yang membuatku heran, ia tetap muncul setelahnya.
“Aku menyukaimu… Kau itu lucu. Buatku kau begitu indah.”
Mendapati itu, berderet hal muncul dalam otaku. Sayang saat ingin kuungkapkan, seseorang mengetuk pintu. “Sayang ini Mom. Ayo makan.” Ucapnya.
“Aku akan menemuimu kembali.” Tutur seseorang yang tak kulihat.
Kemudian aku keluar dan menuruni tangga ke ruang makan.
ooooo
Handphonku berdering. Terdengar lagu kesukaanku di sana. Tapi saat kuikuti suaranya, aku tak berhasil menemukan handphonku.
“Aku tak menyukainya.” Ucapnya tiba-tiba.
Aku tak lagi menjauh, dan marah karenanya. “Siapa kamu, kenapa kau selalu mengikutiku, aku jengah dengan keberadaanmu!” bentaku, membuatnya terpaku.
“Ini kamarku, jika kamu tidak suka pergilah!” sergahnya tak mau kalah.
“Lalu kenapa kau lakukan ini. Apa maumu?”
Wajahnya mendung, entah akan ada apa. Ia menghilang, dan membiarkanku menggantungkan pertanyaanku.
Ku sentakan kakiku ke meja, mengaku kesal. Aku mengomel tanpa sadar. Saat itu ku lihat telponku sudah tergeletak di lantai.
“Halo. Sory Ram. Ada apa?”
“Oh Hay Ka. Aku tadi lewat rumahmu, niatnya mau mampir. Tapi aku nggak enak sendiri karena baru bertemu. Sory,” terangnya.
“Enggak apa lagi Ram, sekarang ada di mana?”
“Udah di rumah. Sempet berenti tadi, nelphon kamu. Tapi gak diangkat.”
“Oh gitu. Lain kali kalo mau mampir, gak usah Tanya lagi. Aku bolehkan! Oya, salam dari Dad. Thanks udah gantiin dia anterin aku pulang dan bawaain belanjaan.”
“Sama-sama, salam kembali aja deh.”
Bla bla bla. Lama kami berbicara lewat telepon. Tanpa sadar aku asik meladeninya, dan mengganggu seseorang yang menyaksikannya.
Bruck, sebuah benda mendadak jatuh tanpa tersentuh. Aku tahu itu perbuatan siapa meskipun aku tidak tahu ia siapa.
“Eh sory Ram, udah dulu yah!”
“Ok! Bye.”
“Bye, Ram.”
Ku bereskan barang yang berserakan, dan memasang muka kusut. Ia muncul lagi! “Aku tak menyukainya,” keluhnya.
“Tapi aku menyukainya.”
“Karena itu aku tidak menyukainya.”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Jauhi dia!”
“Kenapa?”
“jangan ulangi pertanyaan untuk jawaban yang sama!”
“Apa jawabannya?”
“Binka aku tidak menyukainya. TITIK!” Setelah itu ia menghilang meninggalkanku lagi. Mom sudah membuka daun pintu.
“Kau baik-baik sayang?”
“Oh. Yah, tentu Mom. Ada apa?”
“Mom mendengarmu berteriak. Apa kau sedang menelpon?”
“Oh, ya Mom. Tadi dari Rama.”
“Oh.” Mom pun beranjak pergi setelah itu.
“Hufh. Untung Mom tak meragukan jawabanku.”
Lagi-lagi aku ingat sesosok cowo yang belakangan menggangguku. “Sory. Tapi aku butuh jawabanku.” Keluhku, berharap ia mendengar.
“Aku Delta Ka, aku harap kau seperti itu. Maaf jika aku telah mengganggumu karena itu.”
“Jangan ulangi kebiasaanmu. Selalu muncul dari balik telingaku. Itu mengerikan.”
Ini pertama kalinya kita bisa berbincang sehat. Ia pun tak menghilang di tengah pembicaraaan, ataupun menembus tubuhku layaknya bukan manusia. Banyak hal yang baru kuketahui. Dan dari situ aku mulai mengerti.
ooooo
Setelah dibicarakan, aku tahu. Ternyata benar, ini adalah kamarnya. Ia berada di sini selagi Kakek masih ada. Dia itu manusia, hanya punya keistimewaan seperti yang dimilikinya. Antara lain, menghilang, menembus benda padat, dan hal-hal yang terbiasa kusaksikan selama ini.
Ia pergi dari rumah karena keistimewaannya itu, dan Kakek menerimanya. Tapi Kakek tidak sempat menceritakan dirinya pada kami. Karena kepergiannya begitu mendadak tanpa ada tanda-tanda. Karena itu ia menggunakan keistimewaannya untuk tetap tinggal di sini.
“Apa kau melihatku saat…” Ia mengerti. Sempat tersipu, mengakui perkiraanku.
“Apa!!!” Aku sempat berteriak, saat dia mendadak berkata, “Jangan berpikir jorok, cukup dengan berpikir buruk!”
“SAMA AZA!!!”
Aku memukulnya berkali-kali. Mengungkapkan betapa menyebalkannya itu. “Aku tidak kurangajar Bingka. Meskipun selama ini sedikit usil.” Celotehnya.
Ia sempat berterima kasih. Karena tak memberitahukannya kepada kedua orang tuaku dulu. Ia takut ia akan diusir dan tidak diterima, karena mereka belum mengenalnya.
“Apa kakek ingin menjaga tempat ini karena ada kamu?”
“Bukan. Dirumah ini ada penghuninya. Yah kau tahu, itu bukan manusia!” Aku merinding menyimak benar kata-katanya.
“Angker?”
“Mereka tidak akan mengganggu jika kamu tidak mengganggunya.”
Penjelasan yang panjang membuatku mengenalnya. Dia membuatnya tidak menyebalkan setelah mengetahuinya. Hanya saja aku punya pertimbangan untuk mengungkapkan keberadaannya.
“Ini akan sulit.” Peringatku.
“Yah aku tahu!” jawabnya.
“Em… aku menyukaimu, lucu, begitu indah. Apa maksudmu?” Tanyaku sinis. Delta mengerang karena aku membahasnya, ternyata kata-kata itu tidak sekedar. Apa ia jujur untuk itu?
“Aku… ingin kamu tau. Itu saja!” Jawabnya tulus.
Aku tersenyum, senang dengan pengakuannya. Haripun berlalu sesuai dengan harapanku_baik-baik saja.
ooooo
Rama lebih sering menghubungiku, kali ini Delta tak mengganggu. Aku menghargainya! Mendadak aku sedih ia seperti itu. Karena dengan seperti itu, aku merasa telah menjadi sesuatu.
Kali ini untuk memastikannya, setiap melakukan hal privasi yang bersifat sensitive kupinta dia tak menghilangkan dirinya. Supaya aku bisa meyakinkan jawabannya. Bahwa ia tak mengintip.
Sulit berhubungan dengan seseorang yang punya keistimewaan seperti itu. Mana tahu dia menggunakan keistimewaannya untuk hal buruk. Seminggu sudah kulalui dengan sikap baik yang ditunjukannya.
Perlahan aku mulai bertanya hal-hal yang berkaitan dengan Kakek, dan sedikit menyinggung mengapa Kakek ingin kita semua menjanga rumahnya sampai seperti ini. Mom dan Dad hanya menatapku dengan tatapan curiga, tapi tetap menjawab pertanyaanku tanpa bertanya apa-apa.
Sampai suatu hari. Mom berkata akan dikenalkan seseorang yang juga tinggal di rumah ini, saat itulah aku menyinggung Delta ditengah pembicaraan kami.
Setelah semua jelas, dan terungkap aku dan Delta benar-benar leluasa untuk semua hal yang kita lakukan.
Ia tinggal bersama kami, dengan mengetahui semua keistimewaan yang dipunyainya. “Ada satu keistimewaan yang tidak kuberitahukan kepada siapapun,” katanya.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Sebenarnya… aku… punya… keistimewaan… lagi… karena… aku… bisa… membuatmu jatuh cinta kepadaku!” Simpulnya, membuatku sesak. Napasku tertahan saat kalimatnya mengalir.
“Em… siapa. Aku! Enggak!” Jawabku takut, kalo-kalo dia punya keistimewaan mengetahui hatiku.
Ia hanya tertawa menangkap ekspresiku yang jelas. Aku mencintainya!
“Aku tak akan tahu isi hatimu tanpa apapun yang bisa kau tunjukan, percayalah!”
“Apa begitu jelas?”
“Sangat jelas!”
“Heh… menyesal aku! Karena kau tidak punya keistimewaan untuk tidak mengetahui jawaban dari hatiku.” Kataku pada akhirnya, saat ia tak melihatku.
Matanya menerawang, mungkin memikirkan kalimatku yang jelas penting untuknya. “Apa?” Loadingnya cepat.
“Ya itu!” sahutku sekenanya.
“Apa?”
….
Kami terlalu asyik dengan semua hal yang ada. Tapi satu hal yang penting, setiap waktu akhirnya berakhir dengan baik, walaupun tidak selalu indah. Dan itu karena dia ada.
Elf atau Fairy adalah istilah dalam bahasa inggris yang berarti Peri. Elf Fairy adalah dongeng sebelum tidur yang paling aku tunggu. Meski hanya serupa fantasi, aku percaya. Di manapun, kapan pun kita akan selalu ada yang melindungi. Entah, mungkin salah satu dari mahluk bernama Elf Fairy?
Hari itu! Dongeng Elf Fairy tak lagi bisa kudengar. Setelah kepergian mama, aku sadar dongeng itu kian hilang dalam ingatanku. Sampai suatu hari aku bermimpi. Ada seorang Peri yang bernama Elf Fairy. Ia datang menemuiku, mengingatkanku akan keberadaannya.
“Akh! Mimpi terkadang bisa menipu…” Kuabaikan sekali. tapi saat esok ia kembali datang dalam mimpiku, aku sadar! Mimpi itu terlalu nyata untuk kuabaikan. Hingga fajar menyingsing, terlintas serbuk berterbangan kesana kemari. “Apa itu?” pikirku.
“Selamat pagi Wendy?” Mataku terbelalak. Mahluk kecil, mungil, dan memiliki sayap itu hinggap di kedua telapak tanganku. Seperti capung, tapi bukan. Seindah kupu-kupu tapi bukan. Ia lebih terlihat seperti manusia mini dengan perawakan sempurna secara keseluruhan.
“A… apa ini…” Aku masih tak mempercayai penglihatanku. Masih terasa aneh jika itu nyata. Sosok yang selalu ada dalam ruang hayalan, imajinasi dan ilusi yang diciptakan oleh seseorang. Kini benar-benar ada, di ruang nyata.
“Aku pasti bermimpi!” Kurebahkan badanku. Sempat kudengar pekikan kecil, aku terus berfikir keras untuk tidak mempercayainya. Tapi sosok itu benar-banar ada.
“Wendy, hari sudah siang!” suara itu sangat kecil. Jika dalam keadaan bising, suara itu pasti hilang dipendengaran.
“Cukup!” Aku berdiri. Menghadapi mahluk kecil itu. “Siapa kamu? Apa kamu? Dan mau apa?” aku berteriak. Cable dan Gate berlari kearahku. “Wendy. Kau baik-baik saja?”
“Yah. Tentu!” Karena kaget. Kuredam keingintahuanku, dan mencoba bersikap wajar. “Ok! Jangan ulangi lagi, kau membuat kita panik!” Gate mengingatkanku.
Gate adalah kakak perempuanku, sedang Cable adalah adik kecilku. Kira-kira umurnya 21th dan 4th. Aku? Baru menginjak 17th. Lusa tepatnya. Tapi entahlah, mungkin tak akan ada yang akan memperdulikannya.
“Sssssttttt…. Jangan berisik.” Suara itu kembali, sumbernya dari si makluk kecil. Ternyata benar, aku tidak sedang bermimpi.
“Hallow…. Hii… Hay…” Pandanganku mulai menyapu ruangan. Mencari-cari tempat si pemilik suara.
“Aku di sini!” Bisiknya.
“Bisakah kau mengeraskan volume suaramu? Untuk ukuran pita suara mahluk sekecil itu, tentu butuh ekstra volume dari manusia normal.” aku mengingatkan. Tapi sebelum si kecil kembali bersua. Cable masuk dan menariku agar segera keluar kamar.
“Besok Papa akan keluar kota. Kamu jaga adik-adikmu Gate, Papa tidak ijinkan kau untuk berkeliaran selama Papa pergi.” Seperti biasa, papa memberi wejangan sebelum kepergiannya. Gate hanya tersenyum mengindahkan. Padahal, saat papa sudah berangkat ia akan segera bepergian dengan teman-temannya.
Hanya aku yang akan mendengarkan kata-kata papa. Cable masih terlalu kecil untuk mengerti peliknya kehidupan. Untungnya ada pembantu yang siap mengerjakan pekerjaan rumah, serta dapat melayani kebutuhan kami.
“Cable… Kamu bobo siang dulu yah? Aku mau baca buku!” Cable sedikit merajuk, tapi tak seperti merengek. Kepergian mama membuatnya ingin dimanja. Karena tidak tega melihat binar matanya yang berkaca-kaca. Kutemani ia hingga ia tak akan menyadari kepergianku dari sisinya nanti.
“Wendy?” Ucapnya.
“Aku ingat Mama.” Tambahnya.
Aku terdiam. Hatiku sedang merasakan hal yang sama, hanya saja tentu aku tidak boleh bersikap hal yang sama.
“Mama pasti rindu kita. Bobo yah? Biar mama tau di sana, Cable pintar…” Kupautkan selimut itu tepat di depan dadanya. Gaya mama yang sering ditunjukannya saat mengantarku untuk tidur.
ëëëë
Elf Fairy. Aku dibuatnya penasaran, ku-Searcing di internet ‘apa itu Elf atau Fairy?’
Banyak keterangan mengenainya. Banyak! mulai dari bentuk, jenis dan para pendapat. Huh! Sungguh merepotkan. Saat aku percaya, ia tak kulihat lagi. Mungkin aku memang sedang berhalusinasi.
“Ehm… Ehm…” Suara itu? Heh… mengapa ia selalu hadir dan pergi begitu saja! Padahal ia sama sekali belum meyakinkanku seratus persen atas kehadirannya.
“Hey kau mahluk kecil…” ucapku. Mahluk itu sepertinya tidak suka, dilipatnya kedua tangan itu, sambil mukanya menongok kearah samping. Tanda ia ingin mengabaikan kata-kataku.
“Ia. Sory! Siapa namamu? Agar aku dapat menggunakannya!” pintaku.
“Panggil aku seperti kamu biasa memanggilku!” jawabnya.
“Maksudmu Elf Fairy?” tanyaku.
“Yah!” singkatnya.
“Tapi itu bukan sebuah nama! Hanya dua suku kata yang aku gabungkan…” terangku.
“Tapi kau menyukai nama itu dari pada sekedar menyebutku peri bukan?”
Dia benar. Saat mama bersikeras menjelaskan Elf Fairy bukanlah sebuah nama. Aku justru berpikir akan menamakan periku Elf Fairy.
Aku tersenyum mengenangnya. Massa itu sangat indah! Saat mama masih ada.
“Aku ada karena kamu…” Elf Fairy tiba-tiba berkata lirih.
“Apa?” refleksku.
“Karena kau mempercayaiku.” tambahnya.
Aku tak begitu mengerti, tapi sejak kepergian mama. Kepercayaan itu terkikis. Mengapa ia muncul saat kepercayaanku hampir hilang?
Aku tak ingin mendramatisir masalah ini. Tak akan ada yang akan mempercayai ceritaku. Apa lagi tidak semua orang dapat melihatnya katanya. Menyebalkan! Jadi aku satu-satunya yang akan dianggap gila karena telah menyaksikannya?
Karena hari ini aku harus berada di rumah menemani Cable. Waktu kugunakan hanya untuk bermalas-malasan. Aku tak begitu suka dengan musik! Karena aku pecinta kesunyian.
Elf Fairy menyadari kejenuhanku. Kemudian ia menari-nari kesana kemari dengan menggunakan sayapnya. Serbuk itu mengikuti gerakannya, warna terangnya menjadikannya semakin indah.
Ia seperti ballerina. Mirip dengan tokoh thinkerbel dan sejenisnya di filem-filem. Tapi di depanku dia terlihat jauh lebih menakjubkan.
“Aku sangat menyukai senyumu!” Elf Fairy berhenti. Ia menatapku pilu, entah apa yang ada dibenaknya.
“Semenjak kepergian Mama kau seperti ini? Mulai tidak mempercayai hal-hal yang tidak masuk akal.” Elf Fairy itu kini hinggap di tepi meja dekat dengan tempat duduku.
“Wendy! Hidup ini penuh dengan kemungkinan. Jika kau hanya melaluinya dengan sesuatu yang logis. Kau tak akan berfikir hal yang besar dan menciptakan kejutan-kejutan dalam hidupmu sendiri. Percayai mimpimu, jadikan itu nyata dalam hidupmu. Baru kamu tidak akan ragu dengan kehadiranku saat ini.” Elf Fairy benar. Kepergian mama mematahkan pemikiranku tentang ‘hidup dengan penuh kebaghagiaan, pangeran, sebuah istana megah’ Semua itu jadi terlihat muluk-muluk, mengada-ada dan tidak mungkin.
Mama pernah berjanji akan terus menemaniku sampai aku dewasa dan menikah. Bahkan ia ingin esok nanti bisa menimang cucu-cucunya. Mengikuti perkembangan anak-anaknya. Saat itu aku pasti akan hidup bahagia.
Aku juga pernah berfikir bisa bertemu cowo cakep, kaya, baik yang mencintaiku dengan tulus tanpa memandang statusku. Seperti cerita sinderela yang kemudian menemukan belahan jiwanya. Lalu dibangunlah istana-istana untuk kuhuni hingga aku tua seperti mama.
Heh… Kehidupan sekarang ini kenyataannya tidak semudah itu. Banyak perjuangan dan pengorbanan yang harus ditumpahkan. Dan ada saat dimana kita tidak bisa mendapat apa yang kita inginkan.
Batinku bergolak. Apapun yang dikatakan dan yang dilakukan Elf Fairy aku pasti bisa menepisnya.
Mungkin satu yang benar! Kepercayaanku akan itu telah hilang.
ëëëë
Sebentar lagi jam 00:00 tepat. Umurku kuinjak! Maksudku pas 17. Tapi sepertinya tidak akan ada yang sepecial seperti yang sudah-sudah. Entah apa guna Peri yang selama seminggu ini mengikutiku.
Keajaiban itu memanglah tidak ada. Ia bukan peri yang dikirim tuhan untuk merubah hidupku, memberi jalan mudah bagi hidupku. Ia tidak bisa memberi apa yang aku mau, atau dapat mengabulkan semua permintaanku. Ia tidak lebih seperti teman-temanku.
Aku semakin tidak menyukai kehadirannya. Justru karena itu aku jadi semakin tidak percaya! Aku sangat kecewa, karena kenyataannya tak akan ada yang harus aku percayai.
“Wendy,,, make a wish!” Disodorkannya lilin biasa yang sering kugunakan saat mati lampu. Benar-benar tidak ada keajaiban.
Meski malas, saat ku pejamkan mataku. Terlintas kenanganku bersama mama! Andai semua bisa seperti sedia kala. Saat mama masih ada, keluargaku masih bersatu, dan papa! Ia tidak harus bekerja terlalu keras seperti sekarang. Aku berharap hidupku sebaik dulu, bahkan lebih baik dari itu.
“Wush…” Api itu padam. Hanya ada tepukan kecil dari si Peri kecil. Meskipun itu bukan sesuatu yang besar, kenyataannya itu adalah sesuatu yang berarti untuku.
“Terima kasih Elf Fairy…” tuturku.
“Apa permintaanmu?” tanyanya.
“Jika mengatakan harapan kita kepada orang lain, harapan itu tidak akan menjadi kenyataan.” jawabku yakin. Elf Fairy tersenyum! Ini senyum termanis yang pernah kulihat darinya.
Jika dipikir-pikir, mengapa yah aku meyakini hal itu. Padahal para motivator sering mengatakan ‘jika kamu punya mimpi, harapan, dan keinginan. Maka katakanlah! Katakan semua itu. Itu akan memudahkanmu untuk mendapatkannya. Karena dengan mengatakannya kepada dirimu sendiri kau akan terpacu untuk berusaha mendapatkannya, dan dengan mengatakannya dengan orang lain maka mereka akan membantumu untuk mewujudkannya’
Dua hal yang berbeda. Jika sebelum ini aku akan mempercayai kata-kata motivator, justru hari ini aku percaya dengan mahluk kecil seperti Peri.
Ada satu hal yang kembali. Yaitu kepercayaan akan sesuatu yang tidak mungkin tapi ada! Sejak itu aku jadi optimis dan bergairah menjalani hidup.
“Ting tong, ting tong…” Suara bell terdengar lebih keras dari biasanya. Ini sudah jam 2 pagi. Tapi terlalu larut atau terlalu subuh untuk seseorang bertamu.
“Papa…???” Aku tak percaya. Di jam seperti ini papa menampakan dirinya. “Surprise… Hapy birthday sayang!!!” Akh! Hatiku ingin melonjak. Mulutku masih kukatup, betapa aku tak bisa mempercayainya.
“Loh! Kok bengong?” tanya papa tak lama lalu segera memeluku. Cuph, cuph!
“Papa???” Gate dan Cable terbangun. Aku heran dengan keanehan ini. Karena aku baru tau, sejak kemarin ternyata Gate dan Cable juga menyiapkan sebuah kejutan kecil berupa kado.
“Ih wow!!!” Ini baru sesuatu yang tidak biasa, sebuah keajaiban, keinginanku benar-benar terkabulkan.
Pagi. Pkl 07:00. Hari ini Gate yang memasak, dibantu Bi Rin. Cable yang menyiapkan piring, sendok dan hal lain. Papa ikut membantu. Kebersamaan ini kurang lebih telah hilang sepuluh tahun yang lalu sejak kepergian mama.
Tanpa sadar, tiap detiknya aku menitikan air mata! Rasanya begitu indah. “Sayang. Papa punya berita bagus…” ucap papa pada kami setelah semua siap di meja makan.
“Apa Pah?” Cable menyauti.
“Kita akan sering bertemu. Kerjaan Papa berjalan lancar, bahkan Papa bisa libur kapan saja…” Kami bersorak mendapati kabar yang dibawa papa. Gate ikut berbicara.
“Pa Gate ingin mengakui sesuatu! Selama ini aku membiarkan Wendy dan Cable berdua. Aku…” Melihat ekspresi papa sepertinya pernyataan Gate tak masalah untuknya.
“Papa tau… “ Kami bertiga sama-sama kagetnya. Cable yang hampir menginjak umur lima tahun pun ikut tidak percaya dengan apa yang dikatakan papa.
“Maksud Papa. Selama ini Papa sudah mengawasi kalian, jadi apapun yang kalian lakukan. Papa tau!” urainya. Kami bertiga berpandangan. Aneh!
“Hai stevy…” Dari balik pintu keluarlah sosok cantik yang pernah kulihat. Tapi ukurannya jauh lebih besar dari ukuran saat pertama kulihat.
“Elf Fairy?” ucapku.
Papa, Gate, Cable dan wanita itupun melihatku. “Em… maaf! Aku seperti pernah melihatnya.” Dalam hati aku bertanya-tanya, Siapa kamu? Apa kamu? Dan mau apa?
Dulu aku tak mempercayai Elf Fairy. Sekarang haruskah aku tidak mempercayainya lagi sebagai sosok bernama stevy?
“Kenalkan sayang. Ini tante Stevy, yang selama ini mengawasi kalian. Ia membantu Papa menjaga kalian saat Papa keluar kota.” Gate dan Cable tak menampakan respon penolakan. Tapi aku, ada rasa tidak terima untuk sesuatu hal yang mungkin.
Mungkinkah stevy akan… ? Pikiran itu kembali, rasa kepercayaan itu hilang lagi. Aku tak sudi menggantikan posisi mama kepadanya. Mana mungkin papa bisa berfikir hal demikian.
Aku berlari, kamar kukunci, hanya ada aku di dalam. Sampai Elf Fairy menampakan wujudnya. “Wendy? Ada apa lagi?” Ia bermuka kusut. Padahal terakhir aku melihatnya begitu cerah.
“Jangan seperti ini. Sebentar-sebentar percaya! Sebentar-sebantar tidak! Bahkan kepada dirimu sendiri kamu masih ragu!” Aku tak pernah melihatnya begitu serius. Tapi kali ini ada nada marah yang tersirat dari suaranya.
“Kenapa? Apa setelah kau beri aku semua keinginanku. Kau akan mengambil hal terpenting dalam hidupku?” Aku tak kuasa. Aku menyalahkannya atas semua kejadian ini, bahkan sangat marah.
“Apa? Apa yang aku lakukan?” tanyanya menyepelekan.
“Apa? Katamu?” kata-kataku tertahan. “Untuk ukuran peri, harusnya kamu tau tentang semua keinginanku. Make a wish itu, itu kamu pasti tau! Dan kamu kan yang mewujudkannya.” kali ini aku membentak. Elf Fairy terdiam. Ia tersedu mendapati kemurkaanku. Aku kikuk, entah mengapa aku jadi tempramen begitu.
“Aku tak pernah mengabulkan apapun, dan melakukan apapun untukmu! Itu pemberian tuhan. Apa itu juga tak bisa kau percaya… tentu bukan suatu kebetulan Stevy ada! Dan bukan pula suatu keanehan atau suatu hal yang buruk jika hal itu ada.” Elf Fairy tertunduk. Aku sendiri bingung harus bagaimana.
“Kau benar! Aku tau semua permohonanmu. Tapi aku tak punya kehendak atau kuasa akan hal yang sedang kau pikirkan. Berhenti menutup apapun dalam hidupmu, cobalah terbuka untuk semua yang ada.” Ia berisimpuh di pergelangan tanganku, aku sama sekali tak tega. Kuelus ia perlahan. Aku sadar aku sudah berlebihan.
Selalu merasa tidak cukup untuk semua hal yang aku dapatkan. Tidak peduli itu baik atau buruk, harusnya aku dapat menghadapinya dengan baik. Agar hidupku bisa semakin baik.
Heuhehh… Ternyata ada gunanya Peri itu ada, apa lagi saat ia jadi nyata. Aku tersenyum lalu dibalas senyum olehnya.
“Eh! Kenapa tante Stevy mirip denganmu Elf Fairy.” Tanyaku.
“Mungkin karena ia adalah kiriman tuhan untuk selalu bersamamu seperti aku. bukan untuk menggantikan mama, tapi untuk menjadi seorang mama.” Elf Fairy memang ada, nyata dan penuh dengan hal yang berbau mungkin, dan tidak biasa.